LDR
part. 2
Di rumah lagi…
Ini sudah ke sekian
puluh kalinya aku menghabiskan malam minggu hanya dengan menonton TV di rumah.
Bosan begini terus.
Sejak Nicho, pacarku
kuliah di Jerman, kami berdua resmi jadi anggota LDR. Yang artinya kami hanya
bisa mengobrol lewat telepon, aplikasi massanger, dan hanya bisa ‘bertemu’
lewat video call yang nggak bisa setiap hari kami lakukan. Selebihnya semua
aktivitas yang biasanya kami kerjakan bersama, sekarang kami kerjakan
masing-masing. Berangkat kuliah, jalan-jalan, atau nonton ke bioskop. Awalnya
aku bisa menerima keadaan seperti ini, tapi lama-lama jadi capek juga.
komunikasi antara aku dan Nicho terbatas, belum lagi Nicho adalah salah satu
tipe orang yang gila belajar. Kalau sudah serius dengan tugas kuliahnya, dia
bisa lupa apapun, termasuk menghubungiku. Aku sering cemas karena dia nggak
menghubungiku selama berhari-hari. Selain itu, aku juga sedikit sebal sering
disebut ‘jomblo’ oleh teman-teman sekampus gara-gara aku pergi kemana-mana
sendiri.
Aku juga mau dijemput
atau diantar pulang, diajak jalan, atau nonton bioskop bareng seperti
teman-teman sekitarku yang punya pasangan. Aku juga ingin seperti yang lain,
yang menghabiskan malam minggu dengan duduk di kafe, atau jalan-jalan ke tempat
favorit bareng pacar. Bukannya jadi penjaga TV seperti ini.
Aku meraih handphoneku
dia atas meja lalu mengetik pesan ke id line Nicho.
‘Nic, aku kangen’
*
Aku dan Nicho satu
sekolah saat SMA. Di tahun pertama, Nicho sudah cukup populer dengan prestasinya
sebagai juara umum dan anggota tim basket sekolah. Sedangkan aku cuma murid
biasa yang kurang populer dan hanya punya prestasi sebagai juara kelas saja.
Saat kelas dua, kami
duduk di kelas dan bangku yang sama. Aku masih ingat saat murid-murid perempuan
di kelas kami -yang merupakan penggemar Nicho- mencibirku habis-habisan karena
iri padaku yang terpilih duduk sebangku dengan Nicho. Aku sendiri nggak
mempedulikan cibiran mereka, juga sama sekali nggak naksir Nicho walaupun harus
kuakui Nicho memang ganteng banget. Karena perasaan kami yang netral, aku dan
Nicho mudah menempatkan diri sebagai sahabat. Kami bisa bicara panjang lebar
mulai dari pelajaran, musik coldplay, sekuel-sekuel film fast & furious,
tempat nongkrong yang seru, sampai games terbaru.
Kami sering berlomba
mendapatkan nilai tertinggi saat ulangan harian di kelas. Hukuman yang mendapat
nilai lebih rendah adalah mentraktir tiket nonton di blitzmegaplex. Si juara
umum di sekolah itu jelas bukan tandinganku, sudah bisa dipastikan akulah yang
paling sering kalah. Kami hampir setiap minggu nonton di blitzmegaplex atas
nama kekalahanku. Rasanya kesal juga, walaupun setiap selesai nonton Nicho
sering mentraktir makan apapun yang kumau.
Entah kapan bermulanya,
tapi aku mulai merasa berdebar saat melihat Nicho dangan senyum khasnya. Tiba-tiba
saja menjelang naik kelas 3, aku jadi takut. Aku takut di kelas 3 nanti kami
akan pisah kelas, takut nggak bisa ngobrol dengannya lagi, nggak mau jauh
darinya. Galau sekali rasanya. Apa aku mulai naksir dia?
Untungnya, ketakutanku
ternyata nggak terbukti. Aku dan Nicho dipertemukan lagi di kelas yang sama dan
lagi-lagi kami berbagi bangku yang sama. Hal itu membuat perasaanku makin
menjadi-jadi. Aku benar-benar naksir dia!
