Apr 23, 2016

cerpen: NANAS

            Aku menatap seseorang yang sedang duduk di hadapanku sambil menyantap nasi goreng udang di piringnya. Cahaya lembut lampu penerangan jalan dan suara para pengamen yang bernyanyi dar meja ke meja menemani kami malam ini. Kami sudah berkencan empat kali, dan semuanya selalu berakhir dengan makan di warung nasi goreng favoritnya ini. aku sama sekali tak keberatan. Aku menyukai nasi goreng disini, rasanya sangat enak. Aku juga menyukai suasana tempat ini, hangat dan menyenangkan.
            Ditambah lagi…aku menyukai orang yang saat ini berada di hadapanku.
            “Ian” panggilku. Dan matanya langsung beralih menatapku.
            “iya, Nas?”
            Aku mengumpulkan keberanianku sejak tadi siang untuk mengatakan ini. “jawabannya iya”
            Dia mengerutkan kening. “iya?”
            Aku memutar bola mataku. “soal pertanyaan lo minggu lalu, jawabannya iya”
            Dia masih terlihat bingung. Bisa-bisanya dia melupakan hal sepenting ini. huh.
            Tiba-tiba, matanya berbinar. Senyuman lebar tersunngging di wajahnhya. Oh, aku sangat menyukai lesung pipi di pipi kanannya saat dia tersenyum. Membuatnta makin cute.
            “jadi lo nerima gue?” dia bertanya dengan semangat.
            “kan tadi gue udah bilang iya” aku mendengus kesal. Tapi dia malah meraih tanganku lalu menciumi buku-buku jariku.
            “malu, ih!” aku menarik kembali tanganku. Beberapa orang yang sedang makan di meja lain mulai memperhatikan kami.
            “biarin. Kita kan udah resmi pacaran” dia tersenyum iseng.
*
            Aku menyisir rambutku sambil menatap pantulan diriku di cermin.
            Aku bukan lagi Natasha si kutu buku yang sudah menjomblo hampir tujuh belas tahun. Sekarang aku pacar Adrian, ketua tim futsal yang populer dan punya banyak fans. Aku bahkan tak pernah bermimpi bisa ditaksir cowok paling ganteng dan terkenal satu sekolah. Aku hanya murid biasa, berbeda jauh dengan para anggota ekskul dance yang selalu tampil modis dan tentu saja terkenal. Aku tak mengerti kenapa Adrian lebih memilihku dibanding mereka.
            Dulu, aku sama sekali tak tertarik pada Adrian sekalipun dia sudah terkenal di hari pertama orientasi sekolah. Aku lebih sibuk mengerjakan tugas dan belajar agar bisa masuk kelas unggulan, tak seperti teman-teman seangkatanku yang berlomba-lomba menyelipkan hadiah atau surat cinta ke loker Adrian.
            Hingga saat kami sudah kelas XI, tiba-tiba Adrian mendekatiku. Awalnya aku tak sengaja bertemu Adrian di UKS dan akhirnya kami ngobrol cukup lama. Harus kuakui ternyata dia orang yang menyenangkan. Tapi sejak saat itu, dia mulai gencar meminta seluruh informasi tentangku dari teman-temanku dan sering menyelipkan sebatang Cadbury di lokerku dengan notes kecil bertuliskan:
            dating with me? J
            -Adrian-
            Dia memang sangat manis. Tapi hal itu tak langsung membuatku menerimanya. Aku belum pernah punya pacar. Aku menghindarinya karena kupikir cowok hanya akan merusak konsentrasiku dalam belajar. Adrian mungkin hanya akan menjadi sumber masalah untukku.
            Jadi aku memilih untuk menghindarinya. Mengabaikan notesnya, bahkan aku tak menghiraukan semua telepon dan pesan yang dia kirim ke ponselku.
            Satu hal yang selalu kutanamkan di otakku, aku tak boleh jatuh cinta padanya.
            Tapi pertahananku mulai runtuh saat suatu pagi aku menemukan sebuket bunga matahari di lokerku. Aku sangat menyukai bunga, terutama bunga matahari. Aku selalu berharap suatu saat akan ada laki-laki yang memberiku sebuket bunga seperti adegan di film-film romantis.
            Aku menemukan notes kecil yang menempel di plastik pembungkus bunga.
           
            Natasha yang cantik dan keras kepala,
            Ini udah ke-34 kalinya gue ngajak lo ngedate. Tolong kasih gue kesempatan. Sekali aja. Gue serius.
