Dec 22, 2015

cerpen: LDR part.2

LDR
 part. 2


Di rumah lagi…
Ini sudah ke sekian puluh kalinya aku menghabiskan malam minggu hanya dengan menonton TV di rumah. Bosan begini terus.
Sejak Nicho, pacarku kuliah di Jerman, kami berdua resmi jadi anggota LDR. Yang artinya kami hanya bisa mengobrol lewat telepon, aplikasi massanger, dan hanya bisa ‘bertemu’ lewat video call yang nggak bisa setiap hari kami lakukan. Selebihnya semua aktivitas yang biasanya kami kerjakan bersama, sekarang kami kerjakan masing-masing. Berangkat kuliah, jalan-jalan, atau nonton ke bioskop. Awalnya aku bisa menerima keadaan seperti ini, tapi lama-lama jadi capek juga. komunikasi antara aku dan Nicho terbatas, belum lagi Nicho adalah salah satu tipe orang yang gila belajar. Kalau sudah serius dengan tugas kuliahnya, dia bisa lupa apapun, termasuk menghubungiku. Aku sering cemas karena dia nggak menghubungiku selama berhari-hari. Selain itu, aku juga sedikit sebal sering disebut ‘jomblo’ oleh teman-teman sekampus gara-gara aku pergi kemana-mana sendiri.
Aku juga mau dijemput atau diantar pulang, diajak jalan, atau nonton bioskop bareng seperti teman-teman sekitarku yang punya pasangan. Aku juga ingin seperti yang lain, yang menghabiskan malam minggu dengan duduk di kafe, atau jalan-jalan ke tempat favorit bareng pacar. Bukannya jadi penjaga TV seperti ini.
Aku meraih handphoneku dia atas meja lalu mengetik pesan ke id line Nicho.

 ‘Nic, aku kangen’

*
Aku dan Nicho satu sekolah saat SMA. Di tahun pertama, Nicho sudah cukup populer dengan prestasinya sebagai juara umum dan anggota tim basket sekolah. Sedangkan aku cuma murid biasa yang kurang populer dan hanya punya prestasi sebagai juara kelas saja.
Saat kelas dua, kami duduk di kelas dan bangku yang sama. Aku masih ingat saat murid-murid perempuan di kelas kami -yang merupakan penggemar Nicho- mencibirku habis-habisan karena iri padaku yang terpilih duduk sebangku dengan Nicho. Aku sendiri nggak mempedulikan cibiran mereka, juga sama sekali nggak naksir Nicho walaupun harus kuakui Nicho memang ganteng banget. Karena perasaan kami yang netral, aku dan Nicho mudah menempatkan diri sebagai sahabat. Kami bisa bicara panjang lebar mulai dari pelajaran, musik coldplay, sekuel-sekuel film fast & furious, tempat nongkrong yang seru, sampai games terbaru.
Kami sering berlomba mendapatkan nilai tertinggi saat ulangan harian di kelas. Hukuman yang mendapat nilai lebih rendah adalah mentraktir tiket nonton di blitzmegaplex. Si juara umum di sekolah itu jelas bukan tandinganku, sudah bisa dipastikan akulah yang paling sering kalah. Kami hampir setiap minggu nonton di blitzmegaplex atas nama kekalahanku. Rasanya kesal juga, walaupun setiap selesai nonton Nicho sering mentraktir makan apapun yang kumau.
Entah kapan bermulanya, tapi aku mulai merasa berdebar saat melihat Nicho dangan senyum khasnya. Tiba-tiba saja menjelang naik kelas 3, aku jadi takut. Aku takut di kelas 3 nanti kami akan pisah kelas, takut nggak bisa ngobrol dengannya lagi, nggak mau jauh darinya. Galau sekali rasanya. Apa aku mulai naksir dia?
Untungnya, ketakutanku ternyata nggak terbukti. Aku dan Nicho dipertemukan lagi di kelas yang sama dan lagi-lagi kami berbagi bangku yang sama. Hal itu membuat perasaanku makin menjadi-jadi. Aku benar-benar naksir dia!