Tapi, perasaan ini
nggak boleh diteruskan. Aku tahu betul kalau Nicho hanya menganggapku
sahabatnya. kami nggak mungkin jadi pasangan. Lagipula masih banyak murid perempuan
di sekolah yang lebih cantik dan lebih modis dariku yang bisa dipilih Nicho.
Suatu pagi, ada sebuket
bunga daisy di atas mejaku. Aku yakin bunga itu disimpan oleh salah satu
penggemar Nicho. Aku sudah terbiasa melihat sebuket bunga ‘nyasar’ diatas
mejaku yang sebenarnya ditujukan untuk Nicho. Resiko sebangku dengan idola
sekolah.
“nih, buat kamu” aku
menggeserkan buket bunga itu ke dekat Nicho.
“itu buat kamu” jawab
Nicho sambil tetap mengerjakan soal di LKS kimianya dengan tenang. Nicho punya
kebiasaan mengerjakan latihan soal-soal di LKS sebelum jam pelajaran dimulai.
Membuatku nggak heran kenapa dia bisa mempertahankan gelar juara umumnya selama
4 semester berturut-turut.
“nggak mungkin, aku kan
nggak punya penggemar” Memang benar, aku nggak cukup populer untuk dapat
kirimin bunga secantik ini.
“kamu punya penggemar,
kok. Kamunya aja yang nggak sadar”
“oh, ya? Siapa?”
tanyaku, sinis.
“nanti juga kamu tahu”
Aku membuka kartu yang
terselip di buket bunga itu. Aku terkejut begitu melihat tulisan tangan yang
sudah sangat kukenal itu
‘aku
suka kamu sejak pertama kali kita duduk sebangku.
Claudia
Rasya, mau jadi pacarku?’
-Nicholas Armanda-
Aku terkesiap membaca
tulisan di kartu ini. ini bunga dari Nicho untukku? Dan, dia minta aku jadi
pacarnya? Apa aku sedang bermimpi?
Aku mengalihkan
pandanganku padanya. Baru kusadari kalau dari tadi Nicho memperhatikanku sambil
tersenyum.
“Nic, ini…”
“kamu mau?” tanyanya,
tenang. Aku nggak bisa melakukan apa-apa lagi selain mengangguk pelan sambil
tersenyum. Nicho menggenggam tanganku dan nggak melepasnya sampai guru kami
masuk kelas. Selama setahun lebih duduk sebangku dengannya, ini adalah hari
yang paling menyenangkan.
*
Nicho nggak pernah
terang-terangan menyebut kata sayang atau cinta padaku. Dia lebih suka
menunjukan rasa sayangnya lewat perhatian. Mengantar dan menjemputku ke
sekolah, membukakan pintu mobil, membantuku membawa buku-buku dari
perpustakaan, atau mengajariku pelajaran yang agak sulit kumengerti. Saat di
kelas biasanya dia iseng memutar helaian rambutku dengan jemarinya, mencubit
pipiku, menjawil hidungku, atau melakukan apapun untuk mengangguku. Dan biasanya
saat aku mulai ngambek, dia akan mentraktirku es krim matcha sebagai permintaan
maaf.
Kami baik-baik saja,
sampai hari kelulusan SMA tiba.
Semua murid-murid di
sekolah saling mencorat-coret baju mereka untuk merayakan kelulusan. Aku
menuliskan namaku dengan spidol warna pink ke kerah seragam Nicho. Tanpa
kuduga, Nicho mengusap pipiku, lalu mengecup lembut bibirku. Itu ciuman pertama
kami.
“selamat, ya” Nicho
tersenyum. Aku selalu suka pada senyumannya. Menenangkan, menyejukan, tapi
sekaligus bisa membuat pipiku memanas tiba-tiba.
“kamu juga, selamat ya”
aku membalas senyumnya. “jadi kuliah di ITB, kan?”
Nicho terdiam sebentar.