            Telepon gue jam 7 kalau lo berminat J
            -Adrian-

            Dan di hari itulah kencan kami dimulai. Di kencan kami yang ketiga, dia menyatakan perasaannya padaku. Setelah menunda jawabanku selama seminggu, akhirnya kemarin aku menerimanya.
            Semoga ini keputusan yang terbaik.
            “Tasha, ada Adrian nih” teriak Mama dari lantai bawah.
            Oh, dia sudah datang. Aku segera memakai cardigan biruku lalu mengambil diatas meja belajar sebelum turun ke lantai bawah.
*
            Aku tersipu saat Adrian membukakan pintu mobilnya untukku sambil tersenyum. Dia meletakan sebelah tangannya di pangkuanku selama dia menyetir. Dia selalu bersikap manis seperti ini sejak kencan pertama kami.
            “Nanas?”
            Aku menoleh. “kenapa?”
            Semua orang memanggilku Tasha, hanya dia yang menggunakan kata Nanas. Dia bilang, itu semacam panggilan sayang darinya untukku. Aku sangat menyukainya.
            Adrian menggeleng pelan. “pengen aja lihat kamu”
            “apaan sih?” aku tak bisa menyembunyikan senyumku. Pipiku pasti sudah semerah tomat sekarang.
            Adrian ikut tersenyum. “hari minggu nanti tim futsal sekolah kita bakal tanding. Kamu mau nonton kan?” selain tampan, Adrian juga berbakat hampir di semua cabang olahraga. Teman-temanku sempat bercerita kalau saat SMP dulu dia pernah menjadi atlet renang. Di tim futsalnya pun dia punya prestasi yang baik.
            “harus banget aku dateng ya?” aku menggodanya.
            “harus lah, aku nggak semangat kalau nggak ada kamu”
            “tapi nggak lama, kan? Soalnya aku ada les”
            “masa hari minggu masih les juga?” Adrian cemberut. Membuat wajahnya makin menggemaskan.
            “les piano” jawabku. “nanti aku coba minta izin ya, supaya bisa nonton pertandingan kamu”
            “yes!” dia terpekik senang. “makasih ya, sayang”
            Entah kenapa, aku langsung gugup saat mendengar kata sayang darinya. “eh, uhm, iya”
*
            Adrian menggandeng tanganku saat berjalan di koridor sekolah. Dia mengantarku sampai ke depan kelas dan mengacak pelan rambutku sebelum pergi ke kelasnya. Aku mendapati teman-temanku melongo melihatnya.
            “apa?” aku mengerutkan kening saat Cleo dan Abi, kedua sahabatku menatapku sambil mengulum senyum.
            “udah jadian ya?” tanya Cleo. Aku mengangguk malu-malu.
            “aahh!! Congratulation!” Cleo dan Abi memelukku dangan heboh. Mereka memang sudah mendesakku sejak minggu lalu agar menerima cinta Adrian.
            “udah ciuman, belum?” Abi menggodaku.
            Aku menggeleng cepat. “baru jadian sehari, masa udah ciuman?”
            “nanti pas pulang sekolah kali” Cleo ikut menggoda.
            “ih, udah ah” aku mengeluarkan buku biologi lalu membacanya untuk mengalihkan pikiranku dari Adrian dan, ugh...ciuman.
            “berarti lo bakal nonton pertandingan futsalnya Adrian hari minggu nanti?” Abi bertanya sambil membuka bungkus kripik kentangnya.
            “dia sih minta gue dateng, tapi gimana ya? Hari minggu kana da les piano…”
            “Tash, lo nggak bosen ya?” potong Cleo. “senin sampai jumat sekolah dan bimbel, sabtu les balet dan bahasa Jerman, minggu les piano. Lo butuh hiburan sesekali. Hidup nggak Cuma tentang belajar”
            Kami bertiga berada di kelas unggulan, tapi Cleo dan Abi tak gila belajar sepertiku. Orang tuaku suda mengajarkanku rajin belajar sejak kecil. Aku anak tunggal, hanya aku yang bisa membuat mereka bangga. Karena itu aku selalu ingin menjadi nomor satu di sekolah.
            “udah deh, bolos aja. Sekali” Abi ikut menghasutku.
            “oke, gue dateng”
*
            “uh, kayaknya lo salah kostum deh, Tash”
            Aku memandang pakaian yang kugunakan. Atasan tanpa lengan berwarna pink pucat, rok pendek bunga-bunga, dan ballerina shoes warna hitam.
