Dec 22, 2015

cerpen: LDR part.2

LDR
 part. 2


Di rumah lagi…
Ini sudah ke sekian puluh kalinya aku menghabiskan malam minggu hanya dengan menonton TV di rumah. Bosan begini terus.
Sejak Nicho, pacarku kuliah di Jerman, kami berdua resmi jadi anggota LDR. Yang artinya kami hanya bisa mengobrol lewat telepon, aplikasi massanger, dan hanya bisa ‘bertemu’ lewat video call yang nggak bisa setiap hari kami lakukan. Selebihnya semua aktivitas yang biasanya kami kerjakan bersama, sekarang kami kerjakan masing-masing. Berangkat kuliah, jalan-jalan, atau nonton ke bioskop. Awalnya aku bisa menerima keadaan seperti ini, tapi lama-lama jadi capek juga. komunikasi antara aku dan Nicho terbatas, belum lagi Nicho adalah salah satu tipe orang yang gila belajar. Kalau sudah serius dengan tugas kuliahnya, dia bisa lupa apapun, termasuk menghubungiku. Aku sering cemas karena dia nggak menghubungiku selama berhari-hari. Selain itu, aku juga sedikit sebal sering disebut ‘jomblo’ oleh teman-teman sekampus gara-gara aku pergi kemana-mana sendiri.
Aku juga mau dijemput atau diantar pulang, diajak jalan, atau nonton bioskop bareng seperti teman-teman sekitarku yang punya pasangan. Aku juga ingin seperti yang lain, yang menghabiskan malam minggu dengan duduk di kafe, atau jalan-jalan ke tempat favorit bareng pacar. Bukannya jadi penjaga TV seperti ini.
Aku meraih handphoneku dia atas meja lalu mengetik pesan ke id line Nicho.

 ‘Nic, aku kangen’

*
Aku dan Nicho satu sekolah saat SMA. Di tahun pertama, Nicho sudah cukup populer dengan prestasinya sebagai juara umum dan anggota tim basket sekolah. Sedangkan aku cuma murid biasa yang kurang populer dan hanya punya prestasi sebagai juara kelas saja.
Saat kelas dua, kami duduk di kelas dan bangku yang sama. Aku masih ingat saat murid-murid perempuan di kelas kami -yang merupakan penggemar Nicho- mencibirku habis-habisan karena iri padaku yang terpilih duduk sebangku dengan Nicho. Aku sendiri nggak mempedulikan cibiran mereka, juga sama sekali nggak naksir Nicho walaupun harus kuakui Nicho memang ganteng banget. Karena perasaan kami yang netral, aku dan Nicho mudah menempatkan diri sebagai sahabat. Kami bisa bicara panjang lebar mulai dari pelajaran, musik coldplay, sekuel-sekuel film fast & furious, tempat nongkrong yang seru, sampai games terbaru.
Kami sering berlomba mendapatkan nilai tertinggi saat ulangan harian di kelas. Hukuman yang mendapat nilai lebih rendah adalah mentraktir tiket nonton di blitzmegaplex. Si juara umum di sekolah itu jelas bukan tandinganku, sudah bisa dipastikan akulah yang paling sering kalah. Kami hampir setiap minggu nonton di blitzmegaplex atas nama kekalahanku. Rasanya kesal juga, walaupun setiap selesai nonton Nicho sering mentraktir makan apapun yang kumau.
Entah kapan bermulanya, tapi aku mulai merasa berdebar saat melihat Nicho dangan senyum khasnya. Tiba-tiba saja menjelang naik kelas 3, aku jadi takut. Aku takut di kelas 3 nanti kami akan pisah kelas, takut nggak bisa ngobrol dengannya lagi, nggak mau jauh darinya. Galau sekali rasanya. Apa aku mulai naksir dia?
Untungnya, ketakutanku ternyata nggak terbukti. Aku dan Nicho dipertemukan lagi di kelas yang sama dan lagi-lagi kami berbagi bangku yang sama. Hal itu membuat perasaanku makin menjadi-jadi. Aku benar-benar naksir dia!
Tapi, perasaan ini nggak boleh diteruskan. Aku tahu betul kalau Nicho hanya menganggapku sahabatnya. kami nggak mungkin jadi pasangan. Lagipula masih banyak murid perempuan di sekolah yang lebih cantik dan lebih modis dariku yang bisa dipilih Nicho.
Suatu pagi, ada sebuket bunga daisy di atas mejaku. Aku yakin bunga itu disimpan oleh salah satu penggemar Nicho. Aku sudah terbiasa melihat sebuket bunga ‘nyasar’ diatas mejaku yang sebenarnya ditujukan untuk Nicho. Resiko sebangku dengan idola sekolah.
“nih, buat kamu” aku menggeserkan buket bunga itu ke dekat Nicho.
“itu buat kamu” jawab Nicho sambil tetap mengerjakan soal di LKS kimianya dengan tenang. Nicho punya kebiasaan mengerjakan latihan soal-soal di LKS sebelum jam pelajaran dimulai. Membuatku nggak heran kenapa dia bisa mempertahankan gelar juara umumnya selama 4 semester berturut-turut.
“nggak mungkin, aku kan nggak punya penggemar” Memang benar, aku nggak cukup populer untuk dapat kirimin bunga secantik ini.
“kamu punya penggemar, kok. Kamunya aja yang nggak sadar”
“oh, ya? Siapa?” tanyaku, sinis.
“nanti juga kamu tahu”
Aku membuka kartu yang terselip di buket bunga itu. Aku terkejut begitu melihat tulisan tangan yang sudah sangat kukenal itu

‘aku suka kamu sejak pertama kali kita duduk sebangku.
Claudia Rasya, mau jadi pacarku?’
-Nicholas Armanda-