“ehm, sebenernya dua minggu lagi aku berangkat ke Jerman. Aku keterima di
Stuttgart university” katanya, ragu-ragu. Mungkin dia bingung antara senang dan
bangga atau sedih. “maaf ya, aku baru berani bilang sekarang”
Aku hanya bisa melongo.
Aku memang sudah tahu
kalau Nicho mengirim aplikasi ke Stuttgart university di Jerman. Tapi aku sama
sekali nggak memikirkan kalau Nicho akan diterima. Nicho bilang universitas itu
adalah salah satu universitas terbaik di Jerman dan dia sama sekali nggak
bermimpi bisa masuk kesana. Bodohnya aku yang lupa kalau pacarku itu jenius.
Dengan prestasi cemerlangnya, mungkin saja dia diterima di universitas
bergengsi manapun, termasuk di luar negeri.
“Ca?” Nicho membuyarkan
lamunanku.
Air mata mulai
membasahi pelupuk mataku. Ingin sekali aku mengucapkan selamat, ungkapan bangga,
atau kata pujian apapun untuknya. Tapi, aku terlalu sedih untuk mengatakannya.
“aku nggak mau LDR-an” itu saja yang bisa kuucapkan.
“kita bakal baik-baik
aja, Ca” Nicho meyakinkanku. “nggak ada yang salah sama LDR”
“tapi aku nggak mau”
tangisku makin dalam. Nicho merengkuhku dalam pelukannya.
“jangan nangis terus,
aku nggak tega ngelihatnya” Nicho mengelus rambutku. “kita pasti bisa lewatin
semuanya. Cuma 4 tahun. Kita masih bisa ketemu pas aku libur semester”
*
Nggak terasa, sekarang
aku dan Nicho sudah lebih dari setahun LDR-an. Selama itu, Nicho belum sempat
pulang ke Indonesia. Libur semester kemarin, Nicho nggak jadi pulang ke
Indonesia karena di waktu yang sama papa dan mamanya terbang ke Jerman untuk
urusan bisnis dan sekalian mengunjungi anak tunggalnya itu. Jadi aku harus
lebih bersabar menunggu Nicho pulang ke Indonesia.
Handphoneku berbunyi.
Line dari Nicho.
‘Ca,
lagi ngapain?’
Aku langsung mengetik
balasan. ‘lagi ngampus, kamu?’
‘aku baru bangun, disini masih pagi hehe’
Ah, aku benar-benar
kangen dia. ‘aku kangen kamu’
‘aku
lebih kangen kamu’
‘cepet
pulang L’
‘sabar
ya, sayang’
“ciye, anak LDR.
Mainnya sama handphone mulu” Yura, sahabatku sejak SMA tiba-tiba sudah duduk
manis di hadapanku. Dia memang hobi meledek hubungan jarak jauhku dengan Nicho.
“ih, rese!” aku
langsung memasukan handphoneku ke dalam tas.
“si Nicho kapan pulang,
Ca?” tanya Andra, pacarnya Yura sejak SMA yang juga sahabatnya Nicho. Mereka
memang pasangan kembar siam. Nempel terus 24 jam, kapanpun, dimanapun.
“libur semester ini
kayaknya” jawabku.
“kalau aku jadi kamu,
aku pasti nggak akan tahan, deh. Aku kan nggak bisa jauh-jauh dari Andra” kata
Yura sambil mengamit lengan Andra dengan manja.
“lebay, deh” cibirku,
sebal.
“sirik, deh” Yura balik
mencibir sambil meleletkan lidahnya.
Yura dan Andra memang
pasangan idola paling serasi sejak SMA. Yura yang jadi ketua tim cheerleader
sangat cocok dipasangkan dengan Andra yang kapten basket. Saking cocoknya,
mereka bahkan terpilih jadi prom king dan prom queen di prom night sekolah
kami. Setelah lulus SMA, kami bertiga memilih universitas yang sama walaupun
beda jurusan. Aku dan Andra kuliah di jurusan kedokteran gigi, sedangkan Yura di
jurusan desain komunikasi visual. Kami sering nongkrong bertiga di kampus, dan
tentu saja aku jadi ‘obat nyamuk’ mereka. Aku sebenarnya iri pada Yura yang
bisa selalu ditemani Andra. Aku juga mau Nicho-ku yang dulu. Nicho yang selalu
ada untukku. Bukan Nicho yang hanya rajin mengirim pesan di line dan wajahnya
hanya bisa kulihat lewat video call.