            “apanya yang salah?” tanyaku. Setiap kencan dengan Adrian, aku selalu memakai pakaian seperti ini dan dia selalu mengatakan kalau aku terlihat manis.
            “terlalu feminim buat ke pertandingan futsal. Jangan pake itu” Cleo membuka lemariku untuk memilihkan pakaian lalu beranjak ke rak sepatu, sedangkan Abi membantuku mengikat rambut panjangku.
            Sasana olahraga yang menjadi tempat pertandingan sudah dipenuhi banyak orang dari berbagai sekolah. Rasanya sangat panas dan sesak. Aku berhutang banyak pada Cleopatra dan Abigail, dua fashion stylish dadakan yang memilihkanku kaus tipis abu-abu, legging hitam, dan sneakers putih yang membuatku tetap nyaman walaupun berdesak-desakan.
            Sekarang Cleo dan Abi sedang asyik memperhatikan seorang cowok keren yang memakai jersey tim futsal sekolah lawan. Sedangkan aku lebih tertarik mencari Adrian.
            “Nanas”
            Aku berbalik dan menemukan Adrian sudah berdiri di hadapanku. Dia terlihat tampan dengan jersey tim sekolah kami yang berwarna biru muda.
            “hai” aku tersenyum manis padanya.
            “aku takut kamu nggak jadi dateng” dia menyelipkan helaian anak rambut yang keluar ke luar dari ikatan rambutku ke belakang telingaku lalu mengelus pipiku. Oh, aku akan meleleh sekarang.
            “ini kan hari penting kamu. Aku mau nemenin kamu dan lihat kamu menang”
            Dia tersenyum. Oh, Tuhan. Aku sangat menyukai lesung pipi itu.
            “maaf ya, aku nggak bisa jemput kamu tadi. Aku harus dateng kesini pagi-pagi banget buat briefing. Kamu pasti bakal bosen kelamaan nunggu disini”
            “nggak papa, kok. Tadi aku berangkat sama Cleo dan Abi”
            “tapi nanti kamu harus pulang sama aku ya. Aku nggak mau tahu”
            Aku tertawa kecil lalu mengangguk.
            “ya udah, aku mau siap-siap buat tanding dulu”  dia mengelus rambutku sebelum berbalik meninggalkanku.
            “Ian?” panggilku. Membuat dia menoleh padaku.
            “good luck, ya” aku tersenyum sambil melambaikan tangan. Diluar dugaanku, dia mendekatiku lalu mencium keningku dengan lembut.
            “daah, cantik” aku masih membatu saat Adrian melambaikan tangannya sambil memamerkan senyumnya yang memikat.
            “oh my God!” Cleo dan Abi menghampiriku dengan semangat.
            “dia nyium lo, Tash! Di depan banyak orang! He’s obviously in love with you” Abi heboh sendiri.
            Cleo mengangguk. “dia romantis parah”
            Aku rasa, Cleo dan Abi akan makin mengagumi Adrian setelah ini.
*
            Pertandingan berlangsung sangat seru. Aku baru tahu kalau menonton pertandingan futsal bisa semenyenangkan ini. Tim sekolah kami berjuang sekuat tenaga. Aku bahkan hampir berteriak saat ada pemain lawan yang menjegal kaki Adrian. Aku tak tega melihatnya kesakitan. Untungnya, tim sekolah kami memenangkan pertandingan dan masuk ke babak final bulan depan.
            Aku berniat menghampirinya untuk memberikan ucapan selamat, tapi sayangnya dia dan timnya sedang sibuk diwawancarai sebuah majalah remaja terkenal. Matanya bertemu mataku saat wawancara itu berlangsung, tapi dia sepertinya tak peduli padaku. Dia memandangku seperti orang asing lainnya.
            Ada apa ini?
            Saat wawancara berakhir, aku segera berjalan kearahnya. Tapi lagi-lagi ada gangguan. Gerombolan penggemarnya yang kebanyakan adik kelas di sekolah kami berebut menghampirinya untuk memberi ucapan selamat atau sekedar tebar pesona. Diantara cewek-cewek centil itu, ada satu orang yang cukup kukenal. Namanya Martha. Satu sekolah tahu kalau Martha adalah mantan pacar Adrian.
            Entah kenapa, aku sedikit kesal melihatnya.