Aku terkesiap membaca tulisan di kartu ini. ini bunga dari Nicho untukku? Dan, dia minta aku jadi pacarnya? Apa aku sedang bermimpi?
Aku mengalihkan pandanganku padanya. Baru kusadari kalau dari tadi Nicho memperhatikanku sambil tersenyum.
“Nic, ini…”
“kamu mau?” tanyanya, tenang. Aku nggak bisa melakukan apa-apa lagi selain mengangguk pelan sambil tersenyum. Nicho menggenggam tanganku dan nggak melepasnya sampai guru kami masuk kelas. Selama setahun lebih duduk sebangku dengannya, ini adalah hari yang paling menyenangkan.
*
Nicho nggak pernah terang-terangan menyebut kata sayang atau cinta padaku. Dia lebih suka menunjukan rasa sayangnya lewat perhatian. Mengantar dan menjemputku ke sekolah, membukakan pintu mobil, membantuku membawa buku-buku dari perpustakaan, atau mengajariku pelajaran yang agak sulit kumengerti. Saat di kelas biasanya dia iseng memutar helaian rambutku dengan jemarinya, mencubit pipiku, menjawil hidungku, atau melakukan apapun untuk mengangguku. Dan biasanya saat aku mulai ngambek, dia akan mentraktirku es krim matcha sebagai permintaan maaf.
Kami baik-baik saja, sampai hari kelulusan SMA tiba.
Semua murid-murid di sekolah saling mencorat-coret baju mereka untuk merayakan kelulusan. Aku menuliskan namaku dengan spidol warna pink ke kerah seragam Nicho. Tanpa kuduga, Nicho mengusap pipiku, lalu mengecup lembut bibirku. Itu ciuman pertama kami.
“selamat, ya” Nicho tersenyum. Aku selalu suka pada senyumannya. Menenangkan, menyejukan, tapi sekaligus bisa membuat pipiku memanas tiba-tiba.
“kamu juga, selamat ya” aku membalas senyumnya. “jadi kuliah di ITB, kan?”
Nicho terdiam sebentar. “ehm, sebenernya dua minggu lagi aku berangkat ke Jerman. Aku keterima di Stuttgart university” katanya, ragu-ragu. Mungkin dia bingung antara senang dan bangga atau sedih. “maaf ya, aku baru berani bilang sekarang”
Aku hanya bisa melongo.
Aku memang sudah tahu kalau Nicho mengirim aplikasi ke Stuttgart university di Jerman. Tapi aku sama sekali nggak memikirkan kalau Nicho akan diterima. Nicho bilang universitas itu adalah salah satu universitas terbaik di Jerman dan dia sama sekali nggak bermimpi bisa masuk kesana. Bodohnya aku yang lupa kalau pacarku itu jenius. Dengan prestasi cemerlangnya, mungkin saja dia diterima di universitas bergengsi manapun, termasuk di luar negeri.
“Ca?” Nicho membuyarkan lamunanku.
Air mata mulai membasahi pelupuk mataku. Ingin sekali aku mengucapkan selamat, ungkapan bangga, atau kata pujian apapun untuknya. Tapi, aku terlalu sedih untuk mengatakannya. “aku nggak mau LDR-an” itu saja yang bisa kuucapkan.
“kita bakal baik-baik aja, Ca” Nicho meyakinkanku. “nggak ada yang salah sama LDR”
“tapi aku nggak mau” tangisku makin dalam. Nicho merengkuhku dalam pelukannya.
“jangan nangis terus, aku nggak tega ngelihatnya” Nicho mengelus rambutku. “kita pasti bisa lewatin semuanya. Cuma 4 tahun. Kita masih bisa ketemu pas aku libur semester”
*
Nggak terasa, sekarang aku dan Nicho sudah lebih dari setahun LDR-an. Selama itu, Nicho belum sempat pulang ke Indonesia. Libur semester kemarin, Nicho nggak jadi pulang ke Indonesia karena di waktu yang sama papa dan mamanya terbang ke Jerman untuk urusan bisnis dan sekalian mengunjungi anak tunggalnya itu. Jadi aku harus lebih bersabar menunggu Nicho pulang ke Indonesia.
Handphoneku berbunyi. Line dari Nicho.
‘Ca, lagi ngapain?’
Aku langsung mengetik balasan. ‘lagi ngampus, kamu?’
aku baru bangun, disini masih pagi hehe’
Ah, aku benar-benar kangen dia. ‘aku kangen kamu’
‘aku lebih kangen kamu’
‘cepet pulang L
‘sabar ya, sayang’
“ciye, anak LDR. Mainnya sama handphone mulu” Yura, sahabatku sejak SMA tiba-tiba sudah duduk manis di hadapanku. Dia memang hobi meledek hubungan jarak jauhku dengan Nicho.
“ih, rese!” aku langsung memasukan handphoneku ke dalam tas.
“si Nicho kapan pulang, Ca?” tanya Andra, pacarnya Yura sejak SMA yang juga sahabatnya Nicho. Mereka memang pasangan kembar siam. Nempel terus 24 jam, kapanpun, dimanapun.
“libur semester ini kayaknya” jawabku.
“kalau aku jadi kamu, aku pasti nggak akan tahan, deh. Aku kan nggak bisa jauh-jauh dari Andra” kata Yura sambil mengamit lengan Andra dengan manja.
“lebay, deh” cibirku, sebal.
“sirik, deh” Yura balik mencibir sambil meleletkan lidahnya.
Yura dan Andra memang pasangan idola paling serasi sejak SMA. Yura yang jadi ketua tim cheerleader sangat cocok dipasangkan dengan Andra yang kapten basket. Saking cocoknya, mereka bahkan terpilih jadi prom king dan prom queen di prom night sekolah kami. Setelah lulus SMA, kami bertiga memilih universitas yang sama walaupun beda jurusan. Aku dan Andra kuliah di jurusan kedokteran gigi, sedangkan Yura di jurusan desain komunikasi visual. Kami sering nongkrong bertiga di kampus, dan tentu saja aku jadi ‘obat nyamuk’ mereka. Aku sebenarnya iri pada Yura yang bisa selalu ditemani Andra. Aku juga mau Nicho-ku yang dulu. Nicho yang selalu ada untukku. Bukan Nicho yang hanya rajin mengirim pesan di line dan wajahnya hanya bisa kulihat lewat video call.
“Ca, emangnya kamu beneran nggak takut kalau disana Nicho punya cadangan?” tanya Yura, mimik mukanya mulai serius.
“cadangan?” aku mengerutkan dahi.
“punya cewek lagi maksudnya”
Aku menggeleng. “nggak mungkin, deh. Nicho kan nggak kayak gitu orangnya”
“tapi kan kalian udah setahun nggak ketemu. Kamu kan juga nggak tahu temen-temennya Nicho kayak gimana. Kalau ada yang lebih cantik dari kamu, atau ada yang lebih seru dan bikin Nicho lebih seneng, gimana?” Yura mulai menakut-nakutiku.
“Yura, udah ah! jangan nakut-nakutin gitu” aku cemberut.
“ih, bukannya nakut-nakutin, Caca sayang. Aku kan udah bilang kalau long distance relationship itu rentan banget sama orang ketiga. Mungkin aja kayak gitu, kan?” jawab Yura, lalu dia beranjak memesan minuman untuk Andra.
Dalam hati, aku membenarkan kata-kata Yura. Aku dan Nicho sudah setahun nggak bertemu. mungkin saja di Jerman sana Nicho sudah punya ‘cadangan’
Aku jadi takut.
*
Aku memasang earphone ke telingaku sambil menunggu ikon akun skype milik Nicho menyala.
“hai, pak arsitek!” sapaku ceria. Wajahnya sudah memenuhi layar handphoneku. Dia memakai kemeja denim lengan pendek dengan kacamata berbingkai hitam yang sudah biasa kulihat.
“hai, bu dokter!” dia tersenyum. “cantik banget hari ini”
“gombal, deh” aku jadi tersipu malu.
“aku sambil bikin tugas ya, Ca. nggak papa kan?”
“iya, nggak papa. Kamu bikin tugas aja, aku temenin”
Aku memandangi Nicho yang sedang mengerjakan tugas bersama buku-buku tebalnya lewat layar handphone. Tiba-tiba saja, aku jadi ingat kata-kata Yura tadi siang di kantin kampus.
“Nicho sayang” rajukku, manja.
“iya, Ca?”
“kamu disana jangan nakal, ya. Jangan deket-deket sama cewek lain, apalagi yang lebih cantik dari aku. Pokoknya jangan selingkuh”
