Aku menatap seseorang yang sedang duduk di hadapanku
sambil menyantap nasi goreng udang di piringnya. Cahaya lembut lampu penerangan
jalan dan suara para pengamen yang bernyanyi dar meja ke meja menemani kami
malam ini. Kami sudah berkencan empat kali, dan semuanya selalu berakhir dengan
makan di warung nasi goreng favoritnya ini. aku sama sekali tak keberatan. Aku
menyukai nasi goreng disini, rasanya sangat enak. Aku juga menyukai suasana
tempat ini, hangat dan menyenangkan.
Ditambah lagi…aku menyukai orang yang saat ini berada di
hadapanku.
“Ian” panggilku. Dan matanya langsung beralih menatapku.
“iya, Nas?”
Aku mengumpulkan keberanianku sejak tadi siang untuk
mengatakan ini. “jawabannya iya”
Dia mengerutkan kening. “iya?”
Aku memutar bola mataku. “soal pertanyaan lo minggu lalu,
jawabannya iya”
Dia masih terlihat bingung. Bisa-bisanya dia melupakan
hal sepenting ini. huh.
Tiba-tiba, matanya berbinar. Senyuman lebar tersunngging
di wajahnhya. Oh, aku sangat menyukai lesung pipi di pipi kanannya saat dia
tersenyum. Membuatnta makin cute.
“jadi lo nerima gue?” dia bertanya dengan semangat.
“kan tadi gue udah bilang iya” aku mendengus kesal. Tapi
dia malah meraih tanganku lalu menciumi buku-buku jariku.
“malu, ih!” aku menarik kembali tanganku. Beberapa orang
yang sedang makan di meja lain mulai memperhatikan kami.
“biarin. Kita kan udah resmi pacaran” dia tersenyum
iseng.
*
Aku menyisir rambutku sambil menatap pantulan diriku di
cermin.
Aku bukan lagi Natasha si kutu buku yang sudah menjomblo
hampir tujuh belas tahun. Sekarang aku pacar Adrian, ketua tim futsal yang
populer dan punya banyak fans. Aku bahkan tak pernah bermimpi bisa ditaksir
cowok paling ganteng dan terkenal satu sekolah. Aku hanya murid biasa, berbeda
jauh dengan para anggota ekskul dance yang selalu tampil modis dan tentu saja
terkenal. Aku tak mengerti kenapa Adrian lebih memilihku dibanding mereka.
Dulu, aku sama sekali tak tertarik pada Adrian sekalipun
dia sudah terkenal di hari pertama orientasi sekolah. Aku lebih sibuk mengerjakan
tugas dan belajar agar bisa masuk kelas unggulan, tak seperti teman-teman
seangkatanku yang berlomba-lomba menyelipkan hadiah atau surat cinta ke loker
Adrian.
Hingga saat kami sudah kelas XI, tiba-tiba Adrian
mendekatiku. Awalnya aku tak sengaja bertemu Adrian di UKS dan akhirnya kami
ngobrol cukup lama. Harus kuakui ternyata dia orang yang menyenangkan. Tapi
sejak saat itu, dia mulai gencar meminta seluruh informasi tentangku dari
teman-temanku dan sering menyelipkan sebatang Cadbury di lokerku dengan notes
kecil bertuliskan:
dating with me? J
-Adrian-
Dia memang sangat manis. Tapi hal itu tak langsung
membuatku menerimanya. Aku belum pernah punya pacar. Aku menghindarinya karena
kupikir cowok hanya akan merusak konsentrasiku dalam belajar. Adrian mungkin
hanya akan menjadi sumber masalah untukku.
Jadi aku memilih untuk menghindarinya. Mengabaikan
notesnya, bahkan aku tak menghiraukan semua telepon dan pesan yang dia kirim ke
ponselku.
Satu hal yang selalu kutanamkan di otakku, aku tak boleh
jatuh cinta padanya.
Tapi pertahananku mulai runtuh saat suatu pagi aku
menemukan sebuket bunga matahari di lokerku. Aku sangat menyukai bunga,
terutama bunga matahari. Aku selalu berharap suatu saat akan ada laki-laki yang
memberiku sebuket bunga seperti adegan di film-film romantis.
Aku menemukan notes kecil yang menempel di plastik
pembungkus bunga.
Natasha yang cantik
dan keras kepala,
Ini udah ke-34
kalinya gue ngajak lo ngedate. Tolong kasih gue kesempatan. Sekali aja. Gue
serius.