            Martha ternyata tak hanya sekedar menyalami Adrian, tapi juga mencium kedua pipi Adrian dan memeluknya. Aku bahkan belum pernah dipeluk Adrian!
            Saat itu juga, aku tahu air mataku mulai mengalir dan aku harus segera pergi. Aku berjalan keluar gedung lalu duduk di halte menunggu bus. Beruntung bagiku, dua menit kemudian bus datang dan aku segera menaikinya. Aku mengirim pesan lewat line pada Cleo dan Abi kalau aku pulang duluan setelah bus mulai meninggalkan halte.
            Tiga menit kemudian, ponselku berdering. Adrian.
            “kamu dimana?” suaranya terdengar begitu panik.
            “aku nggak mau lagi pacaran sama bintang futsal kegatelan kayak kamu!” pekikku, kesal.
            “kamu dimana, Nas?” geramnya.
            “pulang” jawabku, datar.
            “sendirian? Naik apa? Kita kan udah janjian bakal pulang bareng”
            “udah aku bilang, aku nggak mau jadi pacar kamu lagi!” aku menahan tangisku saat mengatakannya.
            “Nanas, sayang, aku bisa jela…” aku menutup telepon dan langsung menangis, tak peduli para penumpang lain di bus menatapku iba.
            Ini yang aku dapatkan setelah mengorbankan les pianoku. Benar kan, cowok selalu menimbulkan masalah?
*
            Aku terkejut saat menemukan isi lokerku sudah penuh dengan puluhan tangkai bunga matahari yang cantik. Bukan cuma aku, tapi semua murid perempuan yang sedang membuka loker di dekatku ikut terpesona melihatnya.
            Diantara bunga-bunga itu, terselip kertas berukuran cukup besar bertuliskan:

            Maafin aku, Nas

            Dari siapa lagi kalau bukan Adrian?
            “Tash, dia sweet banget deh” Cleo mengambil setagkai bunga matahari lalu menghirup wanginya.
            “maafin aja kali, Tash. Udah dua hari nih. Kan bukan salah dia punya penggemar yang cantik-cantik sekaligus kegatelan” ujar Abi.
            Ini bukan cara pertamanya untuk meminta maaf. Dua hari ini dia tak henti menelepon dan mengirimkan belasan pesan lewat line. Tapi aku enggan menanggapinya. Dia tak sepenuhnya salah. Tapi harusnya aku sadar kalau kutu buku sepertiku tak mungkin cocok dengan cowok sekeren dia.
            “gue nggak pantes buat dia” aku menggeleng, sedih.
            “kalau lo memang nggak pantes, dia nggak bakal berjuang minta maaf sampai segininya. Dia ngelakuin ini karena lo pantes diperjuangin, Tash”
*
            Aku baru saja keluar dari kelas bimbingan belajar saat melihat Adrian sedang duduk di kursi lobi sambil menopangkan kepala di lengannya. Dia sepertinya tertidur. Aku langsung menghampirinya.
            “Ian…Ian…” aku menepuk pelan pipinya, dia pun terbangun dan beranjak dari tempat duduknya.
            “hai, Nas” dia tersenyum sambil mengerjap-ngerjapkan matanya.
            “kamu dari jam berapa disini?”
            “jam tiga lebih sepuluh” jawabnya, ringan. Mataku melebar. Kelasku dimulai jam tiga dan berakhir jam setengah enam.
            “kamu nungguin aku selama itu?”
            Dia mengangguk. “aku nggak tahan lagi, aku pengen denger suara kamu. Setiap mau nemuin kamu di rumah atau di sekolah, kamu menghindar terus. Kalau aku nungguin kamu disini, kamu nggak bisa menghindar kan?”
            “maafin aku soal kemarin. Aku kewalahan banget, setelah tanding abis-abisan, aku masih harus ikut wawancara dan basa-basi sama cewek-cewek yang berisik itu. Aku sampai nggak sadar kalau kamu ngambek” Adrian meraih tanganku. “kalau soal Martha, aku sama dia sekarang cuma temen, nggak lebih. Aku nggak deket sama dia”
            “udah aku maafin kok” jawabku, malu-malu. “aku juga salah, udah marah karena hal sepele kayak gitu. Oh iya, makasih ya buat bunga di loker. Aku suka”
“jangan marah lagi ya” dia melingkarkan lengannya pinggangku. Aku sebenarnya malu berpelukan di lobi gedung bimbingan belajar, tapi aku benar-benar merindukannya.