Tapi, perasaan ini nggak boleh diteruskan. Aku tahu betul kalau Nicho hanya menganggapku sahabatnya. kami nggak mungkin jadi pasangan. Lagipula masih banyak murid perempuan di sekolah yang lebih cantik dan lebih modis dariku yang bisa dipilih Nicho.
Suatu pagi, ada sebuket bunga daisy di atas mejaku. Aku yakin bunga itu disimpan oleh salah satu penggemar Nicho. Aku sudah terbiasa melihat sebuket bunga ‘nyasar’ diatas mejaku yang sebenarnya ditujukan untuk Nicho. Resiko sebangku dengan idola sekolah.
“nih, buat kamu” aku menggeserkan buket bunga itu ke dekat Nicho.
“itu buat kamu” jawab Nicho sambil tetap mengerjakan soal di LKS kimianya dengan tenang. Nicho punya kebiasaan mengerjakan latihan soal-soal di LKS sebelum jam pelajaran dimulai. Membuatku nggak heran kenapa dia bisa mempertahankan gelar juara umumnya selama 4 semester berturut-turut.
“nggak mungkin, aku kan nggak punya penggemar” Memang benar, aku nggak cukup populer untuk dapat kirimin bunga secantik ini.
“kamu punya penggemar, kok. Kamunya aja yang nggak sadar”
“oh, ya? Siapa?” tanyaku, sinis.
“nanti juga kamu tahu”
Aku membuka kartu yang terselip di buket bunga itu. Aku terkejut begitu melihat tulisan tangan yang sudah sangat kukenal itu

‘aku suka kamu sejak pertama kali kita duduk sebangku.
Claudia Rasya, mau jadi pacarku?’
-Nicholas Armanda-

Aku terkesiap membaca tulisan di kartu ini. ini bunga dari Nicho untukku? Dan, dia minta aku jadi pacarnya? Apa aku sedang bermimpi?
Aku mengalihkan pandanganku padanya. Baru kusadari kalau dari tadi Nicho memperhatikanku sambil tersenyum.
“Nic, ini…”
“kamu mau?” tanyanya, tenang. Aku nggak bisa melakukan apa-apa lagi selain mengangguk pelan sambil tersenyum. Nicho menggenggam tanganku dan nggak melepasnya sampai guru kami masuk kelas. Selama setahun lebih duduk sebangku dengannya, ini adalah hari yang paling menyenangkan.
*
Nicho nggak pernah terang-terangan menyebut kata sayang atau cinta padaku. Dia lebih suka menunjukan rasa sayangnya lewat perhatian. Mengantar dan menjemputku ke sekolah, membukakan pintu mobil, membantuku membawa buku-buku dari perpustakaan, atau mengajariku pelajaran yang agak sulit kumengerti. Saat di kelas biasanya dia iseng memutar helaian rambutku dengan jemarinya, mencubit pipiku, menjawil hidungku, atau melakukan apapun untuk mengangguku. Dan biasanya saat aku mulai ngambek, dia akan mentraktirku es krim matcha sebagai permintaan maaf.
Kami baik-baik saja, sampai hari kelulusan SMA tiba.
Semua murid-murid di sekolah saling mencorat-coret baju mereka untuk merayakan kelulusan. Aku menuliskan namaku dengan spidol warna pink ke kerah seragam Nicho. Tanpa kuduga, Nicho mengusap pipiku, lalu mengecup lembut bibirku. Itu ciuman pertama kami.
“selamat, ya” Nicho tersenyum. Aku selalu suka pada senyumannya. Menenangkan, menyejukan, tapi sekaligus bisa membuat pipiku memanas tiba-tiba.
“kamu juga, selamat ya” aku membalas senyumnya. “jadi kuliah di ITB, kan?”