“Ca, emangnya kamu beneran
nggak takut kalau disana Nicho punya cadangan?” tanya Yura, mimik mukanya mulai
serius.
“cadangan?” aku
mengerutkan dahi.
“punya cewek lagi
maksudnya”
Aku menggeleng. “nggak mungkin,
deh. Nicho kan nggak kayak gitu orangnya”
“tapi kan kalian udah
setahun nggak ketemu. Kamu kan juga nggak tahu temen-temennya Nicho kayak
gimana. Kalau ada yang lebih cantik dari kamu, atau ada yang lebih seru dan
bikin Nicho lebih seneng, gimana?” Yura mulai menakut-nakutiku.
“Yura, udah ah! jangan
nakut-nakutin gitu” aku cemberut.
“ih, bukannya
nakut-nakutin, Caca sayang. Aku kan udah bilang kalau long distance
relationship itu rentan banget sama orang ketiga. Mungkin aja kayak gitu, kan?”
jawab Yura, lalu dia beranjak memesan minuman untuk Andra.
Dalam hati, aku
membenarkan kata-kata Yura. Aku dan Nicho sudah setahun nggak bertemu. mungkin
saja di Jerman sana Nicho sudah punya ‘cadangan’
Aku jadi takut.
*
Aku memasang earphone
ke telingaku sambil menunggu ikon akun skype milik Nicho menyala.
“hai, pak arsitek!”
sapaku ceria. Wajahnya sudah memenuhi layar handphoneku. Dia memakai kemeja
denim lengan pendek dengan kacamata berbingkai hitam yang sudah biasa kulihat.
“hai, bu dokter!” dia
tersenyum. “cantik banget hari ini”
“gombal, deh” aku jadi
tersipu malu.
“aku sambil bikin tugas
ya, Ca. nggak papa kan?”
“iya, nggak papa. Kamu
bikin tugas aja, aku temenin”
Aku memandangi Nicho
yang sedang mengerjakan tugas bersama buku-buku tebalnya lewat layar handphone.
Tiba-tiba saja, aku jadi ingat kata-kata Yura tadi siang di kantin kampus.
“Nicho sayang” rajukku,
manja.
“iya, Ca?”
“kamu disana jangan
nakal, ya. Jangan deket-deket sama cewek lain, apalagi yang lebih cantik dari
aku. Pokoknya jangan selingkuh”
Nicho malah tertawa.
“kamu tahu kan, aku ini gimana? Waktu kita belum pacaran aja aku nggak pernah
deket sama cewek selain kamu. Apalagi sekarang”
“aku takut aja, Nic.
Takut kamu berubah, takut aku udah nggak cocok lagi buat kamu, takut kamu bosen
sama aku, takut…”
“aku sayang banget sama
kamu, Ca. Kamu aja, nggak ada yang lain” potong Nicho. “kamu harus percaya itu”
“i love you” kataku
sambil tersenyum.
“I love you more” dia
membalas senyumanku.
Kalau sikap Nicho masih
semanis ini, harusnya aku nggak perlu khawatir.
*
Pagi ini rasanya
menyenangkan sekali.
Aku dan mamanya Nicho
sudah berada di bandara untuk menjemput Nicho yang baru datang dari Jerman.
Akhirnya, aku bisa bertemu lagi dengan Nicho. Jantungku rasanya berdebar lebih
cepat dari biasanya.
Setelah menunggu cukup
lama, Nicho akhirnya muncul dengan koper dan beberapa barang bawaan lainnya.
Tapi dia nggak berjalan sendirian, disampingnya ada seorang perempuan berpostur
tubuh tinggi semampai, rambut ikal kecoklatan, dan kulit putih pucat.