“Ian” bisikku di telinganya. Aku melingkarkan lenganku di lehernya.
“iya, sayang?”
“aku kangen”
Aku merasa Adrian tersenyum di bahuku. “aku juga”
*
Tiga minggu berlalu, hubunganku dan Adrian berjalan sangat menyenangkan. Kami bergandengan tangan kapanpun dan dimanapun, berangkat dan pulang sekolah bersama, nonton ke bioskop, makan di warung nasi goreng favorit kami, atau sesekali menghabiskan waktu hanya dengan main staco di rumahku atau jumanji di rumahnya. kami juga sudah tak ragu untuk saling mencium pipi dan kening.
Walaupun begitu, Adrian selalu memberiku waktu sendiri jika aku ingin mengerjakan tugas atau belajar.
Hari ini aku dipanggil ke ruang kepala sekolah. Jangtungku hampir copot saat menerka-nerka apa yang membuatku dipanggil. Tapi syukurlah, ternyata aku dipercaya kepala sekolah untuk mewakili sekolah kami di perlombaan karya tulis ilmiah yang membahas isu pencemaran lingkungan dan penanggulangannya. Aku sangat bersemangat karena pemenang lomba karya tulis ini akan mendapat beasiswa kuliah ke Jepang! Aku sudah bercita-cita kuliah di luar negeri sejak kecil, aku sangat ingin mendapatkannya. Papa dan Mama juga pasti akan makin bangga padaku.
Sepulang sekolah, aku sibuk membaca buku-buku yang akan jadi referensiku dan mulai membuat rumusan masalah. Menjelang jam tujuh, aku mendengar dering ponselku. Di layarnya tertulis nama Adrian.
Astaga! Saking seriusnya membuat karya tulis aku sampai lupa mengabari Adrian.
“iya, Ian?”
“kamu lagi ngapain sih? Kenapa seharian ini ngilang?” dia terdengar agak kesal.
“maaf, aku nggak sempet ngecek handphone. Lagi belajar”
“ada hal lain yang kamu lakuin di rumah selain belajar?” tanyanya, sarkastik.
“ada. Makan, minum, mandi, tidur, ngobrol, kadang-kadang main staco sama kamu” jawabku, polos.
“Nas” dia menghela napas, berat. “jalan yuk?”
“uhm, nggak bisa. Aku lagi bikin karya tulis buat lomba”
“sebentar aja, Nas. Atau aku ke rumah kamu aja ya? Aku Cuma pengen ngobrol sambil tiduran di pangkuan kamu, kayak biasa” suaranya terdengar memohon.
“kalau kamu ke rumahku, nanti aku nggak konsentrasi bikin karya tulis ini. deadlinenya cuma sepuluh hari, Ian” jawabku. “besok pagi aja kita ngobrolnya ya. Kamu jemput aku kan?”
“pasti” dia sepertinya kecewa. “ya udah, sampai ketemu besok”
“daah” aku menutup sambungan telepon lalu melanjutkan membaca buku-buku tebal di hadapanku.
*
“Nas” dia meraih tanganku, memainkan jari-jariku. “aku lagi bingung. Jadi…”
Adrian terus berbicara sedangkan aku larut dalam buku bacaanku. Buku ini akan sangat membantuku menyelesaikan karya tulis.
“kamu nggak dengerin, ya?” aku menoleh. Adrian sudah menatapku tajam.
“denger kok” dustaku.
“tapi kenapa responnya Cuma ‘hmm’ atau ‘terus’?” dengusnya.
“maaf ya, Ian. Sebenernya aku lagi konsen baca buku ini. bagus banget buat referensi karya tulis aku” aku memperhatikan sampul buku yang sedang kubaca.
“kenapa sih buku terus?!” dia melepaskan tanganku dari genggamannya. “aku lagi butuh kamu buat dengerin ceritaku, Nas. Aku lagi ada masalah”
“bukan Cuma kamu aja yang lagi ada masalah. Aku juag. Kalau aku nggak bisa menangin lomba karya tulis ini, aku gagal dapet beasiswa ke luar negeri”
“aku tahu, tapi aku Cuma minta sedikit waktu buat dengerin aku” suaranya meninggi.
“Ian, pas kamu nembak aku, kamu bilang hubungan kita nggak akan pernah ganggu waktu belajar aku. Tapi lihat sekarang?!”
“jadi kamu pikir aku ganggu kamu?!”