Nicho terdiam sebentar. “ehm, sebenernya dua minggu lagi aku berangkat ke Jerman. Aku keterima di Stuttgart university” katanya, ragu-ragu. Mungkin dia bingung antara senang dan bangga atau sedih. “maaf ya, aku baru berani bilang sekarang”
Aku hanya bisa melongo.
Aku memang sudah tahu kalau Nicho mengirim aplikasi ke Stuttgart university di Jerman. Tapi aku sama sekali nggak memikirkan kalau Nicho akan diterima. Nicho bilang universitas itu adalah salah satu universitas terbaik di Jerman dan dia sama sekali nggak bermimpi bisa masuk kesana. Bodohnya aku yang lupa kalau pacarku itu jenius. Dengan prestasi cemerlangnya, mungkin saja dia diterima di universitas bergengsi manapun, termasuk di luar negeri.
“Ca?” Nicho membuyarkan lamunanku.
Air mata mulai membasahi pelupuk mataku. Ingin sekali aku mengucapkan selamat, ungkapan bangga, atau kata pujian apapun untuknya. Tapi, aku terlalu sedih untuk mengatakannya. “aku nggak mau LDR-an” itu saja yang bisa kuucapkan.
“kita bakal baik-baik aja, Ca” Nicho meyakinkanku. “nggak ada yang salah sama LDR”
“tapi aku nggak mau” tangisku makin dalam. Nicho merengkuhku dalam pelukannya.
“jangan nangis terus, aku nggak tega ngelihatnya” Nicho mengelus rambutku. “kita pasti bisa lewatin semuanya. Cuma 4 tahun. Kita masih bisa ketemu pas aku libur semester”
*
Nggak terasa, sekarang aku dan Nicho sudah lebih dari setahun LDR-an. Selama itu, Nicho belum sempat pulang ke Indonesia. Libur semester kemarin, Nicho nggak jadi pulang ke Indonesia karena di waktu yang sama papa dan mamanya terbang ke Jerman untuk urusan bisnis dan sekalian mengunjungi anak tunggalnya itu. Jadi aku harus lebih bersabar menunggu Nicho pulang ke Indonesia.
Handphoneku berbunyi. Line dari Nicho.
‘Ca, lagi ngapain?’
Aku langsung mengetik balasan. ‘lagi ngampus, kamu?’
aku baru bangun, disini masih pagi hehe’
Ah, aku benar-benar kangen dia. ‘aku kangen kamu’
‘aku lebih kangen kamu’
‘cepet pulang L
‘sabar ya, sayang’
“ciye, anak LDR. Mainnya sama handphone mulu” Yura, sahabatku sejak SMA tiba-tiba sudah duduk manis di hadapanku. Dia memang hobi meledek hubungan jarak jauhku dengan Nicho.
“ih, rese!” aku langsung memasukan handphoneku ke dalam tas.
“si Nicho kapan pulang, Ca?” tanya Andra, pacarnya Yura sejak SMA yang juga sahabatnya Nicho. Mereka memang pasangan kembar siam. Nempel terus 24 jam, kapanpun, dimanapun.
“libur semester ini kayaknya” jawabku.
“kalau aku jadi kamu, aku pasti nggak akan tahan, deh. Aku kan nggak bisa jauh-jauh dari Andra” kata Yura sambil mengamit lengan Andra dengan manja.
“lebay, deh” cibirku, sebal.
“sirik, deh” Yura balik mencibir sambil meleletkan lidahnya.
Yura dan Andra memang pasangan idola paling serasi sejak SMA. Yura yang jadi ketua tim cheerleader sangat cocok dipasangkan dengan Andra yang kapten basket. Saking cocoknya, mereka bahkan terpilih jadi prom king dan prom queen di prom night sekolah kami. Setelah lulus SMA, kami bertiga memilih universitas yang sama walaupun beda jurusan. Aku dan Andra kuliah di jurusan kedokteran gigi, sedangkan Yura di jurusan desain komunikasi visual. Kami sering nongkrong bertiga di kampus, dan tentu saja aku jadi ‘obat nyamuk’ mereka. Aku sebenarnya iri pada Yura yang bisa selalu ditemani Andra. Aku juga mau Nicho-ku yang dulu. Nicho yang selalu ada untukku. Bukan Nicho yang hanya rajin mengirim pesan di line dan wajahnya hanya bisa kulihat lewat video call.