Telepon gue jam 7
kalau lo berminat J
-Adrian-
Dan di hari itulah kencan kami dimulai. Di kencan kami
yang ketiga, dia menyatakan perasaannya padaku. Setelah menunda jawabanku
selama seminggu, akhirnya kemarin aku menerimanya.
Semoga ini keputusan yang terbaik.
“Tasha, ada Adrian nih” teriak Mama dari lantai bawah.
Oh, dia sudah datang. Aku segera memakai cardigan biruku
lalu mengambil diatas meja belajar sebelum turun ke lantai bawah.
*
Aku tersipu saat Adrian membukakan pintu mobilnya untukku
sambil tersenyum. Dia meletakan sebelah tangannya di pangkuanku selama dia
menyetir. Dia selalu bersikap manis seperti ini sejak kencan pertama kami.
“Nanas?”
Aku menoleh. “kenapa?”
Semua orang memanggilku Tasha, hanya dia yang menggunakan
kata Nanas. Dia bilang, itu semacam panggilan sayang darinya untukku. Aku
sangat menyukainya.
Adrian menggeleng pelan. “pengen aja lihat kamu”
“apaan sih?” aku tak bisa menyembunyikan senyumku. Pipiku
pasti sudah semerah tomat sekarang.
Adrian ikut tersenyum. “hari minggu nanti tim futsal
sekolah kita bakal tanding. Kamu mau nonton kan?” selain tampan, Adrian juga
berbakat hampir di semua cabang olahraga. Teman-temanku sempat bercerita kalau
saat SMP dulu dia pernah menjadi atlet renang. Di tim futsalnya pun dia punya prestasi
yang baik.
“harus banget aku dateng ya?” aku menggodanya.
“harus lah, aku nggak semangat kalau nggak ada kamu”
“tapi nggak lama, kan? Soalnya aku ada les”
“masa hari minggu masih les juga?” Adrian cemberut.
Membuat wajahnya makin menggemaskan.
“les piano” jawabku. “nanti aku coba minta izin ya,
supaya bisa nonton pertandingan kamu”
“yes!” dia terpekik senang. “makasih ya, sayang”
Entah kenapa, aku langsung gugup saat mendengar kata
sayang darinya. “eh, uhm, iya”
*
Adrian menggandeng tanganku saat berjalan di koridor
sekolah. Dia mengantarku sampai ke depan kelas dan mengacak pelan rambutku
sebelum pergi ke kelasnya. Aku mendapati teman-temanku melongo melihatnya.
“apa?” aku mengerutkan kening saat Cleo dan Abi, kedua
sahabatku menatapku sambil mengulum senyum.
“udah jadian ya?” tanya Cleo. Aku mengangguk malu-malu.
“aahh!! Congratulation!” Cleo dan Abi memelukku dangan
heboh. Mereka memang sudah mendesakku sejak minggu lalu agar menerima cinta
Adrian.
“udah ciuman, belum?” Abi menggodaku.
Aku menggeleng cepat. “baru jadian sehari, masa udah
ciuman?”
“nanti pas pulang sekolah kali” Cleo ikut menggoda.
“ih, udah ah” aku mengeluarkan buku biologi lalu
membacanya untuk mengalihkan pikiranku dari Adrian dan, ugh...ciuman.
“berarti lo bakal nonton pertandingan futsalnya Adrian
hari minggu nanti?” Abi bertanya sambil membuka bungkus kripik kentangnya.
“dia sih minta gue dateng, tapi gimana ya? Hari minggu
kana da les piano…”
“Tash, lo nggak bosen ya?” potong Cleo. “senin sampai
jumat sekolah dan bimbel, sabtu les balet dan bahasa Jerman, minggu les piano.
Lo butuh hiburan sesekali. Hidup nggak Cuma tentang belajar”
Kami bertiga berada di kelas unggulan, tapi Cleo dan Abi
tak gila belajar sepertiku. Orang tuaku suda mengajarkanku rajin belajar sejak
kecil. Aku anak tunggal, hanya aku yang bisa membuat mereka bangga. Karena itu
aku selalu ingin menjadi nomor satu di sekolah.
“udah deh, bolos aja. Sekali” Abi ikut menghasutku.
“oke, gue dateng”
*
“uh, kayaknya lo salah kostum deh, Tash”
Aku memandang pakaian yang kugunakan. Atasan tanpa lengan
berwarna pink pucat, rok pendek bunga-bunga, dan ballerina shoes warna hitam.