Nicho malah tertawa. “kamu tahu kan, aku ini gimana? Waktu kita belum pacaran aja aku nggak pernah deket sama cewek selain kamu. Apalagi sekarang”
“aku takut aja, Nic. Takut kamu berubah, takut aku udah nggak cocok lagi buat kamu, takut kamu bosen sama aku, takut…”
“aku sayang banget sama kamu, Ca. Kamu aja, nggak ada yang lain” potong Nicho. “kamu harus percaya itu”
“i love you” kataku sambil tersenyum.
“I love you more” dia membalas senyumanku.
Kalau sikap Nicho masih semanis ini, harusnya aku nggak perlu khawatir.
*
Pagi ini rasanya menyenangkan sekali.
Aku dan mamanya Nicho sudah berada di bandara untuk menjemput Nicho yang baru datang dari Jerman. Akhirnya, aku bisa bertemu lagi dengan Nicho. Jantungku rasanya berdebar lebih cepat dari biasanya.
Setelah menunggu cukup lama, Nicho akhirnya muncul dengan koper dan beberapa barang bawaan lainnya. Tapi dia nggak berjalan sendirian, disampingnya ada seorang perempuan berpostur tubuh tinggi semampai, rambut ikal kecoklatan, dan kulit putih pucat. Sepertinya aku kenal. Ah, dia kan Angel. Teman sekelasku saat SMA yang kabarnya melanjutkan kuliah di Belanda. Kenapa dia bisa satu pesawat dengan Nicho? Dan, kenapa dia akrab sekali dengan Nicho? Jangan-jangan…
“Caca?” suara Nicho membuyarkan lamunanku.
“eh, iya. Kenapa?”
“ini Angel. Masih inget, kan? Temen SMA kita”
Tentu saja aku ingat. Dulu, Angel sempat naksir Nicho saat status Nicho sudah jadi pacarku. Banyak yang bilang kalau Angel lebih cocok dengan Nicho. Aku jadi sebal sendiri mendengarnya.
Aku mengangguk. “inget, kok. Nggak nyangka kita bisa ketemu lagi ya, Gel”
Angel mengangguk sambil tersenyum. “iya, udah lama banget ya nggak ketemu, Ca. seneng banget, deh”
Aku malah berharap nggak bertemu dia lagi!
Nggak lama, Angel pamit padaku, Nicho, dan mamanya Nicho karena papanya sudah datang menjemput. Sebelum pergi, Angel sempat bercerita kalau dia berencana untuk berhenti kuliah di Belanda dan pindah kuliah ke Jerman, ke kampus yang sama dengan Nicho. Ini artinya, Angel dan Nicho akan punya banyak waktu bersama. Aku jadi khawatir.
“Ca, sayang” Nicho mengusap rambutku. “kok diem terus dari tadi? Aku kan kangen dicerewetin kamu lagi”
“kok Angel bisa satu pesawat sama kamu, sih?” tanyaku, tanpa basa-basi.
“jadi selama di Jerman Angel itu tinggal di rumah tantenya. Letaknya nggak jauh dari tempat tinggal aku. Beberapa bulan lalu kita nggak sengaja ketemu, abis itu ngobrol soal rencana kita yang sama-sama mau pulang ke Indonesia. Ya udah, kita sekalian aja mesen tiket bareng. Gitu aja”
“terus kenapa kamu bisa akrab sama dia? Pas SMA dulu kan kamu sama dia nggak deket”
Nicho tersenyum lebar lalu menjawil hidungku. “cemburu, ya?”
“nggak! Biasa aja!” aku jadi salah tingkah.
“aku nggak deket sama dia. Aku sama dia cuma temen ngobrol” Nicho lalu mendekapku dalam pelukannya. “hmm..udah lama nggak peluk-pelukan lagi”
“ih, malu tahu” aku berusaha melepaskan diri. Tapi Nicho malah makin mempererat pelukannya. Untung mamanya Nicho sedang pergi ke toilet. Aku bisa tambah malu kalau Nicho memelukku seperti ini di depan mamanya.
“Nic” panggil seseorang di belakang kami. Aku dan Nicho langsung berbalik. Ternyata Angel.
“aku lupa ngasih ini tadi” dia mengeluarkan sebuah ipod touch warna hitam yang sudah sangat aku kenali. Milik Nicho. “makasih ya, udah pinjemin tadi”
“sama-sama” Nicho meraih ipod itu lalu memasukannya ke dalam saku jaket.
“eh, kita jadi kan mau dinner bareng ke kedai pasta deket SMA? Nanti kabarin lewat telepon ya. Eh, atau line aku aja deh, kayak biasa”
Aku mendelik tajam ke arah Nicho. Sedangkan Nicho sepertinya sudah mulai salah tingkah. “ehm, iya.”
“oke. Sampai nanti” Angel melambaikan tangan pada kami berdua. Setelah Angel tak terlihat lagi, aku langsung menatap Nicho, tajam. “Ca, maksudnya itu…”
“katanya nggak deket, tapi mau jalan bareng!” aku memukul-mukul bahu Nicho. “kamu suka bohong, ah! nyebelin!”
“nggak gitu maksudnya, sayang”
*
“Ca, masih marah ya?” tanya Nicho. Siang ini, mamanya Nicho mengajakku untuk makan siang bersama di rumahnya. tadinya aku mau menolak karena sedang ngambek pada Nicho, tapi mamanya Nicho sangat baik padaku dan aku nggak tega menolak setiap ajakannya.
“nggak!” jawabku, cepat.
“masih marah, ya?” tanyanya lagi, sambil menggeserkan badannya lebih dekat denganku.
“dibilangin nggak, ya nggak!”
“ya udah, sini aku cium dulu” Nicho mendekatkan wajahnya. Tapi aku langsung menjauhkan wajahku.
“cium Angel aja sana! Dia kan yang udah nemenin kamu selama di pesawat, udah janjian mau makan bareng juga!”
Nicho malah tertawa. Dia lalu mendekatkan wajahnya lagi sampai hidung kami bersentuhan. “kamu beneran cemburu sama Angel, ya?” bisik Nicho.
“apaan, sih?” jawabku, dengan berbisik juga karena wajah kami sekarang sangat dekat.
Nicho mengecup hidungku dengan lembut, lalu lanjut mengecup bibirku. Aku nggak bisa menolaknya, karena keduanya terjadi begitu cepat.
“aku kan udah bilang nggak mau dicium!” aku menutup bibirku dengan tangan.
“kamu lucu banget, ya” Nicho lalu menjawil hidungku. Aku mendengus kesal sambil mengusap hidungku.
“selama di pesawat, aku sama Angel cerita soal pacar kita masing-masing. Dia excited banget waktu tahu aku masih pacaran sama kamu. Akhirnya kita bikin rencana buat double date”
“double date?”
“iya, sekalian Angel mau kenalin pacarnya sama kita. Tadinya aku nggak mau ngasih tahu kamu dulu, biar jadi kejutan. Tapi malah dibongkar duluan sama dia” Nicho terkekeh.
Aku jadi malu sendiri karena sudah menuduh Nicho yang bukan-bukan. Harusnya aku bertanya dulu sebelum marah-marah nggak jelas. “maaf ya, aku nggak tahu” aku langsung mengelus pipinya dengan lembut.
Nicho mengangguk. Dia lalu mengambil salah satu paper bag dari dalam kopernya lalu memberikannya padaku. “oleh-oleh dari jerman!” katanya, ceria.
“ini apa?” tanyaku, yang dalam hati sedang menebak-nebak isi paper bag dalam genggamanku ini.
“buka aja, pasti kamu suka”
Aku membuka paper bag itu dan langsung terpekik kegirangan saat melihat isinya. Boneka kucing berwarna abu-abu! Ukurannya cukup besar dan sangat mirip dengan kucing sungguhan.
“ah, lucunya!” aku menempelkan bulu boneka kucing itu ke kedua pipiku. Lembut sekali rasanya.
“makasih ya, sayang” Nicho tahu aku sangat fanatik pada kucing. Tapi keinginanku memelihara kucing nggak bisa terwujud karena penyakit asmaku yang akut.
Nicho tersenyum sambil mengelus rambutku. “suka kan?”
“suka banget!” jawabku, cepat. Tiba-tiba aku merasa ada benda kecil yang jatuh dari boneka kucing yang sedang kupeluk. Aku memungut benda yang ternyata sebuah cincin platina itu.
“ini cincin siapa, Nic?”
Nicho menggeleng. “nggak tahu. Hadiah dari bonekanya kali”