“Ca, emangnya kamu beneran nggak takut kalau disana Nicho punya cadangan?” tanya Yura, mimik mukanya mulai serius.
“cadangan?” aku mengerutkan dahi.
“punya cewek lagi maksudnya”
Aku menggeleng. “nggak mungkin, deh. Nicho kan nggak kayak gitu orangnya”
“tapi kan kalian udah setahun nggak ketemu. Kamu kan juga nggak tahu temen-temennya Nicho kayak gimana. Kalau ada yang lebih cantik dari kamu, atau ada yang lebih seru dan bikin Nicho lebih seneng, gimana?” Yura mulai menakut-nakutiku.
“Yura, udah ah! jangan nakut-nakutin gitu” aku cemberut.
“ih, bukannya nakut-nakutin, Caca sayang. Aku kan udah bilang kalau long distance relationship itu rentan banget sama orang ketiga. Mungkin aja kayak gitu, kan?” jawab Yura, lalu dia beranjak memesan minuman untuk Andra.
Dalam hati, aku membenarkan kata-kata Yura. Aku dan Nicho sudah setahun nggak bertemu. mungkin saja di Jerman sana Nicho sudah punya ‘cadangan’
Aku jadi takut.
*
Aku memasang earphone ke telingaku sambil menunggu ikon akun skype milik Nicho menyala.
“hai, pak arsitek!” sapaku ceria. Wajahnya sudah memenuhi layar handphoneku. Dia memakai kemeja denim lengan pendek dengan kacamata berbingkai hitam yang sudah biasa kulihat.
“hai, bu dokter!” dia tersenyum. “cantik banget hari ini”
“gombal, deh” aku jadi tersipu malu.
“aku sambil bikin tugas ya, Ca. nggak papa kan?”
“iya, nggak papa. Kamu bikin tugas aja, aku temenin”
Aku memandangi Nicho yang sedang mengerjakan tugas bersama buku-buku tebalnya lewat layar handphone. Tiba-tiba saja, aku jadi ingat kata-kata Yura tadi siang di kantin kampus.
“Nicho sayang” rajukku, manja.
“iya, Ca?”
“kamu disana jangan nakal, ya. Jangan deket-deket sama cewek lain, apalagi yang lebih cantik dari aku. Pokoknya jangan selingkuh”
Nicho malah tertawa. “kamu tahu kan, aku ini gimana? Waktu kita belum pacaran aja aku nggak pernah deket sama cewek selain kamu. Apalagi sekarang”
“aku takut aja, Nic. Takut kamu berubah, takut aku udah nggak cocok lagi buat kamu, takut kamu bosen sama aku, takut…”
“aku sayang banget sama kamu, Ca. Kamu aja, nggak ada yang lain” potong Nicho. “kamu harus percaya itu”
“i love you” kataku sambil tersenyum.
“I love you more” dia membalas senyumanku.
Kalau sikap Nicho masih semanis ini, harusnya aku nggak perlu khawatir.
*
Pagi ini rasanya menyenangkan sekali.
Aku dan mamanya Nicho sudah berada di bandara untuk menjemput Nicho yang baru datang dari Jerman. Akhirnya, aku bisa bertemu lagi dengan Nicho. Jantungku rasanya berdebar lebih cepat dari biasanya.