“apanya yang salah?” tanyaku. Setiap kencan dengan
Adrian, aku selalu memakai pakaian seperti ini dan dia selalu mengatakan kalau
aku terlihat manis.
“terlalu feminim buat ke pertandingan futsal. Jangan pake
itu” Cleo membuka lemariku untuk memilihkan pakaian lalu beranjak ke rak
sepatu, sedangkan Abi membantuku mengikat rambut panjangku.
Sasana olahraga yang menjadi tempat pertandingan sudah
dipenuhi banyak orang dari berbagai sekolah. Rasanya sangat panas dan sesak.
Aku berhutang banyak pada Cleopatra dan Abigail, dua fashion stylish dadakan
yang memilihkanku kaus tipis abu-abu, legging hitam, dan sneakers putih yang
membuatku tetap nyaman walaupun berdesak-desakan.
Sekarang Cleo dan Abi sedang asyik memperhatikan seorang
cowok keren yang memakai jersey tim futsal sekolah lawan. Sedangkan aku lebih
tertarik mencari Adrian.
“Nanas”
Aku berbalik dan menemukan Adrian sudah berdiri di
hadapanku. Dia terlihat tampan dengan jersey tim sekolah kami yang berwarna
biru muda.
“hai” aku tersenyum manis padanya.
“aku takut kamu nggak jadi dateng” dia menyelipkan
helaian anak rambut yang keluar ke luar dari ikatan rambutku ke belakang
telingaku lalu mengelus pipiku. Oh, aku akan meleleh sekarang.
“ini kan hari penting kamu. Aku mau nemenin kamu dan
lihat kamu menang”
Dia tersenyum. Oh, Tuhan. Aku sangat menyukai lesung pipi
itu.
“maaf ya, aku nggak bisa jemput kamu tadi. Aku harus dateng
kesini pagi-pagi banget buat briefing. Kamu pasti bakal bosen kelamaan nunggu
disini”
“nggak papa, kok. Tadi aku berangkat sama Cleo dan Abi”
“tapi nanti kamu harus pulang sama aku ya. Aku nggak mau
tahu”
Aku tertawa kecil lalu mengangguk.
“ya udah, aku mau siap-siap buat tanding dulu” dia mengelus rambutku sebelum berbalik
meninggalkanku.
“Ian?” panggilku. Membuat dia menoleh padaku.
“good luck, ya” aku tersenyum sambil melambaikan tangan.
Diluar dugaanku, dia mendekatiku lalu mencium keningku dengan lembut.
“daah, cantik” aku masih membatu saat Adrian melambaikan
tangannya sambil memamerkan senyumnya yang memikat.
“oh my God!” Cleo dan Abi menghampiriku dengan semangat.
“dia nyium lo, Tash! Di depan banyak orang! He’s
obviously in love with you” Abi heboh sendiri.
Cleo mengangguk. “dia romantis parah”
Aku rasa, Cleo dan Abi akan makin mengagumi Adrian
setelah ini.
*
Pertandingan berlangsung sangat seru. Aku baru tahu kalau
menonton pertandingan futsal bisa semenyenangkan ini. Tim sekolah kami berjuang
sekuat tenaga. Aku bahkan hampir berteriak saat ada pemain lawan yang menjegal
kaki Adrian. Aku tak tega melihatnya kesakitan. Untungnya, tim sekolah kami
memenangkan pertandingan dan masuk ke babak final bulan depan.
Aku berniat menghampirinya untuk memberikan ucapan
selamat, tapi sayangnya dia dan timnya sedang sibuk diwawancarai sebuah majalah
remaja terkenal. Matanya bertemu mataku saat wawancara itu berlangsung, tapi
dia sepertinya tak peduli padaku. Dia memandangku seperti orang asing lainnya.
Ada apa ini?
Saat wawancara berakhir, aku segera berjalan kearahnya.
Tapi lagi-lagi ada gangguan. Gerombolan penggemarnya yang kebanyakan adik kelas
di sekolah kami berebut menghampirinya untuk memberi ucapan selamat atau
sekedar tebar pesona. Diantara cewek-cewek centil itu, ada satu orang yang
cukup kukenal. Namanya Martha. Satu sekolah tahu kalau Martha adalah mantan
pacar Adrian.
Entah kenapa, aku sedikit kesal melihatnya.
Martha ternyata tak hanya sekedar menyalami Adrian, tapi
juga mencium kedua pipi Adrian dan memeluknya. Aku bahkan belum pernah dipeluk
Adrian!