“nggak mungkin. Masa boneka berhadiah cincin yang mahal kayak gini?” jawabku. “ini mungkin punya karyawan toko boneka di tempat kamu beli boneka ini, deh”
Nicho malah mengulum senyum. Aku jadi bingung.
“bercanda, deh. Cincin itu aku beli buat kamu” Nicho mengambil cincin itu lalu memakaikannya di jari manis tangan kiriku. “liburan semester kemarin, aku iseng cari kerja supaya bisa beliin hadiah buat kamu pas pulang ke Indonesia. Ternyata aku dapet kerjaan yang gajinya lumayan, jadi aku bisa beli ini”
Aku menatap cincin itu. Walaupun tanpa berlian dan benda berkilau lainnya, cincin itu tetap terlihat manis. Dan aku tahu harganya tak murah.
“tapi ini kan..mahal banget”
Nicho tertawa. “tenang aja, itu seratus persen pake uang hasil kerja. Aku nggak pake uang kuliah sama sekali. Itung-itung hadiah anniversary kita tahun kemarin, waktu itu kan aku nggak bisa kasih kamu kado”
Aku tak bisa berhenti tersenyum. Nicho selalu saja menunjukan sisi manisnya yang membuatku semakin jatuh cinta padanya. “makasih, ya”
“makasih aja?” Nicho menaikan sebelah alisnya.
“terus?”
“pake cium atau peluk, kek. Kalau lagi chatting kamu sering ngasih emoticon cium sama peluk, giliran ketemu malah diem terus” protes Nicho dengan mimik muka yang lucu.
Aku tertawa lalu langsung memeluk dan mengecup pipinya berulang kali. Seolah tak mau kalah, Nicho balik mengecup pipiku lebih lama sebelum akhirnya mengecup bibirku lagi.
*
“Caca..cantik banget, deh” puji Angel saat aku dan Nicho menghampi mejanya. Di samping Angel duduk seorang laki-laki tinggi dengan senyum ramah yang aku yakini sebagai pacar Angel.
“kamu juga cantik, Gel” aku balik memuji dengan tulus. Angel lalu mengenalkan pacarnya yang bernama Rafka padaku dan Nicho. Sambil menikmati makanan masing-masing, kami mengobrol tentang banyak hal. Mulai dari kuliah sampai homesick-nya Angel dan Nicho selama berada di luar negeri. Angel sangat mesra dengan Rafka, begitu pula Nicho yang sesekali menggenggam tanganku di atas meja atau menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajahku ke telinga. Kalau seperti ini, rasanya aku tak perlu khawatir membiarkan Nicho dan Angel kuliah di kampus yang sama.
Aku pamit ke toilet untuk mencuci tangan dan menyisir rambutku. Tapi saat berjalan menuju toilet, aku terkesiap melihat pemandangan di hadapanku. Ada seorang perempuan yang sedang bermesraan dengan seorang laki-laki yang kukenal. Laki-laki itu memeluk lalu menciumnya beberapa kali.
Dan laki-laki itu... Andra.
*
“pulang, yuk?” bisikku pada Nicho. Aku tak jadi pergi ke toilet dan memutuskan untuk kembali ke mejaku setelah apa yang kulihat tadi.
“kenapa? Kan makanannya belum abis” tanya Nicho, bingung.
“aku harus pulang, Nic” rengekku. Aku ingin sekali menghubungi Yura dan memberi tahunya kalau Andra ternyata bukan laki-laki baik-baik.
“ada yang penting banget, ya? Atau, kamu nggak enak badan?” mendengar nada khawatir di suara Nicho, aku langsung menceritakan semua yang kulihat dengan cara mengetik di notes handphoneku agar Angel dan Rafka nggak terganggu.
Nicho mengerti dan langsung berpamitan pada Angel dan Rafka. Dia mengatakan kalau kami sudah punya janji dengan teman yang lain. Angel dan Rafka sempat meminta kami tinggal lebih lama lagi, tapi akhirnya mereka membiarkan kami pulang duluan.
Dengan ragu, aku menekan nomor handphone Yura yang sudah kuhafal diluar kepala. “halo, Ra?”
“hai, gimana ngedatenya sama Nicho? Sukses kan?”tanya Yura dengan semangat. Membuatku makin tak tega mengatakan yang sebenarnya.
“uhm, kamu sekarang ke kedai pasta deket SMA, ya. Nicho mau nraktir kita”
“wah, asyik! Aku kesana deh sekarang. Tapi aku nggak bisa ngajak Andra, soalnya dia lagi main futsal sama temen-temennya”
Main futsal?! Darahku mulai mendidih. Bisa-bisanya Andra bohong pada Yura yang sangat menyayanginya.
“nggak papa. Kamu naik taksi aja, nanti pulangnya Nicho yang nganter”
Setelah Yura mengatakan oke, aku menutup sambungan telepon. Aku dan Nicho duduk di sofa dekat pintu masuk untuk mengamati Andra dari kejauhan. Mereka makin mesra saja. Entah apa yang akan terjadi saat Yura melihatnya.
Diluar dugaanku dan Nicho, Yura datang dari pintu samping, bukan dari pintu depan tempat kami menunggunya. Alhasil, Yura langsung melihat Andra yang sedang mencium perempuan di sebelahnya.
Aku membenamkan wajahku pada dada Nicho sambil memeluknya saat Yura melabrak Andra. Aku nggak mau melihatnya, tapi aku masih bisa mendengar suara kemarahan Yura beserta suara orang-orang di kedai yang mengomentari pertengkaran mereka.
“Ca, ayo kita kejar Yura” kata Nicho. Aku baru menyadari kalau Yura sudah nggak ada di kedai, Andra sudah basah kuyup dan gelas minuman di hadapannya sudah kosong. Aku dan Nicho segera berlari mengejar Yura tanpa peduli lagi dengan keadaan Andra.
Yura terus menangis sambil mengumpat Andra selama perjalanan pulang. Aku hanya bisa mengelus rambutnya sambil mendengar semua keluh kesahnya sampai tuntas. Nicho pun memilih diam sambil tetap mengemudikan mobilnya.
“aku sayang banget sama Andra, Ca. aku selalu ada buat dia kapanpun dia butuh, tapi lihat apa balesannya? Dia malah selingkuh sama perempuan gatel itu! Akhir-akhir ini dia memang sering menghindar dari aku, tapi aku nggak nyangka dia bakal setega ini. Aku benci dia, Ca!”
Aku ikut menangis mellihat Yura yang terus menangis. Aku sangat sayang pada Yura dan nggak tega melihatnya sesedih ini.
Kami mengantar Yura sampai depan rumahnya. Aku sudah berjanji kalau besok aku akan datang ke rumahnya untuk mendengar cerita dan menghiburnya lagi. Sepanjang perjalanan ke rumahku, aku terus melamun.
“kamu nggak usah sedih lagi, sayang. Yang penting sekarang Yura tahu kalau Andra bukan orang yang tepat buat dia” Nicho meraih tanganku dengan sebelah tangannya, sebelahnya lagi masih memegang kemudi.
“Nic, ternyata ketemu setiap hari nggak bisa ngejamin kesetiaan, ya. Buktinya Andra masih bisa selingkuh walaupun dia sama Yura nempel terus tiap hari”
“makanya kamu jangan sirik terus sama pasangan-pasangan yang bisa tiap hari ketemu. Yang penting itu kita saling percaya dan tahan sama godaan-godaan”
“kalau kamu? Bakal selingkuh kayak Andra juga?” tanyaku, polos.
“sekarang sih belum ada niat buat selingkuh. Mudah-mudahan seterusnya tetep gini” jawab Nicho tanpa beban.
“mudah-mudahan?!” sorot mataku mulai tajam. aku melepas tanganku dari genggamannya.
“aku nggak mau banyak janji. Aku cuma bisa bilang kalau aku sayang kamu. Sekarang, dan mudah-mudahan sampai nanti” Nicho menggenggam tanganku lagi. Aku suka kata-katanya. Sederhana tanpa banyak omong kosong.
“belajar gombal dimana sih? Jago banget” aku tertawa. Nicho ikut tertawa mendengarnya.
Aku rasa, selama kami saling percaya, nggak ada lagi yang perlu ditakutkan. Aku dan Nicho akan bersama. Sekarang, dan mudah-mudahan sampai nanti.