Setelah menunggu cukup lama, Nicho akhirnya muncul dengan koper dan beberapa barang bawaan lainnya. Tapi dia nggak berjalan sendirian, disampingnya ada seorang perempuan berpostur tubuh tinggi semampai, rambut ikal kecoklatan, dan kulit putih pucat. Sepertinya aku kenal. Ah, dia kan Angel. Teman sekelasku saat SMA yang kabarnya melanjutkan kuliah di Belanda. Kenapa dia bisa satu pesawat dengan Nicho? Dan, kenapa dia akrab sekali dengan Nicho? Jangan-jangan…
“Caca?” suara Nicho membuyarkan lamunanku.
“eh, iya. Kenapa?”
“ini Angel. Masih inget, kan? Temen SMA kita”
Tentu saja aku ingat. Dulu, Angel sempat naksir Nicho saat status Nicho sudah jadi pacarku. Banyak yang bilang kalau Angel lebih cocok dengan Nicho. Aku jadi sebal sendiri mendengarnya.
Aku mengangguk. “inget, kok. Nggak nyangka kita bisa ketemu lagi ya, Gel”
Angel mengangguk sambil tersenyum. “iya, udah lama banget ya nggak ketemu, Ca. seneng banget, deh”
Aku malah berharap nggak bertemu dia lagi!
Nggak lama, Angel pamit padaku, Nicho, dan mamanya Nicho karena papanya sudah datang menjemput. Sebelum pergi, Angel sempat bercerita kalau dia berencana untuk berhenti kuliah di Belanda dan pindah kuliah ke Jerman, ke kampus yang sama dengan Nicho. Ini artinya, Angel dan Nicho akan punya banyak waktu bersama. Aku jadi khawatir.
“Ca, sayang” Nicho mengusap rambutku. “kok diem terus dari tadi? Aku kan kangen dicerewetin kamu lagi”
“kok Angel bisa satu pesawat sama kamu, sih?” tanyaku, tanpa basa-basi.
“jadi selama di Jerman Angel itu tinggal di rumah tantenya. Letaknya nggak jauh dari tempat tinggal aku. Beberapa bulan lalu kita nggak sengaja ketemu, abis itu ngobrol soal rencana kita yang sama-sama mau pulang ke Indonesia. Ya udah, kita sekalian aja mesen tiket bareng. Gitu aja”
“terus kenapa kamu bisa akrab sama dia? Pas SMA dulu kan kamu sama dia nggak deket”
Nicho tersenyum lebar lalu menjawil hidungku. “cemburu, ya?”
“nggak! Biasa aja!” aku jadi salah tingkah.
“aku nggak deket sama dia. Aku sama dia cuma temen ngobrol” Nicho lalu mendekapku dalam pelukannya. “hmm..udah lama nggak peluk-pelukan lagi”
“ih, malu tahu” aku berusaha melepaskan diri. Tapi Nicho malah makin mempererat pelukannya. Untung mamanya Nicho sedang pergi ke toilet. Aku bisa tambah malu kalau Nicho memelukku seperti ini di depan mamanya.
“Nic” panggil seseorang di belakang kami. Aku dan Nicho langsung berbalik. Ternyata Angel.
“aku lupa ngasih ini tadi” dia mengeluarkan sebuah ipod touch warna hitam yang sudah sangat aku kenali. Milik Nicho. “makasih ya, udah pinjemin tadi”
“sama-sama” Nicho meraih ipod itu lalu memasukannya ke dalam saku jaket.
“eh, kita jadi kan mau dinner bareng ke kedai pasta deket SMA? Nanti kabarin lewat telepon ya. Eh, atau line aku aja deh, kayak biasa”
Aku mendelik tajam ke arah Nicho. Sedangkan Nicho sepertinya sudah mulai salah tingkah. “ehm, iya.”
“oke. Sampai nanti” Angel melambaikan tangan pada kami berdua. Setelah Angel tak terlihat lagi, aku langsung menatap Nicho, tajam. “Ca, maksudnya itu…”
“katanya nggak deket, tapi mau jalan bareng!” aku memukul-mukul bahu Nicho. “kamu suka bohong, ah! nyebelin!”