Sepertinya aku kenal. Ah, dia kan Angel. Teman sekelasku saat SMA yang kabarnya
melanjutkan kuliah di Belanda. Kenapa dia bisa satu pesawat dengan Nicho? Dan,
kenapa dia akrab sekali dengan Nicho? Jangan-jangan…
“Caca?” suara Nicho membuyarkan
lamunanku.
“eh, iya. Kenapa?”
“ini Angel. Masih
inget, kan? Temen SMA kita”
Tentu saja aku ingat.
Dulu, Angel sempat naksir Nicho saat status Nicho sudah jadi pacarku. Banyak
yang bilang kalau Angel lebih cocok dengan Nicho. Aku jadi sebal sendiri
mendengarnya.
Aku mengangguk. “inget,
kok. Nggak nyangka kita bisa ketemu lagi ya, Gel”
Angel mengangguk sambil
tersenyum. “iya, udah lama banget ya nggak ketemu, Ca. seneng banget, deh”
Aku malah berharap
nggak bertemu dia lagi!
Nggak lama, Angel pamit
padaku, Nicho, dan mamanya Nicho karena papanya sudah datang menjemput. Sebelum
pergi, Angel sempat bercerita kalau dia berencana untuk berhenti kuliah di
Belanda dan pindah kuliah ke Jerman, ke kampus yang sama dengan Nicho. Ini
artinya, Angel dan Nicho akan punya banyak waktu bersama. Aku jadi khawatir.
“Ca, sayang” Nicho
mengusap rambutku. “kok diem terus dari tadi? Aku kan kangen dicerewetin kamu
lagi”
“kok Angel bisa satu
pesawat sama kamu, sih?” tanyaku, tanpa basa-basi.
“jadi selama di Jerman
Angel itu tinggal di rumah tantenya. Letaknya nggak jauh dari tempat tinggal
aku. Beberapa bulan lalu kita nggak sengaja ketemu, abis itu ngobrol soal
rencana kita yang sama-sama mau pulang ke Indonesia. Ya udah, kita sekalian aja
mesen tiket bareng. Gitu aja”
“terus kenapa kamu bisa
akrab sama dia? Pas SMA dulu kan kamu sama dia nggak deket”
Nicho tersenyum lebar
lalu menjawil hidungku. “cemburu, ya?”
“nggak! Biasa aja!” aku
jadi salah tingkah.
“aku nggak deket sama
dia. Aku sama dia cuma temen ngobrol” Nicho lalu mendekapku dalam pelukannya.
“hmm..udah lama nggak peluk-pelukan lagi”
“ih, malu tahu” aku
berusaha melepaskan diri. Tapi Nicho malah makin mempererat pelukannya. Untung
mamanya Nicho sedang pergi ke toilet. Aku bisa tambah malu kalau Nicho
memelukku seperti ini di depan mamanya.
“Nic” panggil seseorang
di belakang kami. Aku dan Nicho langsung berbalik. Ternyata Angel.
“aku lupa ngasih ini
tadi” dia mengeluarkan sebuah ipod touch warna hitam yang sudah sangat aku
kenali. Milik Nicho. “makasih ya, udah pinjemin tadi”
“sama-sama” Nicho
meraih ipod itu lalu memasukannya ke dalam saku jaket.
“eh, kita jadi kan mau
dinner bareng ke kedai pasta deket SMA? Nanti kabarin lewat telepon ya. Eh,
atau line aku aja deh, kayak biasa”
Aku mendelik tajam ke
arah Nicho. Sedangkan Nicho sepertinya sudah mulai salah tingkah. “ehm, iya.”
“oke. Sampai nanti”
Angel melambaikan tangan pada kami berdua. Setelah Angel tak terlihat lagi, aku
langsung menatap Nicho, tajam. “Ca, maksudnya itu…”
“katanya nggak deket,
tapi mau jalan bareng!” aku memukul-mukul bahu Nicho. “kamu suka bohong, ah!
nyebelin!”