THE END

Nov 4, 2015

cerpen: bukan (FRIENDZONE)

(bukan) FRIENDZONE

By: Aindirad





“gue mau rapat OSIS dulu, sebentar. Lo mau tungguin atau mau pulang duluan?”

Huh! Rapat lagi, rapat lagi!

“gue tungguin aja, deh” jawabku, sambil memaksakan senyum. Sebenarnya aku sudah ingin pulang.

“ya udah, gue ke rapat dulu. Udah ditunggu anak-anak” Audi mengusap rambutku lalu kembali masuk ke ruang rapat OSIS.

Audi itu… apa ya? Kalau dibilang teman, kami terlalu dekat untuk kategori berteman. Tapi kalau pacar, aku ragu. Audi nggak pernah memintaku jadi pacarnya.

Semua berlangsung begitu saja. Awalnya aku sama sekali nggak punya pikiran untuk dekat dengannya. Aku dan Audi punya ‘dunia’ yang sangat berbeda. Audi adalah si ketua OSIS yang maha pintar dan dipuja guru-guru. Sedangkan aku adalah anggota cheerleader yang senang bergaul dan punya banyak teman. Perbedaan itu membuat aku dan dia hampir nggak pernah ngobrol walaupun kami berada di kelas yang sama.

Kebekuan antara kami mulai mencair saat guru biologi membentuk kelompok eksperimen belah katak. Aku dan Audi ada dalam satu kelompok. Aku yang sangat takut pada katak hanya bisa berlindung di balik punggung Audi saat praktikum berlangsung. Sedangkan Audi hanya bisa tertawa sambil menulis urutan organ tubuh katak yang harusnya kami kerjakan bersama.

Sejak saat itu kami mulai sering ngobrol, tentang apapun yang kami suka. Bahkan saat naik ke kelas 2 dan kami ditempatkan di kelas yang berbeda, Audi masih sering datang ke kelasku untuk ngobrol. Kalau nggak sempat bertemu di sekolah, sore harinya dia akan datang ke rumahku untuk sekedar ngobrol di teras sampai langit berubah gelap. Audi juga sering mengajakku ‘kencan’ dengan dalih mentraktir makan atau nonton di blitz. ‘Audi naksir lo’ begitu kata Wina, teman sebangkuku setiap kali aku bercerita tentang Audi. Aku satu pemikiran dengan Wina. Audi selalu memeperlakukanku dengan manis walaupun dia nggak pernah merayuku dengan kata-kata romantis seperti di film-film.

Hingga suatu hari, Audi mengajakku nonton film di blitz seperti biasa. Dia bilang, kali ini aku boleh memilih film apapun yang akan kami tonton. Tentu saja aku langsung memilih film bergenre romance kesukaanku, sekaligus genre film yang paling dibenci Audi.

“nggak papa nih, nonton romance?” tanyaku, agak nggak enak karena Audi yang membayar tiketnya.

Audi tersenyum. “santai aja kali, Ra. Gue kan udah bilang hari ini lo bebas milih mau nonton film apapun”

Akhirnya kami jadi nonton film romance. Aku menonton dengan serius, sampai nggak sempat melihat apakah Audi juga memperhatikan filmnya atau malah tertidur seperti biasanya saat dia nggak suka pada film yang sedang diputar. Tanpa kusadari, Audi menyelipkan rambutku ke telinga lalu mendaratkan kecupan di pipiku. Wajahku langsung memerah. Aku menoleh ke arahnya.