“prestasi itu segalanya buat aku. Aku nggak mau Cuma gara-gara pacaran sama kamu, prestasi aku di sekolah menurun”
“oke. Kalau menurut kamu aku nggak penting” Adrian beranjak dari tempat duduknya. “urusin aja buku-buku kamu. Aku nggak bakal ganggu”
Dia pergi meninggalkanku begitu saja.
*
Beberapa hari ini, aku sibuk mengerjakan karya tulisku. Aku dan Adrian masih belum saling bicara. Dia sepertinya masih marah padaku tapi aku hampir tak punya waktu untuk memikirkannya. Karya tulis ini hampir membuatku gila.
Jarum jam tanganku sudah menunjuk ke angka dua. Berarti aku sudah menghabiskan satu jam di perpustakaan ini. aku segera membereskan barang-barangku karena aku harus segera berangkat ke tempat bimbingan belajar. Saat memasukan ponselku, aku baru ingat kalau sudah beberapa hari ini Adrian tak menghubungiku sama sekali. Padahal biasanya, sesibuk apapun dia selalu sempat meneleponku sebelum tidur.
Ah, aku merindukannya.
Saat berjalan ke gerbang sekolah, aku melihat Adrian sedang duduk di salah satu kursi pinggir lapangan sambil menunduk. Martha duduk disampingnya. Dia mengelus pelan punggung Adrian lalu menyandarkan kepala di bahunya. Apa-apaan ini?!
Mataku memanas melihatnya. Apanya yang tak dekat?! Mereka jelas terlihat lebih dari sekedar teman.
Aku berjalan cepat menghapiri mereka sambil berusaha setengah mati menahan air mataku.
“kalian ngapain berduaan disini?” suaraku bergetar saat mengatakannya.
Adrian menatapku dengan tatapan dinginnya.
“tanya aja sama Adrian” Martha tersenyum sombong. Jabatannya sebagai ketua ekskul dance membuatnya menjadi salah satu cewek paling populer di sekolah. Tapi dia sama sekali tak ramah seperti Adrian.
“jawab aku, Adrian!” aku berteriak.
Adrian berdiri, mendekatkan tubuhnya padaku hingga hidungnya dan hidungku hampir bersentuhan. Sorot matanya masih tajam.
“sejak kapan kamu peduli sama urusanku, Natasha?”
Natasha? Dia tak pernah memanggilku dengan nama Natasha lagi sejak dia memanggilku ‘Nanas’
“pacar kamu kan buku-buku dan nilai-nilai A+ kamu itu”
“maksud kamu apa?” aku balik menatapnya tajam.
“aku selalu ngalah setiap kamu lebih mentingin PR, tugas, atau belajar. Aku nggak papa. Tapi beberapa hari yang lalu aku butuh kamu, bener-bener butuh kamu. Tapi apa kamu peduli? Kamu lebih milih karya tulis sialan itu kan?!”
“tega banget kamu ngomong kayak gitu!” emosiku meluap. Beraninya dia menghina karya tulis yang kubuat dengan susah payah.
“kenapa sih kamu terobsesi banget selalu jadi yang nomor satu?! Hampir seluruh waktu kamu dipake buat belajar”
“memang harusnya kayak gitu kan?! Kita masih pelajar, kewajiban kita memang Cuma belajar”
Adrian mengacak rambutnya sendiri dengan frustasi. “susah ngomong sama maniak belajar”
Hatiku terasa remuk. Dia bukan lagi Adrianku yang dulu.
“kalau gitu kita udahan aja” ucapku, berusaha setegas mungkin. “aku memang lebih milih karya tulisku daripada kamu, si ketua futsal sok ganteng dan nggak setia”
Mata Adrian menyipit. “oke. Kita putus. Aku juga capek sama si juara umum sok pinter kayak kamu”
“ayo, kita pulang” dia berjalan meninggalkanku. Aku bisa melihat Martha tersenyum sinis sebelum mengamit lengan Adrian.
Hanya satu hal yang ingin kulakukan sekarang. Menangis sepuasnya.
*
“Tasha” Mama mencium rambutku. Sejak tadi siang aku terus menangis terisak sambil berbaring diatas tempat tidurku. Aku bahkan bolos dari bimbingan belajar, sesuatu yang tak pernah kulakukan sejak SD.
“kata mbak Rin, kamu nangis dari siang. Nggak mau makan. Kenapa?”