Saat itu juga, aku tahu air mataku mulai mengalir dan aku
harus segera pergi. Aku berjalan keluar gedung lalu duduk di halte menunggu bus.
Beruntung bagiku, dua menit kemudian bus datang dan aku segera menaikinya. Aku
mengirim pesan lewat line pada Cleo dan Abi kalau aku pulang duluan setelah bus
mulai meninggalkan halte.
Tiga menit kemudian, ponselku berdering. Adrian.
“kamu dimana?” suaranya terdengar begitu panik.
“aku nggak mau lagi pacaran sama bintang futsal kegatelan
kayak kamu!” pekikku, kesal.
“kamu dimana, Nas?” geramnya.
“pulang” jawabku, datar.
“sendirian? Naik apa? Kita kan udah janjian bakal pulang
bareng”
“udah aku bilang, aku nggak mau jadi pacar kamu lagi!” aku
menahan tangisku saat mengatakannya.
“Nanas, sayang, aku bisa jela…” aku menutup telepon dan
langsung menangis, tak peduli para penumpang lain di bus menatapku iba.
Ini yang aku dapatkan setelah mengorbankan les pianoku.
Benar kan, cowok selalu menimbulkan masalah?
*
Aku terkejut saat menemukan isi lokerku sudah penuh
dengan puluhan tangkai bunga matahari yang cantik. Bukan cuma aku, tapi semua
murid perempuan yang sedang membuka loker di dekatku ikut terpesona melihatnya.
Diantara bunga-bunga itu, terselip kertas berukuran cukup
besar bertuliskan:
Maafin aku, Nas
Dari siapa lagi kalau bukan Adrian?
“Tash, dia sweet banget deh” Cleo mengambil setagkai
bunga matahari lalu menghirup wanginya.
“maafin aja kali, Tash. Udah dua hari nih. Kan bukan salah
dia punya penggemar yang cantik-cantik sekaligus kegatelan” ujar Abi.
Ini bukan cara pertamanya untuk meminta maaf. Dua hari
ini dia tak henti menelepon dan mengirimkan belasan pesan lewat line. Tapi aku
enggan menanggapinya. Dia tak sepenuhnya salah. Tapi harusnya aku sadar kalau
kutu buku sepertiku tak mungkin cocok dengan cowok sekeren dia.
“gue nggak pantes buat dia” aku menggeleng, sedih.
“kalau lo memang nggak pantes, dia nggak bakal berjuang
minta maaf sampai segininya. Dia ngelakuin ini karena lo pantes diperjuangin,
Tash”
*
Aku baru saja keluar dari kelas bimbingan belajar saat
melihat Adrian sedang duduk di kursi lobi sambil menopangkan kepala di
lengannya. Dia sepertinya tertidur. Aku langsung menghampirinya.
“Ian…Ian…” aku menepuk pelan pipinya, dia pun terbangun
dan beranjak dari tempat duduknya.
“hai, Nas” dia tersenyum sambil mengerjap-ngerjapkan
matanya.
“kamu dari jam berapa disini?”
“jam tiga lebih sepuluh” jawabnya, ringan. Mataku
melebar. Kelasku dimulai jam tiga dan berakhir jam setengah enam.
“kamu nungguin aku selama itu?”
Dia mengangguk. “aku nggak tahan lagi, aku pengen denger
suara kamu. Setiap mau nemuin kamu di rumah atau di sekolah, kamu menghindar
terus. Kalau aku nungguin kamu disini, kamu nggak bisa menghindar kan?”
“maafin aku soal kemarin. Aku kewalahan banget, setelah
tanding abis-abisan, aku masih harus ikut wawancara dan basa-basi sama
cewek-cewek yang berisik itu. Aku sampai nggak sadar kalau kamu ngambek” Adrian
meraih tanganku. “kalau soal Martha, aku sama dia sekarang cuma temen, nggak
lebih. Aku nggak deket sama dia”
“udah aku maafin kok” jawabku, malu-malu. “aku juga
salah, udah marah karena hal sepele kayak gitu. Oh iya, makasih ya buat bunga
di loker. Aku suka”
“jangan
marah lagi ya” dia melingkarkan lengannya pinggangku. Aku sebenarnya malu
berpelukan di lobi gedung bimbingan belajar, tapi aku benar-benar
merindukannya.
“Ian”
bisikku di telinganya. Aku melingkarkan lenganku di lehernya.
“iya,
sayang?”