“lo cantik banget” katanya pelan, hampir tanpa suara sambil menggenggam tanganku erat. Konsentrasi nonton filmku buyar seketika. Film yang sedang kutonton kalah romantis dengan Audi!

Setelah itu, jarak antara kami semakin dekat. Tahu-tahu dia sudah menggenggam tanganku, mengelus rambutku, memelukku, bahkan beberapa kali menciumku. Aku sih senang-senang saja. Siapa juga yang nggak senang diperlakukan seperti itu sama cowok seganteng Audi?

Kukira semua ini sudah cukup menunjukkan kalau aku dan Audi sudah pacaran. Tapi kata Wina, cewek tetap harus dapat ‘pengakuan’ dari cowok. Selama belum ada proses ‘nembak’, aku dan Audi masih dalam status berteman.

Aku jadi bingung.

*

Tadi siang Wina bercerita panjang lebar soal perayaan hari jadiannya dengan Gian, pacarnya. Wina dapat hadiah boneka beruang besar dan sebuket bunga mawar warna biru, terus mereka berdua jalan ke coffee shop tempat pertama kali kencan, kayaknya seru banget, deh!

Kalau aku? Gimana bisa rayain hari jadian? Jadian aja nggak!

Aku nggak bisa berhenti memikirkan cerita Wina. Apa aku harus ngomong ke Audi kalau aku juga mau punya tanggal jadian yang bisa dirayain tiap bulan? Hmm… kebetulan Audi sedang duduk di sebelahku sambil berkutat dengan rumus-rumus njelimet di lks. Aku yang memintanya datang ke rumah untuk membantuku mengerjakan PR kimia.

“Di?”

“kenapa?” Audi balik bertanya. Pandangannya masih pada soal-soal kimia.

“kita itu sebenernya pacaran nggak, sih? Kok lo nggak pernah nembak gue”

Audi menatapku lalu tertawa kecil. “emangnya penting ya, pake acara nembak-nembakan gitu?”

“penting, lah! Kalau belum nembak berarti belum pacaran. Kalau belum pacaran, berarti kita ini apa? Nggak jadian tapi pegangan tangan, pelukan, ciuman”

“yang penting lo tahu kalau gue suka sama lo” jawab Audi, tenang. Lalu kembali mengerjakan soal.

“pertanyaannya, kita ini pacaran atau nggak? Bukannya lo suka sama gue atau nggak? Ngerti nggak, sih?!” aku mulai emosi.

Audi berhenti menulis. Dia menatap mataku dalam-dalam, mendekatkan wajahnya padaku lalu mengecup hidungku dengan lembut. “kalau lagi ngambek, lo kelihatan makin manis. Bikin gemes” dia tertawa kecil lalu mengecup hidungku lagi.

Kalau sudah begini, emosiku langsung menguap seketika. Aku nggak bisa benar-benar marah padanya. “nyebelin, ah” rajukku, manja. Audi kembali mengerjakan soal, tapi sebelah tangannya menggenggam tanganku.

*

“gue ada rapat lagi. Mau siapin properti buat pensi. Lo pulang duluan aja, kayaknya bakal lama banget” kata Audi saat aku baru selesai latihan cheerleader.

“iya, nanti gue pulang sama Wina aja. Sekalian mau jalan-jalan dulu” aku memang punya rencana pergi ke toko CD bareng Wina siang ini.

“oke. Hati-hati di jalan, pulangnya juga jangan terlalu sore. Nanti malem gue telepon, ya” Audi mencium puncak kepalaku lalu berjalan meninggalkanku ke ruang rapat OSIS. Setelah Audi sudah jauh dari pandangan, Wina menghampiriku lalu duduk di salah satu kursi dekat tempatku duduk.

“Ra, serius, sebenernya lo sama Audi udah jadian atau belum, sih?” todong Wina.

Aku menggeleng. “belum”

“udah cium-cium kayak gitu, si Audi masih belum nembak juga?!” mata Wina membulat.

“tapi dia bilang, dia suka sama gue”

“ngomong suka aja nggak cukup, Aura” Wina tediam sejenak. “uhm, sorry ya, Ra. Tapi kayaknya lo lagi dimainin sama Audi, deh”

“maksudnya?” aku menegerutkan kening.

“ya, dia nggak mau nembak lo supaya statusnya masih free. Jadi dia bisa deket-deket sama lo, tapi juga bisa deketin cewek lain”

“kayaknya dia nggak gitu, deh”

“aduh, lo jangan terlalu polos gitu, deh!” Wina terlihat khawatir. “Lo tahu Lulu, kan?” Jelas aku tahu. Lulu itu bendahara OSIS yang selalu nempel sama Audi. Galak, norak, sok pintar, dan tergila-gila banget sama Audi. “Lulu bisa leluasa nempel sama Audi karena status Audi masih single. Apa lo nggak cemburu?”

“dia bilang Lulu Cuma temen” jawabku, pelan. Sebenarnya aku juga sering cemburu pada Lulu.

“lo nggak pernah tahu yang sebenernya kan, Ra? Lo sama Audi juga ‘temenan’ kan? Mungkin Audi perlakuin Lulu sama kayak dia perlakuin lo. Kayak pegangan tangan atau cium”

Aku menggeleng. “nggak mungkin kayak gitu, ah”

“kalau nggak kayak gitu, Audi pasti udah ngajak lo jadian”

Dalam hati, aku membenarkan kata-kata Wina.

*

Hujan turun dengan derasnya sejak satu jam yang lalu. Wina sudah pulang duluan sebelum hujan karena Gian menjemputnya menggunakan motor. Jadilah aku menunggu sendirian di depan toko CD ini.

Hujan sepertinya masih lama, angkutan umum juga nggak ada yang lewat. Aku memutuskan untuk menelepon Audi, semoga dia bisa menjemput.

“Di, udah pulang? Jemput gue, ya”

“uhm, sorry. Nggak bisa, Ra. Gue masih harus siapin beberapa properti buat pensi”

“yah, masih lama?”

“kayaknya sih gitu”

“terus giman…”

“udah dulu ya, Ra. Nanti gue telepon lagi”

Tet. Sambungan terputus. Menyebalkan!

Aku mengedarkan pandanganku ke jalanan yang sepi karena hujan terlalu deras. Belum ada satupun angkutan umum yang lewat. Sampai kapan aku menunggu disini?

Di seberang jalan, aku melihat sepasang cewek dan cowok yang menggunakan seragam putih abu-abu sepertiku baru keluar dari toko buku. Si cowok memegang payung, sedangkan si cewek mengamit lengan cowok itu erat. Manisnya. Kalau aja aku dan…

Tunggu, kayaknya aku kenal mereka berdua. Itu kan Audi dan Lulu!