Aku menggeleng pelan. “aku nggak papa, Mama”
“berantem sama Adrian ya? Kalau pacaran memang kayak gitu, nggak bisa selalu akur” aku tersentak. Aku belum memberi tahu Mama dan Papa kalau aku dan Adrian pacaran.
“bukan kok. Aku Cuma lagi bingung soal karya tulis. Kayaknya aku nggak sanggup terusin lagi deh” aku tak mau ketahuan menangis karena cowok di depan Mama.
“kalau memang udah nggak sanggup, jangan dipaksain, sayang” Mama mengambil sisir lalu menyisir rambutku.
“dari dulu, Mama dan Papa nggak pernah maksa Tasha untuk selalu jadi juara. Mama dan Papa memang bangga, tapi kami juga nggak mau bikin Tasha tertekan karena belajar. Tasha juga boleh nikmatin masa remaja. Main sama temen-temen, jalan sama Adrian, atau bolos sehari dari semua les buat me time. Tapi jangan keseringan ya”
“Mama nggak marah kalau aku nggak jadi ikut lomba karya tulis dan gagal dapet beasiswa ke Jepang?”
Mama mengangguk. “justru Mama marah kalau Tasha sedih kayak gini. Lakuin apapun aja yang bikin Tasha bahagia. Soal kuliah, kalau memang Tasha memang mau kuliah di luar negeri, Mama dan Papa udah siapin biayanya. Tasha nggak usah pusing nyari beasiswa lagi”
Aku langsung memeluk Mama dengan erat. “makasih ya, Ma. Tasha sayang banget sama Mama”
“Mama juga sayang Tasha” Mama mencium keningku.
“oh iya, Ma. Ada satu lagi”
“apa?”
“Mama nggak marah kalau aku pacaran sama Adrian?”
Mama tertawa kecil. “dia cute, baik, sopan, dan perhatian banget sama Tasha. Kenapa Mama harus marah?”
*
Hari ini aku tak pergi ke sekolah dengan alasan sakit. Mama mengambil cuti dari kantornya untuk menamaniku dan Papa juga berencana pulang lebih cepat dari kantor siang ini. Mereka selalu seperti ini setiap aku sakit. Aku sangat bersyukur mempunyai orang tua yang sangat peduli padaku.
“Tasha masih pusing?” tanya Mama sambil mengelus keningku.
aku menggeleng. “aku udah ngerasa sehat banget, Ma. Oh iya, aku sebenernya pengen keluar sebentar, boleh nggak?”
“mau kemana? Kalau mau makan diluar atau ke toko buku, kita tunggu Papa pulang ya, supaya bisa pergi sama-sama”
Aku menggeleng lagi. “aku mau ke rumah Adrian. Mau minta maaf sama dia”
“tuh kan, lagi berantem” Mama mengulum senyum.
Aku mengangguk malu-malu.
“gimana kalau ke rumah Adriannya sambil bawa cake?” tawar Mama.
“mau!”
*
Setelah membuat kue bersama dan menyiapkan diri, aku berangkat ke rumah Adrian. Mamaku memang sangat pandai membuat kue, semua kue buatannya selalu jadi favoritku. Aku yakin Adrian akan menyukai tiramisu yang kubawa untuknya ini.
Aku menekan bel rumah Adrian. Suasana rumahnya tak sehening biasanya. Adrian hanya tinggal bersama papanya. Mamanya sudah meninggal sejak dia masih kelas tiga SD dan kakaknya yang kuliah di ITB ngekost di Bandung.
Aku terkejut saat yang membukakan pintu bukan Adrian, tapi seorang cowok tinggi berwajah tampan yang cukup mirip dengan Adrian. Siapa dia?
“hai” suara bariton cowok itu membuyarkan lamunanku. “nyari siapa ya?”
“aku Nat…eh, Nanas. Temennya Adrian”
Cowok itu tersenyum penuh arti saat mendengar namaku. “oh, jadi lo yang namanya Nanas”
Apa sih yang Adrian ceritakan pada cowok ini tentang aku? Dan, ya ampun, siapa dia?
Seolah bisa membaca pikiranku, dia mengenalkan dirinya. “gue Arlan, abangnya Adrian”
Oh. Aku manggut-manggut. Ini pertama kalinya aku bertemu abangnya Adrian. Adrian bilang, abangnya itu memang jarang pulang ke rumah karena sibuk kuliah.