“nggak gitu maksudnya, sayang”
*
“Ca, masih marah ya?” tanya Nicho. Siang ini, mamanya Nicho mengajakku untuk makan siang bersama di rumahnya. tadinya aku mau menolak karena sedang ngambek pada Nicho, tapi mamanya Nicho sangat baik padaku dan aku nggak tega menolak setiap ajakannya.
“nggak!” jawabku, cepat.
“masih marah, ya?” tanyanya lagi, sambil menggeserkan badannya lebih dekat denganku.
“dibilangin nggak, ya nggak!”
“ya udah, sini aku cium dulu” Nicho mendekatkan wajahnya. Tapi aku langsung menjauhkan wajahku.
“cium Angel aja sana! Dia kan yang udah nemenin kamu selama di pesawat, udah janjian mau makan bareng juga!”
Nicho malah tertawa. Dia lalu mendekatkan wajahnya lagi sampai hidung kami bersentuhan. “kamu beneran cemburu sama Angel, ya?” bisik Nicho.
“apaan, sih?” jawabku, dengan berbisik juga karena wajah kami sekarang sangat dekat.
Nicho mengecup hidungku dengan lembut, lalu lanjut mengecup bibirku. Aku nggak bisa menolaknya, karena keduanya terjadi begitu cepat.
“aku kan udah bilang nggak mau dicium!” aku menutup bibirku dengan tangan.
“kamu lucu banget, ya” Nicho lalu menjawil hidungku. Aku mendengus kesal sambil mengusap hidungku.
“selama di pesawat, aku sama Angel cerita soal pacar kita masing-masing. Dia excited banget waktu tahu aku masih pacaran sama kamu. Akhirnya kita bikin rencana buat double date”
“double date?”
“iya, sekalian Angel mau kenalin pacarnya sama kita. Tadinya aku nggak mau ngasih tahu kamu dulu, biar jadi kejutan. Tapi malah dibongkar duluan sama dia” Nicho terkekeh.
Aku jadi malu sendiri karena sudah menuduh Nicho yang bukan-bukan. Harusnya aku bertanya dulu sebelum marah-marah nggak jelas. “maaf ya, aku nggak tahu” aku langsung mengelus pipinya dengan lembut.
Nicho mengangguk. Dia lalu mengambil salah satu paper bag dari dalam kopernya lalu memberikannya padaku. “oleh-oleh dari jerman!” katanya, ceria.
“ini apa?” tanyaku, yang dalam hati sedang menebak-nebak isi paper bag dalam genggamanku ini.
“buka aja, pasti kamu suka”
Aku membuka paper bag itu dan langsung terpekik kegirangan saat melihat isinya. Boneka kucing berwarna abu-abu! Ukurannya cukup besar dan sangat mirip dengan kucing sungguhan.
“ah, lucunya!” aku menempelkan bulu boneka kucing itu ke kedua pipiku. Lembut sekali rasanya.
“makasih ya, sayang” Nicho tahu aku sangat fanatik pada kucing. Tapi keinginanku memelihara kucing nggak bisa terwujud karena penyakit asmaku yang akut.
Nicho tersenyum sambil mengelus rambutku. “suka kan?”
“suka banget!” jawabku, cepat. Tiba-tiba aku merasa ada benda kecil yang jatuh dari boneka kucing yang sedang kupeluk. Aku memungut benda yang ternyata sebuah cincin platina itu.
“ini cincin siapa, Nic?”
Nicho menggeleng. “nggak tahu. Hadiah dari bonekanya kali”
“nggak mungkin. Masa boneka berhadiah cincin yang mahal kayak gini?” jawabku. “ini mungkin punya karyawan toko boneka di tempat kamu beli boneka ini, deh”
Nicho malah mengulum senyum. Aku jadi bingung.
“bercanda, deh. Cincin itu aku beli buat kamu” Nicho mengambil cincin itu lalu memakaikannya di jari manis tangan kiriku. “liburan semester kemarin, aku iseng cari kerja supaya bisa beliin hadiah buat kamu pas pulang ke Indonesia. Ternyata aku dapet kerjaan yang gajinya lumayan, jadi aku bisa beli ini”
Aku menatap cincin itu. Walaupun tanpa berlian dan benda berkilau lainnya, cincin itu tetap terlihat manis. Dan aku tahu harganya tak murah.