Aku nggak mungkin salah lihat. Aku mengenali wajah mereka walaupun nggak begitu jelas, payung bergambar mickey mouse yang dipegang cowok itu juga sama persis dengan payung yang sengaja kusimpan di mobil Audi supaya dia nggak kehujanan saat turun dari mobil. dan yang makin membuatku yakin, mereka berdua masuk ke mobil CRV yang sangat aku kenali. Mobil Audi.

Audi dan Lulu, jalan berdua, dengan tangan Lulu mengamit lengan Audi. Dasar! Katanya Cuma teman, tapi dipegang gitu mau-mau aja!

Tiba-tiba semua kata-kata Wina tentang Audi menari-nari di pikiranku. Apa Wina benar? Jangan-jangan Audi memang mendekati Lulu sama seperti dia mendekatiku? Mataku jadi terasa panas, air mataku langsung mengalir tanpa bisa kutahan lagi. Kenapa aku nggak sadar kalau dari dulu Audi Cuma main-main? Kenapa aku begitu polos mengira Audi sudah menganggapku pacarnya dan satu-satunya cewek yang dekat dengannya? Bodoh!

Aku berjalan menerobos hujan. Nggak peduli dinginnya, yang penting aku bisa cepat pulang dan menangis sepuasnya.

*

Hari ini, aku demam tinggi. Pasti gara-gara kemarin aku pulang sambil hujan-hujanan. Aku juga menangis semalaman sampai membuat mataku bengkak. Jadi kuputuskan untuk nggak pergi ke sekolah. Mama sudah menelepon wali kelasku dan Wina, jadi sekarang aku tinggal beristirahat seharian di rumah.

Oh, iya. Audi sudah meneleponku belasan kali, tapi nggak kuangkat. Notifikasi sms dan chatnya pun memenuhi handphoneku, tapi semuanya juga kuabaikan. Aku nggak mau berhubungan sama dia lagi. Aku benci Audi!

Aku mendengar pintu kamarku diketuk dari luar.

“masuk aja” jawabku, dengan suara yang serak.

“Ra?” itu suara Audi! Aku berbalik, Audi sudah duduk disamping tempat tidurku.

“ngapain lo kesini?!” tanyaku, ketus.

“mau jenguk. Kata anak-anak, lo sakit” jawab Audi. “Gue bawain martabak keju, nih” Audi tahu aku sangat suka martabak keju. Setiap aku sakit atau nggak enak makan, dia pasti selalu membawakan martabak keju untukku.

“nggak usah sok perhatian, deh! Basi!”

“jutek banget. Lagi PMS ya?”

“kalau lihat lo rasanya kayak PMS tiap hari! Ngeselin!”

“udah ya, Ra. Jangan marah-marah mulu, lo kan lagi sakit. Kalau ada yang lo nggak suka, bilang sama gue” Audi lalu mengelus lenganku.

“nggak usah pegang-pegang gue lagi!” aku menjauhkan lenganku darinya. “gue udah tahu semua!”

Audi mengerutkan kening. “tahu apa?”

“lo juga lagi deket sama Lulu, kan?”

“deket gimana?”

“deket. Kayak gue sama lo. Lo sengaja kan nggak mau jadian sama gue supaya status lo tetep jomblo, terus bisa deketin cewek lain, termasuk Lulu. Iya, kan?” suaraku semakin serak. Aku hampir menangis.

“lo ngomong apaan sih?” Audi terlihat bingung.

“kemarin gue lihat lo jalan sama Lulu. Lulu gandeng tangan lo” aku mulai menangis.

“Ra, lo salah sangka. Gue nggak lagi jalan sama Lulu. Gue…”

“gue nggak mau denger!” aku memalingkan wajah.

“Tapi…”

“udah, lo pulang sana! Gue nggak mau denger apa-apa lagi!” aku menangis makin keras. Aku tahu Audi tak pernah tahan melihatku menangis. Akhirnya dia pergi, membiarkanku menangis sendirian.

*

Aku sudah menceritakan semua yang terjadi padaku dan Audi sambil menangis sepuasnya pada Wina. Wina bilang, obat patah hati cuma ada satu. Cari gebetan baru. Sekalian buat buktiin ke Audi kalau aku juga bisa dekat dengan cowok lain, aku juga bisa tetap senang walaupun tanpa dia.

Jadi aku mulai menghubungi Andra, kapten tim basket sekolah yang sudah mendekatiku sejak pertama kali aku masuk tim cheerleader. Dalam beberapa hari kami langsung dekat. Andra menembakku dan kami akhirnya jadian.

Hari ini, kami juga janjian untuk datang ke pensi sekolah.

Andra tak lepas menggandengku sejak awal masuk gerbang sekolah. Tapi di tengah pertunjukan musik, perhatianku justru hanya tertuju pada Audi yang sedang sibuk kesana kemari mengawasi jalannya pensi.

Sampai, Audi lewat di depanku dan melihatku bergandengan tangan dengan Andra. Audi menghentikan langkahnya, lalu berjalan mendekatiku.

“Ra? Lo kok…” Audi kelihatan kaget sampai kehilangan kata-kata. Dia nggak pernah begitu sebelumnya.

“kenapa memangnya?” tanyaku, angkuh.

“lo jadian sama Andra?!”

“kalau iya, kenapa?”

“kenapa?! Lo masih bisa tanya kenapa?! Lo anggap gue ini apaan? Bisa-bisanya lo jadian sama dia!” Audi mulai emosi. Matanya menatapku tajam. tangannya mencengkram tanganku kuat-kuat.

“kita kan nggak pernah jadian. Gue sama lo Cuma ‘temen’ doang. Kalau lo bisa deket sama cewek lain, gue juga bisa” aku balik menatapnya dengan tatapan menantang.

“udah, lepasin! Jangan kelamaaan pegang-pegang cewek gue!” Andra melepas dengan paksa cengkraman tangan Audi dariku.

“sialan lo!” Audi hampir aja menghajar Andra kalau saja Rengga, salah satu panitia pensi nggak datang untuk melerai.

“sabar, Di! Jaga sikap! lo ketua, penanggung jawab pensi ini. jangan sampai lo yang bikin kacau” Rengga menarik lengan Audi.

“gue kecewa sama lo, Ra” kata Audi, sebelum dia berjalan pergi mengikuti Rengga.

Entah kenapa, hatiku rasanya remuk mendengar Audi mengatakannya.



*

Setelah seminggu jadian, aku dan Andra putus. Aku nggak tahan lagi. Selama bersama Andra, yang ada di pikiranku tetap Audi. Mengingat tatapan kecewanya saat pensi membuatku makin nggak bisa berhenti memikirkannya. Jadi kubilang pada Andra kalau kami harus putus, aku nggak bisa terus dengannya sementara hatiku masih untuk orang lain. Untungnya Andra menghargai keputusanku. Dia bilang, memang lebih baik kalau aku jujur dari sekarang.