“aku
kangen”
Aku
merasa Adrian tersenyum di bahuku. “aku juga”
*
Tiga
minggu berlalu, hubunganku dan Adrian berjalan sangat menyenangkan. Kami
bergandengan tangan kapanpun dan dimanapun, berangkat dan pulang sekolah
bersama, nonton ke bioskop, makan di warung nasi goreng favorit kami, atau
sesekali menghabiskan waktu hanya dengan main staco di rumahku atau jumanji di
rumahnya. kami juga sudah tak ragu untuk saling mencium pipi dan kening.
Walaupun
begitu, Adrian selalu memberiku waktu sendiri jika aku ingin mengerjakan tugas
atau belajar.
Hari ini
aku dipanggil ke ruang kepala sekolah. Jangtungku hampir copot saat
menerka-nerka apa yang membuatku dipanggil. Tapi syukurlah, ternyata aku
dipercaya kepala sekolah untuk mewakili sekolah kami di perlombaan karya tulis
ilmiah yang membahas isu pencemaran lingkungan dan penanggulangannya. Aku
sangat bersemangat karena pemenang lomba karya tulis ini akan mendapat beasiswa
kuliah ke Jepang! Aku sudah bercita-cita kuliah di luar negeri sejak kecil, aku
sangat ingin mendapatkannya. Papa dan Mama juga pasti akan makin bangga padaku.
Sepulang
sekolah, aku sibuk membaca buku-buku yang akan jadi referensiku dan mulai
membuat rumusan masalah. Menjelang jam tujuh, aku mendengar dering ponselku. Di
layarnya tertulis nama Adrian.
Astaga!
Saking seriusnya membuat karya tulis aku sampai lupa mengabari Adrian.
“iya,
Ian?”
“kamu
lagi ngapain sih? Kenapa seharian ini ngilang?” dia terdengar agak kesal.
“maaf,
aku nggak sempet ngecek handphone. Lagi belajar”
“ada hal
lain yang kamu lakuin di rumah selain belajar?” tanyanya, sarkastik.
“ada.
Makan, minum, mandi, tidur, ngobrol, kadang-kadang main staco sama kamu”
jawabku, polos.
“Nas”
dia menghela napas, berat. “jalan yuk?”
“uhm,
nggak bisa. Aku lagi bikin karya tulis buat lomba”
“sebentar
aja, Nas. Atau aku ke rumah kamu aja ya? Aku Cuma pengen ngobrol sambil tiduran
di pangkuan kamu, kayak biasa” suaranya terdengar memohon.
“kalau
kamu ke rumahku, nanti aku nggak konsentrasi bikin karya tulis ini. deadlinenya
cuma sepuluh hari, Ian” jawabku. “besok pagi aja kita ngobrolnya ya. Kamu
jemput aku kan?”
“pasti”
dia sepertinya kecewa. “ya udah, sampai ketemu besok”
“daah”
aku menutup sambungan telepon lalu melanjutkan membaca buku-buku tebal di
hadapanku.
*
“Nas”
dia meraih tanganku, memainkan jari-jariku. “aku lagi bingung. Jadi…”
Adrian
terus berbicara sedangkan aku larut dalam buku bacaanku. Buku ini akan sangat
membantuku menyelesaikan karya tulis.
“kamu
nggak dengerin, ya?” aku menoleh. Adrian sudah menatapku tajam.
“denger
kok” dustaku.
“tapi
kenapa responnya Cuma ‘hmm’ atau ‘terus’?” dengusnya.
“maaf
ya, Ian. Sebenernya aku lagi konsen baca buku ini. bagus banget buat referensi
karya tulis aku” aku memperhatikan sampul buku yang sedang kubaca.
“kenapa
sih buku terus?!” dia melepaskan tanganku dari genggamannya. “aku lagi butuh
kamu buat dengerin ceritaku, Nas. Aku lagi ada masalah”
“bukan
Cuma kamu aja yang lagi ada masalah. Aku juag. Kalau aku nggak bisa menangin
lomba karya tulis ini, aku gagal dapet beasiswa ke luar negeri”
“aku
tahu, tapi aku Cuma minta sedikit waktu buat dengerin aku” suaranya meninggi.
“Ian,
pas kamu nembak aku, kamu bilang hubungan kita nggak akan pernah ganggu waktu
belajar aku. Tapi lihat sekarang?!”
“jadi
kamu pikir aku ganggu kamu?!”
“prestasi
itu segalanya buat aku. Aku nggak mau Cuma gara-gara pacaran sama kamu,
prestasi aku di sekolah menurun”
“oke.