“nggak gitu maksudnya,
sayang”
*
“Ca, masih marah ya?”
tanya Nicho. Siang ini, mamanya Nicho mengajakku untuk makan siang bersama di
rumahnya. tadinya aku mau menolak karena sedang ngambek pada Nicho, tapi
mamanya Nicho sangat baik padaku dan aku nggak tega menolak setiap ajakannya.
“nggak!” jawabku,
cepat.
“masih marah, ya?”
tanyanya lagi, sambil menggeserkan badannya lebih dekat denganku.
“dibilangin nggak, ya
nggak!”
“ya udah, sini aku cium
dulu” Nicho mendekatkan wajahnya. Tapi aku langsung menjauhkan wajahku.
“cium Angel aja sana!
Dia kan yang udah nemenin kamu selama di pesawat, udah janjian mau makan bareng
juga!”
Nicho malah tertawa.
Dia lalu mendekatkan wajahnya lagi sampai hidung kami bersentuhan. “kamu
beneran cemburu sama Angel, ya?” bisik Nicho.
“apaan, sih?” jawabku,
dengan berbisik juga karena wajah kami sekarang sangat dekat.
Nicho mengecup hidungku
dengan lembut, lalu lanjut mengecup bibirku. Aku nggak bisa menolaknya, karena
keduanya terjadi begitu cepat.
“aku kan udah bilang
nggak mau dicium!” aku menutup bibirku dengan tangan.
“kamu lucu banget, ya”
Nicho lalu menjawil hidungku. Aku mendengus kesal sambil mengusap hidungku.
“selama di pesawat, aku
sama Angel cerita soal pacar kita masing-masing. Dia excited banget waktu tahu
aku masih pacaran sama kamu. Akhirnya kita bikin rencana buat double date”
“double date?”
“iya, sekalian Angel
mau kenalin pacarnya sama kita. Tadinya aku nggak mau ngasih tahu kamu dulu,
biar jadi kejutan. Tapi malah dibongkar duluan sama dia” Nicho terkekeh.
Aku jadi malu sendiri
karena sudah menuduh Nicho yang bukan-bukan. Harusnya aku bertanya dulu sebelum
marah-marah nggak jelas. “maaf ya, aku nggak tahu” aku langsung mengelus
pipinya dengan lembut.
Nicho mengangguk. Dia
lalu mengambil salah satu paper bag dari dalam kopernya lalu memberikannya
padaku. “oleh-oleh dari jerman!” katanya, ceria.
“ini apa?” tanyaku,
yang dalam hati sedang menebak-nebak isi paper bag dalam genggamanku ini.
“buka aja, pasti kamu
suka”
Aku membuka paper bag
itu dan langsung terpekik kegirangan saat melihat isinya. Boneka kucing
berwarna abu-abu! Ukurannya cukup besar dan sangat mirip dengan kucing
sungguhan.
“ah, lucunya!” aku
menempelkan bulu boneka kucing itu ke kedua pipiku. Lembut sekali rasanya.
“makasih ya, sayang”
Nicho tahu aku sangat fanatik pada kucing. Tapi keinginanku memelihara kucing
nggak bisa terwujud karena penyakit asmaku yang akut.
Nicho tersenyum sambil
mengelus rambutku. “suka kan?”
“suka banget!” jawabku,
cepat. Tiba-tiba aku merasa ada benda kecil yang jatuh dari boneka kucing yang
sedang kupeluk. Aku memungut benda yang ternyata sebuah cincin platina itu.
“ini cincin siapa,
Nic?”
Nicho menggeleng.
“nggak tahu. Hadiah dari bonekanya kali”
“nggak mungkin. Masa
boneka berhadiah cincin yang mahal kayak gini?” jawabku. “ini mungkin punya
karyawan toko boneka di tempat kamu beli boneka ini, deh”
Nicho malah mengulum
senyum. Aku jadi bingung.
“bercanda, deh. Cincin
itu aku beli buat kamu” Nicho mengambil cincin itu lalu memakaikannya di jari
manis tangan kiriku. “liburan semester kemarin, aku iseng cari kerja supaya
bisa beliin hadiah buat kamu pas pulang ke Indonesia. Ternyata aku dapet
kerjaan yang gajinya lumayan, jadi aku bisa beli ini”
Aku menatap cincin itu.