Selama beberapa hari ini, aku juga nggak melihat Audi di sekolah. Di seperti ‘menghilang’. Bahkan ketika aku sengaja lewat ke kelasnya, dia juga nggak ada. Nggak biasanya dia bolos sekolah selama ini. Awalnya aku malu untuk bertanya pada teman sekelasnya atau datang ke rumahnya untuk menanyakan kemana dia pergi. Tapi hari ini, aku memberanikan diri untuk bertanya pada Joshua, teman sebangku Audi.

“dia kan lagi izin. Lo nggak dikasih tahu? Lo kan ceweknya?” Joshua bingung.

“dia nggak bilang apa-apa” aku menggeleng. Aku dan Audi terkahir bertemu saat pensi. Itu pun dengan cara ‘nggak baik-baik’

“di suratnya ditulis mau ada acara keluarga, tapi sebenernya dia mendaki. Gila juga itu anak! Lagi hari sekolah gini dia malah ke gunung. Sendirian lagi”

“sendirian?!” mataku membulat.

Joshua mengangguk. “iya, mentang-mentang udah sering mendaki, dia nekat pergi sendirian” Audi memang sangat suka mendaki gunung. Dia bahkan pernah jadi ketua ekskul pecinta alam di sekolah.

“efek patah hati kali, ya”

“patah hati?”

“kayaknya sih gitu. Waktu abis pensi dia keliatan galau banget. Diem, nggak semangat, lihatin handphone terus. Pas gue tanya, dia nggak jawab apa-apa. Kalian lagi berantem ya? Atau lo putusin dia?”

Aku tak bisa menjawab pertanyaan Joshua. Aku hanya berusaha menahan diri agar nggak menangis didepannya.

*

Pulang sekolah, aku datang ke rumah Audi. Kata Joshua, kalau sesuai perkiraan, Audi sudah pulang dari mendaki hari ini.

Ternyata benar, mamanya Audi bilang kalau anak tunggalnya itu sudah pulang mendaki dari kemarin. beliau dengan ramah mempersilahkanku masuk ke kamar Audi. Dengan ragu, aku mengetuk pintu lalu masuk ke kamarnya.

Akhirnya aku bisa melihatnya lagi. Seperti biasa, dia mengenakan jersey Liverpool favoritnya, duduk diatas karpet sambil menonton TV. Tapi kali ini, aku tahu pandangan matanya kosong. “Audi?”

Audi mendongak. “Aura? Lo ngapain kesini?”

Aku duduk di sampingnya. “pengen ketemu lo aja. Kangen”

“udah lah, lo cepetan pulang. Nanti cowok lo marah” jawab Audi, cuek. Tapi aku bisa merasakan cemburu dari nada bicaranya.

“gue nggak punya cowok. Udah putus”

“bagus lah” Audi mengambil remote TV lalu memindahan channelnya ke channel khusus olahraga. Dia memusatkan perhatiannya pada TV, berusaha nggak mempedulikanku.

“tangan lo kenapa?” tanyaku, melihat lengan kanannya dibalut perban.

“jatuh waktu mendaki”

“makanya hati-hati. Kalau lagi mendaki harus fokus” aku mengelus lengannya.

“arhh! Sakit, Ra” Audi mengerang kesakitan. “gimana gue bisa fokus, kalau di kepala gue isinya lo doang?”

Aku terkesiap. “Di… lo…”

“lo pikir gue nggak patah hati waktu lihat lo jalan sama Andra? Gue sampai nggak pengen ke sekolah karena gue nggak tahan lihat lo sama Andra. Gue sampai harus mendaki supaya bisa lupa sama lo. Tapi tetep aja, yang ada di pikiran gue lo lagi, lo lagi” 

Dia lalu menatap mataku dalam-dalam. “lo nggak akan ngerti, Ra. Gue sayang sama lo. Sumpah, gue sayang banget sama lo! Cuma lo yang gue butuhin. Gue nggak nembak lo, bukan karena gue mau main-main sama lo atau cewek-cewek lain, tapi karena gue nggak bisa ngungkapinnya. Tiap lihat mata lo, gue suka bingung gimana caranya minta lo jadi cewek gue. Makanya gue cuma ngungkapinnya lewat tindakan, gue pikir lo bakal ngerti”

“terus… soal Lulu?”

“waktu itu gue pergi buat beli perlengkapan properti pensi sama Lulu. Dia yang maksa gandeng gue, gue sebenernya nggak suka digituin. Gue cuma suka kalau lo yang gandeng tangan gue. kalau lo pikir gue perlakuin Lulu sama kayak gue perlakuin lo, itu salah banget. Cuma lo yang gue peluk, yang gue cium, yang gue ajak ke rumah, yang gue kenalin ke nyokap, yang gue telepon tiap malem, yang selalu gue bawain martabak keju kalau lagi sakit, yang selalu mau gue lihat dan perhatiin tiap hari. Cuma lo, nggak ada yang lain”

Aku tersentuh dan baru menyadari semua. Tanpa mengatakannya, Audi sudah menunjukkan betapa sayangnya dia padaku setiap hari. “maaf ya, Di. Gue udah bikin lo patah hati. Gue sebenernya sayang banget sama lo. Gue jadian sama Andra cuma buat manas-manasin lo doang” aku memeluk Audi. Rasanya tenang sekali.

Audi tersenyum, lalu melingkarkan lengannya di pinggangku. Mendekapku erat. “Gila! Gue kangen banget sama lo!”

Setelah itu, dia mengecup bibirku dengan lembut. Tapi saat akan mengecupku untuk kedua kalinya, aku menghindar lalu melepaskan pelukanku.

“kenapa?” tanya Audi, bingung.

“tembak gue dulu, baru boleh cium lagi” aku tertawa kecil.

Audi menggenggam tanganku dengan erat. “jadi pacar gue ya, mau?”

“kurang romantis!” aku menggeleng.

“gue nggak bisa romantis”

Aku pura-pura ngambek. “kalau nggak romantis, gue nggak mau!”

Audi akhirnya mengambil gitarnya lalu menyanyikan need you now-nya lady antebellum, lagu favoritku. Audi memang punya suara yang merdu, tapi selalu malas kalau disuruh bernyanyi.



It’s a quarter after one, I’m all alone and I need you now.

Said I wouldn’t call but I’ve lost control and I need you now.

And I don’t how I can do without.

I just need you now.



“Aura Andania Praditha, gue sayang banget sama lo. Gue boleh jadi pacar lo?”

Aku langsung mengangguk sambil mengelus pipinya. “I love you, Audi Reza Randitio”

“I love you too” Audi tersenyum. “boleh cium lagi?”

“nggak boleh” aku meleletkan lidah.

“kan udah jadian?”

“maunya dipeluk aja” kataku, manja.

Audi langsung memelukku erat. Detik ini juga, aku semakin sadar kalau aku sangat membutuhkannya, aku nggak mau jauh-jauh lagi darinya.

THE END.