Kalau menurut kamu aku nggak penting” Adrian beranjak dari tempat duduknya.
“urusin aja buku-buku kamu. Aku nggak bakal ganggu”
Dia
pergi meninggalkanku begitu saja.
*
Beberapa
hari ini, aku sibuk mengerjakan karya tulisku. Aku dan Adrian masih belum
saling bicara. Dia sepertinya masih marah padaku tapi aku hampir tak punya
waktu untuk memikirkannya. Karya tulis ini hampir membuatku gila.
Jarum
jam tanganku sudah menunjuk ke angka dua. Berarti aku sudah menghabiskan satu
jam di perpustakaan ini. aku segera membereskan barang-barangku karena aku
harus segera berangkat ke tempat bimbingan belajar. Saat memasukan ponselku,
aku baru ingat kalau sudah beberapa hari ini Adrian tak menghubungiku sama
sekali. Padahal biasanya, sesibuk apapun dia selalu sempat meneleponku sebelum
tidur.
Ah, aku
merindukannya.
Saat
berjalan ke gerbang sekolah, aku melihat Adrian sedang duduk di salah satu
kursi pinggir lapangan sambil menunduk. Martha duduk disampingnya. Dia mengelus
pelan punggung Adrian lalu menyandarkan kepala di bahunya. Apa-apaan ini?!
Mataku
memanas melihatnya. Apanya yang tak dekat?! Mereka jelas terlihat lebih dari
sekedar teman.
Aku
berjalan cepat menghapiri mereka sambil berusaha setengah mati menahan air mataku.
“kalian
ngapain berduaan disini?” suaraku bergetar saat mengatakannya.
Adrian
menatapku dengan tatapan dinginnya.
“tanya
aja sama Adrian” Martha tersenyum sombong. Jabatannya sebagai ketua ekskul
dance membuatnya menjadi salah satu cewek paling populer di sekolah. Tapi dia
sama sekali tak ramah seperti Adrian.
“jawab
aku, Adrian!” aku berteriak.
Adrian
berdiri, mendekatkan tubuhnya padaku hingga hidungnya dan hidungku hampir
bersentuhan. Sorot matanya masih tajam.
“sejak
kapan kamu peduli sama urusanku, Natasha?”
Natasha?
Dia tak pernah memanggilku dengan nama Natasha lagi sejak dia memanggilku
‘Nanas’
“pacar
kamu kan buku-buku dan nilai-nilai A+ kamu itu”
“maksud
kamu apa?” aku balik menatapnya tajam.
“aku
selalu ngalah setiap kamu lebih mentingin PR, tugas, atau belajar. Aku nggak
papa. Tapi beberapa hari yang lalu aku butuh kamu, bener-bener butuh kamu. Tapi
apa kamu peduli? Kamu lebih milih karya tulis sialan itu kan?!”
“tega
banget kamu ngomong kayak gitu!” emosiku meluap. Beraninya dia menghina karya
tulis yang kubuat dengan susah payah.
“kenapa
sih kamu terobsesi banget selalu jadi yang nomor satu?! Hampir seluruh waktu
kamu dipake buat belajar”
“memang
harusnya kayak gitu kan?! Kita masih pelajar, kewajiban kita memang Cuma
belajar”
Adrian
mengacak rambutnya sendiri dengan frustasi. “susah ngomong sama maniak belajar”
Hatiku
terasa remuk. Dia bukan lagi Adrianku yang dulu.
“kalau
gitu kita udahan aja” ucapku, berusaha setegas mungkin. “aku memang lebih milih
karya tulisku daripada kamu, si ketua futsal sok ganteng dan nggak setia”
Mata
Adrian menyipit. “oke. Kita putus. Aku juga capek sama si juara umum sok pinter
kayak kamu”
“ayo,
kita pulang” dia berjalan meninggalkanku. Aku bisa melihat Martha tersenyum
sinis sebelum mengamit lengan Adrian.
Hanya
satu hal yang ingin kulakukan sekarang. Menangis sepuasnya.
*
“Tasha”
Mama mencium rambutku. Sejak tadi siang aku terus menangis terisak sambil
berbaring diatas tempat tidurku. Aku bahkan bolos dari bimbingan belajar,
sesuatu yang tak pernah kulakukan sejak SD.
“kata
mbak Rin, kamu nangis dari siang. Nggak mau makan. Kenapa?”
Aku
menggeleng pelan. “aku nggak papa, Mama”
“berantem
sama Adrian ya? Kalau pacaran memang kayak gitu, nggak bisa selalu akur” aku
tersentak. Aku belum memberi tahu Mama dan Papa kalau aku dan Adrian pacaran.