“tapi ini kan..mahal banget”
Nicho tertawa. “tenang aja, itu seratus persen pake uang hasil kerja. Aku nggak pake uang kuliah sama sekali. Itung-itung hadiah anniversary kita tahun kemarin, waktu itu kan aku nggak bisa kasih kamu kado”
Aku tak bisa berhenti tersenyum. Nicho selalu saja menunjukan sisi manisnya yang membuatku semakin jatuh cinta padanya. “makasih, ya”
“makasih aja?” Nicho menaikan sebelah alisnya.
“terus?”
“pake cium atau peluk, kek. Kalau lagi chatting kamu sering ngasih emoticon cium sama peluk, giliran ketemu malah diem terus” protes Nicho dengan mimik muka yang lucu.
Aku tertawa lalu langsung memeluk dan mengecup pipinya berulang kali. Seolah tak mau kalah, Nicho balik mengecup pipiku lebih lama sebelum akhirnya mengecup bibirku lagi.
*
“Caca..cantik banget, deh” puji Angel saat aku dan Nicho menghampi mejanya. Di samping Angel duduk seorang laki-laki tinggi dengan senyum ramah yang aku yakini sebagai pacar Angel.
“kamu juga cantik, Gel” aku balik memuji dengan tulus. Angel lalu mengenalkan pacarnya yang bernama Rafka padaku dan Nicho. Sambil menikmati makanan masing-masing, kami mengobrol tentang banyak hal. Mulai dari kuliah sampai homesick-nya Angel dan Nicho selama berada di luar negeri. Angel sangat mesra dengan Rafka, begitu pula Nicho yang sesekali menggenggam tanganku di atas meja atau menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajahku ke telinga. Kalau seperti ini, rasanya aku tak perlu khawatir membiarkan Nicho dan Angel kuliah di kampus yang sama.
Aku pamit ke toilet untuk mencuci tangan dan menyisir rambutku. Tapi saat berjalan menuju toilet, aku terkesiap melihat pemandangan di hadapanku. Ada seorang perempuan yang sedang bermesraan dengan seorang laki-laki yang kukenal. Laki-laki itu memeluk lalu menciumnya beberapa kali.
Dan laki-laki itu... Andra.
*
“pulang, yuk?” bisikku pada Nicho. Aku tak jadi pergi ke toilet dan memutuskan untuk kembali ke mejaku setelah apa yang kulihat tadi.
“kenapa? Kan makanannya belum abis” tanya Nicho, bingung.
“aku harus pulang, Nic” rengekku. Aku ingin sekali menghubungi Yura dan memberi tahunya kalau Andra ternyata bukan laki-laki baik-baik.
“ada yang penting banget, ya? Atau, kamu nggak enak badan?” mendengar nada khawatir di suara Nicho, aku langsung menceritakan semua yang kulihat dengan cara mengetik di notes handphoneku agar Angel dan Rafka nggak terganggu.
Nicho mengerti dan langsung berpamitan pada Angel dan Rafka. Dia mengatakan kalau kami sudah punya janji dengan teman yang lain. Angel dan Rafka sempat meminta kami tinggal lebih lama lagi, tapi akhirnya mereka membiarkan kami pulang duluan.
Dengan ragu, aku menekan nomor handphone Yura yang sudah kuhafal diluar kepala. “halo, Ra?”
“hai, gimana ngedatenya sama Nicho? Sukses kan?”tanya Yura dengan semangat. Membuatku makin tak tega mengatakan yang sebenarnya.
“uhm, kamu sekarang ke kedai pasta deket SMA, ya. Nicho mau nraktir kita”
“wah, asyik! Aku kesana deh sekarang. Tapi aku nggak bisa ngajak Andra, soalnya dia lagi main futsal sama temen-temennya”
Main futsal?! Darahku mulai mendidih. Bisa-bisanya Andra bohong pada Yura yang sangat menyayanginya.