“ayo, masuk” aku mengikuti langkahnya ke dalam rumah dan melihat ada tiga cowok lainnya yang sedang bermain xbox di ruang TV
“gila! Cewek lo bening banget, nyet!” ujar salah satu dari mereka sambil tersenyum padaku.
“katanya nggak doyan ABG, tapi yang cantik tetep lo gebet juga” ledek yang lainnya.
“ceweknya si Adrian” jawab kak Arlan, datar. Dia lalu mengalihkan pandangannya padaku. “Adrian lagi beli makan. Lo nunggu di kamarnya aja, nggak papa ya? Kalau disini lo bisa digangguin setan-setan itu” dia menunjuk teman-temannya.
Aku tertawa kecil. “nggak papa, kak”
*
“untung lo dateng sekarang, Nas. Gue udah males banget lihat si Adrian kayak mayat hidup” ujar kak Arlan sambil membukakan pintu kamar Adrian.
“mayat hidup?” aku mengerutkan kening.
“kemarin dia kacau banget. Menyendiri di kamar, nggak makan, nggak minum, nggak ngomong apa-apa. Gue kira alasannya karena dia keluar dari tim futsal, ternyata karena dia nggak bisa berhenti mikirin lo dan nyesel kenapa dia setuju waktu lo minta putus”
“Adrian keluar dari tim futsal?!” mataku melebar. Dia sangat mencintai timnya. Dia tak mungkin keluar!
“eh, dia belum cerita ya?” kak Arlan terlihat bingung. “ya udah, gue ke bawah dulu ya. Biar dia aja yang cerita nanti”
Setelah lima menit menunggu, aku mendengar suara langkah kaki terburu-buru. Beberapa saat kemudian aku melihat Adrian di ambang pintu dengan napas terengah-engah.
“hai, Ian” sapaku, ragu-ragu.
Dia langsung menghampiriku. “maafin aku, Nas. Aku udah kacauin semuanya. Hati kamu, hubungan kita” suaranya terdengar berat.
“kenapa kamu keluar dari tim futsal?” aku tak mempedulikan ucapannya tadi.
“ada salah paham di tim, panjang ceritanya. Itu yang sebenernya mau aku ceritain ke kamu beberapa hari yang lalu” jawabnya, sedih. “tapi masalahnya udah selesai kok, walaupun aku tetep keluar dari tim”
“kalau gitu, aku yang harusnya minta maaf” aku menatapnya. “harusnya aku luangin waktu buat denger cerita kamu, tapi aku terlalu egois. Aku Cuma mikirin masalahku sendiri”
Dia berlutut di hadapan kursi yang sedang kududuki lalu menggenggam kedua tanganku. “Nanas, aku sayang kamu. Aku nggak mau kita putus. Kamu harus percaya, nggak ada apa-apa antara aku sama Martha. Waktu itu aku lagi pusing banget. Aku lagi punya masalah sama temen-temen satu timm, dan nggak ada satu orang pun yang bisa aku ajak cerita. Papa masih di luar negeri, bang Arlan lagi sibuk UTS, kamu juga lagi sibuk bikin karya tulis. Cuma Martha yang bisa dengerin aku. Aku juga deket-deket sama dia Cuma buat bikin kamu cemburu. Jangan marah, ya?”
“aku nggak marah, Ian. Aku juga nggak mau kita putus” aku tersenyum padanya.
“aku masih pacar kamu?”
“selama kamu masih panggil aku Nanas, iya”
Adrian mendekatkan wajahnya padaku lalu menggesek-gesekan hidungnya ke hidungku.
“I love you, Nas” bisiknya, lembut.
Aku tersipu melihat matanya menatapku penuh sayang. “I love you too”
Lalu aku menyadari bibirnya mulai mendekati bibirku.
“Ian, cewek lo nggak lo ambilin min…”
Adrian langsung menjauhkan wajahnya dariku saat melihat kak Arlan sudah berdiri di ambang pintu dan menatap kami dengan geli.
“kalau mau ciuman, tutup pintu dulu kali. Dasar ABG” kak Arlan tertawa lalu meninggalkan kami berdua yang salah tingkah.
“err…aku…” Adrian menggaruk tengkuknya. Wajahnya tersipu.
“mau tiramisu?” aku menunjukan kotak bekal yang kubawa. Dia mengangguk senang.
“suapin ya?” pintanya, manja.
“yang cewek kan aku. Harusnya aku yang minta disuapin” aku tak mau kalah.
“gentian aja ya”
*