Walaupun tanpa berlian dan benda berkilau lainnya, cincin itu tetap terlihat
manis. Dan aku tahu harganya tak murah.
“tapi ini kan..mahal
banget”
Nicho tertawa. “tenang
aja, itu seratus persen pake uang hasil kerja. Aku nggak pake uang kuliah sama
sekali. Itung-itung hadiah anniversary kita tahun kemarin, waktu itu kan aku
nggak bisa kasih kamu kado”
Aku tak bisa berhenti
tersenyum. Nicho selalu saja menunjukan sisi manisnya yang membuatku semakin
jatuh cinta padanya. “makasih, ya”
“makasih aja?” Nicho
menaikan sebelah alisnya.
“terus?”
“pake cium atau peluk,
kek. Kalau lagi chatting kamu sering ngasih emoticon cium sama peluk, giliran
ketemu malah diem terus” protes Nicho dengan mimik muka yang lucu.
Aku tertawa lalu
langsung memeluk dan mengecup pipinya berulang kali. Seolah tak mau kalah,
Nicho balik mengecup pipiku lebih lama sebelum akhirnya mengecup bibirku lagi.
*
“Caca..cantik banget,
deh” puji Angel saat aku dan Nicho menghampi mejanya. Di samping Angel duduk
seorang laki-laki tinggi dengan senyum ramah yang aku yakini sebagai pacar
Angel.
“kamu juga cantik, Gel”
aku balik memuji dengan tulus. Angel lalu mengenalkan pacarnya yang bernama
Rafka padaku dan Nicho. Sambil menikmati makanan masing-masing, kami mengobrol
tentang banyak hal. Mulai dari kuliah sampai homesick-nya Angel dan Nicho
selama berada di luar negeri. Angel sangat mesra dengan Rafka, begitu pula
Nicho yang sesekali menggenggam tanganku di atas meja atau menyelipkan helaian
rambut yang menutupi wajahku ke telinga. Kalau seperti ini, rasanya aku tak
perlu khawatir membiarkan Nicho dan Angel kuliah di kampus yang sama.
Aku pamit ke toilet
untuk mencuci tangan dan menyisir rambutku. Tapi saat berjalan menuju toilet,
aku terkesiap melihat pemandangan di hadapanku. Ada seorang perempuan yang
sedang bermesraan dengan seorang laki-laki yang kukenal. Laki-laki itu memeluk
lalu menciumnya beberapa kali.
Dan laki-laki itu...
Andra.
*
“pulang, yuk?” bisikku
pada Nicho. Aku tak jadi pergi ke toilet dan memutuskan untuk kembali ke mejaku
setelah apa yang kulihat tadi.
“kenapa? Kan makanannya
belum abis” tanya Nicho, bingung.
“aku harus pulang, Nic”
rengekku. Aku ingin sekali menghubungi Yura dan memberi tahunya kalau Andra
ternyata bukan laki-laki baik-baik.
“ada yang penting
banget, ya? Atau, kamu nggak enak badan?” mendengar nada khawatir di suara
Nicho, aku langsung menceritakan semua yang kulihat dengan cara mengetik di
notes handphoneku agar Angel dan Rafka nggak terganggu.
Nicho mengerti dan
langsung berpamitan pada Angel dan Rafka. Dia mengatakan kalau kami sudah punya
janji dengan teman yang lain. Angel dan Rafka sempat meminta kami tinggal lebih
lama lagi, tapi akhirnya mereka membiarkan kami pulang duluan.
Dengan ragu, aku
menekan nomor handphone Yura yang sudah kuhafal diluar kepala. “halo, Ra?”
“hai, gimana ngedatenya
sama Nicho? Sukses kan?”tanya Yura dengan semangat. Membuatku makin tak tega
mengatakan yang sebenarnya.
“uhm, kamu sekarang ke
kedai pasta deket SMA, ya. Nicho mau nraktir kita”
“wah, asyik! Aku kesana
deh sekarang. Tapi aku nggak bisa ngajak Andra, soalnya dia lagi main futsal
sama temen-temennya”
Main futsal?! Darahku
mulai mendidih. Bisa-bisanya Andra bohong pada Yura yang sangat menyayanginya.