“nggak papa. Kamu naik taksi aja, nanti pulangnya Nicho yang nganter”
Setelah Yura mengatakan oke, aku menutup sambungan telepon. Aku dan Nicho duduk di sofa dekat pintu masuk untuk mengamati Andra dari kejauhan. Mereka makin mesra saja. Entah apa yang akan terjadi saat Yura melihatnya.
Diluar dugaanku dan Nicho, Yura datang dari pintu samping, bukan dari pintu depan tempat kami menunggunya. Alhasil, Yura langsung melihat Andra yang sedang mencium perempuan di sebelahnya.
Aku membenamkan wajahku pada dada Nicho sambil memeluknya saat Yura melabrak Andra. Aku nggak mau melihatnya, tapi aku masih bisa mendengar suara kemarahan Yura beserta suara orang-orang di kedai yang mengomentari pertengkaran mereka.
“Ca, ayo kita kejar Yura” kata Nicho. Aku baru menyadari kalau Yura sudah nggak ada di kedai, Andra sudah basah kuyup dan gelas minuman di hadapannya sudah kosong. Aku dan Nicho segera berlari mengejar Yura tanpa peduli lagi dengan keadaan Andra.
Yura terus menangis sambil mengumpat Andra selama perjalanan pulang. Aku hanya bisa mengelus rambutnya sambil mendengar semua keluh kesahnya sampai tuntas. Nicho pun memilih diam sambil tetap mengemudikan mobilnya.
“aku sayang banget sama Andra, Ca. aku selalu ada buat dia kapanpun dia butuh, tapi lihat apa balesannya? Dia malah selingkuh sama perempuan gatel itu! Akhir-akhir ini dia memang sering menghindar dari aku, tapi aku nggak nyangka dia bakal setega ini. Aku benci dia, Ca!”
Aku ikut menangis mellihat Yura yang terus menangis. Aku sangat sayang pada Yura dan nggak tega melihatnya sesedih ini.
Kami mengantar Yura sampai depan rumahnya. Aku sudah berjanji kalau besok aku akan datang ke rumahnya untuk mendengar cerita dan menghiburnya lagi. Sepanjang perjalanan ke rumahku, aku terus melamun.
“kamu nggak usah sedih lagi, sayang. Yang penting sekarang Yura tahu kalau Andra bukan orang yang tepat buat dia” Nicho meraih tanganku dengan sebelah tangannya, sebelahnya lagi masih memegang kemudi.
“Nic, ternyata ketemu setiap hari nggak bisa ngejamin kesetiaan, ya. Buktinya Andra masih bisa selingkuh walaupun dia sama Yura nempel terus tiap hari”
“makanya kamu jangan sirik terus sama pasangan-pasangan yang bisa tiap hari ketemu. Yang penting itu kita saling percaya dan tahan sama godaan-godaan”
“kalau kamu? Bakal selingkuh kayak Andra juga?” tanyaku, polos.
“sekarang sih belum ada niat buat selingkuh. Mudah-mudahan seterusnya tetep gini” jawab Nicho tanpa beban.
“mudah-mudahan?!” sorot mataku mulai tajam. aku melepas tanganku dari genggamannya.
“aku nggak mau banyak janji. Aku cuma bisa bilang kalau aku sayang kamu. Sekarang, dan mudah-mudahan sampai nanti” Nicho menggenggam tanganku lagi. Aku suka kata-katanya. Sederhana tanpa banyak omong kosong.
“belajar gombal dimana sih? Jago banget” aku tertawa. Nicho ikut tertawa mendengarnya.
Aku rasa, selama kami saling percaya, nggak ada lagi yang perlu ditakutkan. Aku dan Nicho akan bersama. Sekarang, dan mudah-mudahan sampai nanti.


THE END