“bukan
kok. Aku Cuma lagi bingung soal karya tulis. Kayaknya aku nggak sanggup terusin
lagi deh” aku tak mau ketahuan menangis karena cowok di depan Mama.
“kalau
memang udah nggak sanggup, jangan dipaksain, sayang” Mama mengambil sisir lalu
menyisir rambutku.
“dari
dulu, Mama dan Papa nggak pernah maksa Tasha untuk selalu jadi juara. Mama dan
Papa memang bangga, tapi kami juga nggak mau bikin Tasha tertekan karena
belajar. Tasha juga boleh nikmatin masa remaja. Main sama temen-temen, jalan
sama Adrian, atau bolos sehari dari semua les buat me time. Tapi jangan
keseringan ya”
“Mama
nggak marah kalau aku nggak jadi ikut lomba karya tulis dan gagal dapet
beasiswa ke Jepang?”
Mama
mengangguk. “justru Mama marah kalau Tasha sedih kayak gini. Lakuin apapun aja
yang bikin Tasha bahagia. Soal kuliah, kalau memang Tasha memang mau kuliah di
luar negeri, Mama dan Papa udah siapin biayanya. Tasha nggak usah pusing nyari
beasiswa lagi”
Aku
langsung memeluk Mama dengan erat. “makasih ya, Ma. Tasha sayang banget sama
Mama”
“Mama
juga sayang Tasha” Mama mencium keningku.
“oh iya,
Ma. Ada satu lagi”
“apa?”
“Mama
nggak marah kalau aku pacaran sama Adrian?”
Mama
tertawa kecil. “dia cute, baik, sopan, dan perhatian banget sama Tasha. Kenapa
Mama harus marah?”
*
Hari ini
aku tak pergi ke sekolah dengan alasan sakit. Mama mengambil cuti dari
kantornya untuk menamaniku dan Papa juga berencana pulang lebih cepat dari
kantor siang ini. Mereka selalu seperti ini setiap aku sakit. Aku sangat
bersyukur mempunyai orang tua yang sangat peduli padaku.
“Tasha
masih pusing?” tanya Mama sambil mengelus keningku.
aku
menggeleng. “aku udah ngerasa sehat banget, Ma. Oh iya, aku sebenernya pengen
keluar sebentar, boleh nggak?”
“mau
kemana? Kalau mau makan diluar atau ke toko buku, kita tunggu Papa pulang ya,
supaya bisa pergi sama-sama”
Aku
menggeleng lagi. “aku mau ke rumah Adrian. Mau minta maaf sama dia”
“tuh
kan, lagi berantem” Mama mengulum senyum.
Aku
mengangguk malu-malu.
“gimana
kalau ke rumah Adriannya sambil bawa cake?” tawar Mama.
“mau!”
*
Setelah
membuat kue bersama dan menyiapkan diri, aku berangkat ke rumah Adrian. Mamaku
memang sangat pandai membuat kue, semua kue buatannya selalu jadi favoritku.
Aku yakin Adrian akan menyukai tiramisu yang kubawa untuknya ini.
Aku
menekan bel rumah Adrian. Suasana rumahnya tak sehening biasanya. Adrian hanya
tinggal bersama papanya. Mamanya sudah meninggal sejak dia masih kelas tiga SD
dan kakaknya yang kuliah di ITB ngekost di Bandung.
Aku
terkejut saat yang membukakan pintu bukan Adrian, tapi seorang cowok tinggi
berwajah tampan yang cukup mirip dengan Adrian. Siapa dia?
“hai”
suara bariton cowok itu membuyarkan lamunanku. “nyari siapa ya?”
“aku
Nat…eh, Nanas. Temennya Adrian”
Cowok
itu tersenyum penuh arti saat mendengar namaku. “oh, jadi lo yang namanya
Nanas”
Apa sih
yang Adrian ceritakan pada cowok ini tentang aku? Dan, ya ampun, siapa dia?
Seolah
bisa membaca pikiranku, dia mengenalkan dirinya. “gue Arlan, abangnya Adrian”
Oh. Aku
manggut-manggut. Ini pertama kalinya aku bertemu abangnya Adrian. Adrian
bilang, abangnya itu memang jarang pulang ke rumah karena sibuk kuliah.
“ayo,
masuk” aku mengikuti langkahnya ke dalam rumah dan melihat ada tiga cowok
lainnya yang sedang bermain xbox di ruang TV
“gila!