“nggak papa. Kamu naik
taksi aja, nanti pulangnya Nicho yang nganter”
Setelah Yura mengatakan
oke, aku menutup sambungan telepon. Aku dan Nicho duduk di sofa dekat pintu
masuk untuk mengamati Andra dari kejauhan. Mereka makin mesra saja. Entah apa
yang akan terjadi saat Yura melihatnya.
Diluar dugaanku dan
Nicho, Yura datang dari pintu samping, bukan dari pintu depan tempat kami
menunggunya. Alhasil, Yura langsung melihat Andra yang sedang mencium perempuan
di sebelahnya.
Aku membenamkan wajahku
pada dada Nicho sambil memeluknya saat Yura melabrak Andra. Aku nggak mau
melihatnya, tapi aku masih bisa mendengar suara kemarahan Yura beserta suara
orang-orang di kedai yang mengomentari pertengkaran mereka.
“Ca, ayo kita kejar
Yura” kata Nicho. Aku baru menyadari kalau Yura sudah nggak ada di kedai, Andra
sudah basah kuyup dan gelas minuman di hadapannya sudah kosong. Aku dan Nicho
segera berlari mengejar Yura tanpa peduli lagi dengan keadaan Andra.
Yura terus menangis
sambil mengumpat Andra selama perjalanan pulang. Aku hanya bisa mengelus
rambutnya sambil mendengar semua keluh kesahnya sampai tuntas. Nicho pun
memilih diam sambil tetap mengemudikan mobilnya.
“aku sayang banget sama
Andra, Ca. aku selalu ada buat dia kapanpun dia butuh, tapi lihat apa
balesannya? Dia malah selingkuh sama perempuan gatel itu! Akhir-akhir ini dia
memang sering menghindar dari aku, tapi aku nggak nyangka dia bakal setega ini.
Aku benci dia, Ca!”
Aku ikut menangis
mellihat Yura yang terus menangis. Aku sangat sayang pada Yura dan nggak tega
melihatnya sesedih ini.
Kami mengantar Yura
sampai depan rumahnya. Aku sudah berjanji kalau besok aku akan datang ke
rumahnya untuk mendengar cerita dan menghiburnya lagi. Sepanjang perjalanan ke
rumahku, aku terus melamun.
“kamu nggak usah sedih
lagi, sayang. Yang penting sekarang Yura tahu kalau Andra bukan orang yang
tepat buat dia” Nicho meraih tanganku dengan sebelah tangannya, sebelahnya lagi
masih memegang kemudi.
“Nic, ternyata ketemu
setiap hari nggak bisa ngejamin kesetiaan, ya. Buktinya Andra masih bisa
selingkuh walaupun dia sama Yura nempel terus tiap hari”
“makanya kamu jangan
sirik terus sama pasangan-pasangan yang bisa tiap hari ketemu. Yang penting itu
kita saling percaya dan tahan sama godaan-godaan”
“kalau kamu? Bakal
selingkuh kayak Andra juga?” tanyaku, polos.
“sekarang sih belum ada
niat buat selingkuh. Mudah-mudahan seterusnya tetep gini” jawab Nicho tanpa
beban.
“mudah-mudahan?!” sorot
mataku mulai tajam. aku melepas tanganku dari genggamannya.
“aku nggak mau banyak
janji. Aku cuma bisa bilang kalau aku sayang kamu. Sekarang, dan mudah-mudahan
sampai nanti” Nicho menggenggam tanganku lagi. Aku suka kata-katanya. Sederhana
tanpa banyak omong kosong.
“belajar gombal dimana
sih? Jago banget” aku tertawa. Nicho ikut tertawa mendengarnya.
Aku rasa, selama kami
saling percaya, nggak ada lagi yang perlu ditakutkan. Aku dan Nicho akan
bersama. Sekarang, dan mudah-mudahan sampai nanti.
THE
END