Cewek lo bening banget, nyet!” ujar salah satu dari mereka sambil tersenyum
padaku.
“katanya
nggak doyan ABG, tapi yang cantik tetep lo gebet juga” ledek yang lainnya.
“ceweknya
si Adrian” jawab kak Arlan, datar. Dia lalu mengalihkan pandangannya padaku.
“Adrian lagi beli makan. Lo nunggu di kamarnya aja, nggak papa ya? Kalau disini
lo bisa digangguin setan-setan itu” dia menunjuk teman-temannya.
Aku
tertawa kecil. “nggak papa, kak”
*
“untung
lo dateng sekarang, Nas. Gue udah males banget lihat si Adrian kayak mayat
hidup” ujar kak Arlan sambil membukakan pintu kamar Adrian.
“mayat
hidup?” aku mengerutkan kening.
“kemarin
dia kacau banget. Menyendiri di kamar, nggak makan, nggak minum, nggak ngomong
apa-apa. Gue kira alasannya karena dia keluar dari tim futsal, ternyata karena
dia nggak bisa berhenti mikirin lo dan nyesel kenapa dia setuju waktu lo minta
putus”
“Adrian
keluar dari tim futsal?!” mataku melebar. Dia sangat mencintai timnya. Dia tak
mungkin keluar!
“eh, dia
belum cerita ya?” kak Arlan terlihat bingung. “ya udah, gue ke bawah dulu ya.
Biar dia aja yang cerita nanti”
Setelah
lima menit menunggu, aku mendengar suara langkah kaki terburu-buru. Beberapa
saat kemudian aku melihat Adrian di ambang pintu dengan napas terengah-engah.
“hai,
Ian” sapaku, ragu-ragu.
Dia
langsung menghampiriku. “maafin aku, Nas. Aku udah kacauin semuanya. Hati kamu,
hubungan kita” suaranya terdengar berat.
“kenapa
kamu keluar dari tim futsal?” aku tak mempedulikan ucapannya tadi.
“ada
salah paham di tim, panjang ceritanya. Itu yang sebenernya mau aku ceritain ke
kamu beberapa hari yang lalu” jawabnya, sedih. “tapi masalahnya udah selesai
kok, walaupun aku tetep keluar dari tim”
“kalau
gitu, aku yang harusnya minta maaf” aku menatapnya. “harusnya aku luangin waktu
buat denger cerita kamu, tapi aku terlalu egois. Aku Cuma mikirin masalahku
sendiri”
Dia
berlutut di hadapan kursi yang sedang kududuki lalu menggenggam kedua tanganku.
“Nanas, aku sayang kamu. Aku nggak mau kita putus. Kamu harus percaya, nggak
ada apa-apa antara aku sama Martha. Waktu itu aku lagi pusing banget. Aku lagi
punya masalah sama temen-temen satu timm, dan nggak ada satu orang pun yang
bisa aku ajak cerita. Papa masih di luar negeri, bang Arlan lagi sibuk UTS,
kamu juga lagi sibuk bikin karya tulis. Cuma Martha yang bisa dengerin aku. Aku
juga deket-deket sama dia Cuma buat bikin kamu cemburu. Jangan marah, ya?”
“aku
nggak marah, Ian. Aku juga nggak mau kita putus” aku tersenyum padanya.
“aku
masih pacar kamu?”
“selama
kamu masih panggil aku Nanas, iya”
Adrian mendekatkan
wajahnya padaku lalu menggesek-gesekan hidungnya ke hidungku.
“I love
you, Nas” bisiknya, lembut.
Aku
tersipu melihat matanya menatapku penuh sayang. “I love you too”
Lalu aku
menyadari bibirnya mulai mendekati bibirku.
“Ian,
cewek lo nggak lo ambilin min…”
Adrian
langsung menjauhkan wajahnya dariku saat melihat kak Arlan sudah berdiri di
ambang pintu dan menatap kami dengan geli.
“kalau
mau ciuman, tutup pintu dulu kali. Dasar ABG” kak Arlan tertawa lalu
meninggalkan kami berdua yang salah tingkah.
“err…aku…”
Adrian menggaruk tengkuknya. Wajahnya tersipu.
“mau
tiramisu?” aku menunjukan kotak bekal yang kubawa. Dia mengangguk senang.
“suapin
ya?” pintanya, manja.
“yang
cewek kan aku. Harusnya aku yang minta disuapin” aku tak mau kalah.
“gentian
aja ya”
*