Oct 14, 2014

Penggalauan

Mungkin semua memang berjalan sesuai cerita. Dan aku dan kamu, ditakdirkan dalam cerita yang berbeda. Tak bisa bersatu, dan memiliki akhir cerita yang berbeda pula. Aku berjalan di sisi kanan, kau disisi kiri. Selalu bersebrangan. Kita takkan menjadi sebuah kesatuan

Aug 15, 2014

cerpen: friendshit!

friendshit!

“jadi.. mau ngomongin apa, Bel?”
“uumm.. apa ya?”
“kok, apa ya? Kan lo yang ngajakin”
Huh, aku bingung mau ngomongin apa lagi sama Aga. Udah sering banget kita berdua ada di situasi kayak gini: duduk berdua di starbucks sambil ngobrolin hal-hal kecil, kadang yang gak penting. Bukan, aku bukan lagi ngedate sama Aga. Aku disini karena Kenya, pacarnya Aga + sahabatku sejak SD lagi ngedate sama cowok lain. Namanya Gio, eh bukan… Gani, atau Geri, ya? Ah, ya , pokoknya itu deh. Kenya kebanyakan cowok, sih. Aku sampai lupa yang mana gebetan barunya. Dan, aku tahu kalau nemenin Aga disini supaya Kenya bisa ngedate sama cowok lain tanpa ke gap sama Aga itu salah banget, sama aja aku nyakitin Aga juga. Tapi ini Kenya yang minta. Kenya kan sahabatku. Eh, sahabat?
            “gimana, Bel? Udah inget mau ngomong apa?” tanya Aga lagi. Aduh, Aga ini baik banget. udah hampir satu jam kita diem-dieman, tapi dia masih sabar nungguin aku nyari bahan obrolan. Senyum juga gak pernah lepas dari wajahnya. Aku, jadi merasa bersalah…
            “iya udah, udah kok” jawabku cepat. “hhmm.. gini, lo kan jago banget main saxophone. Gue tertarik pengen belajar juga. Lo bisa gak, kapan-kapan ajarin gue?” kata-kata itu tiba-tiba saja terlitas di otakku. Padahal aku gak minat belajar saxophone sama sekali.
            “oh, itu.. kirain apaan” Aga tertawa kecil. “boleh banget lah, ntar kalau gue lagi free gue kabarin lo, ya? Oh ya, ngomongin soal saxophone…” dari situ obrolan kita soal saxophone mulai memanjang. Dari soal pemainnya sampai komunitas-komunitasnya. Akhirnya, ‘misi’ku berhasil.
*
            Aku masih gak habis pikir. Kenapa setelah punya Aga yang nyaris perfect dan idaman semua cewek di sekolah, Kenya masih aja nyari cowok lain. Padahal apa kurangnya Aga? Kapten basket, anak band yang bisa mainin hampir semua alat musik, sering jadi juara umum, anak orang kaya tapi gak sombong, dan kalau soal ganteng, jangan ditanya lagi. Kalau diibaratkan boneka, Aga itu Ken pacarnya Barbie. Ganteng, tinggi, atletis, semuanya lengkap.
Tapi Kenya juga memang cantik dan langsing persis boneka Barbie, modis, populer, anggota tim cheers, perfect juga. Gak aneh kalau banyak banget cowok yang ngantri jadi pacarnya Kenya, sekalipun Kenya udah punya pacar. Ya, kayak sekarang ini. Ada cowok yang lagi PDKTan sama Kenya, yang namanya.. namanya.. Gio, Gani, atau Geri, ya?
“Abeell sayang..!!” seru Kenya berseri-seri sambil memelukku.
“kenapa sih? Seneng banget kayaknya” aku menanggapinya datar sambil terus membaca novel Adriana yang kemarin dipinjamkan Aga.
“seneng dong!! Gue kan baru.. jadian.!!!” Senyum berseri-seri kembali terkembang di wajah Kenya.
“jadian? Lo kan udah punya Aga” harusnya aku gak kaget. Bukan pertama kalinya Kenya kayak gini. “Kok lo jadian lagi sama.. siapa namanya? Gio, ya?”
“bukan Gio, lo salah denger. Genta, namanya Genta, temen SMP kita dulu, anak XI IPS 4.” Kenya membenarkan.
Genta? Kali ini aku gak mungkin salah dengar. Kenya baru aja jadian sama Genta, Genta, Genta!! Arrggh…
“Ge.. Genta? Kok bisa sama dia?”
“abis, Genta ganteng banget, cool, tajir, terus romantis banget lagi. Dia suka banget sama gue, mana bisa gue nolak cowok yang kayak gitu coba”
“tapi, kan lo tahu kalau gue…” aku menunjuk diri sendiri.
“suka sama Genta sejak SMP? Gue tahu, tapi… wake up, Abel!! Genta itu sukanya sama gue. Kenal sama lo aja enggak. Jadi sementara lo masih belum berani kenalan sama Genta, gue dulu yang pacaran sama dia, oke?”
Aku gak percaya. Kenya bisa setega itu. Dia tahu banget kalau sejak SMP aku suka banget sama Genta, Genta cinta pertamaku. Tapi, sekarang dia jadian sama Genta!! Tanpa merasa bersalah sama sekali, tanpa peduli sama perasaanku, sahabatnya sendiri.
“gue latihan cheers dulu ya, Bel. Ntar kita pulang bareng, ya” Kenya meninggalkanku ke luar kelas. aku cuma bisa terdiam, sambil menahan air mata.
*
Genta itu cinta pertamaku. Aku, Genta, dan Kenya pernah duduk di sekolah dan kelas yang sama saat SMP. Genta pintar, dia dan aku dulu masuk di klub sains yang sama. Genta ganteng banget, aku paling suka saat melihatnya tersenyum dengan kawat gigi menghiasi giginya. Genta hobi olahraga, aku tahu dia selalu dapat nilai tertinggi saat pelajaran olahraga. Genta baik, aku pernah dia tolong saat buku-buku yang kubawa jatuh. Genta… sekarang jadi milik Kenya, sahabatku.
Sejak dulu Kenya tahu betapa aku tergila-gila sama Genta. Aku sering curhat tentang Genta, jadi secret admirernya Genta, semua yang aku rasakan sama Genta, Kenya pasti tahu. Ya, dia tahu. Dan kenapa Kenya tega jadian sama Genta sedangkan  dia tahu kalau sahabatnya ini jatuh hati mati-matian sama Genta?
Aku tahu kalau aku gak secantik dan sepopuler Kenya. Aku cuma cewek biasa anggota KIR yang kutu buku dan hobinya ke perpustakaan. Rambutku yang lurus hitam sebahu, nggak lebih bagus dibanding rambut panjang Kenya yang selalu terlihat cantik berkat catokan andalannya. Baju-bajuku gak lebih bagus dari baju-baju modis dan brandednya Kenya. Tapi kalau soal otak, otakku lebih ‘branded’ dari otak Kenya. Kenya yang malas mengerjakan tugas, biasanya memohon-mohon padaku agar aku mau membuatkan tugas atau PRnya. Aku mau, karena dia sahabatku. Tapi, belakangan ini aku merasa kalau Kenya selama ini memanfaatkanku untuk mengerjakan semua tugas dan PRnya. Hhmm..
Semua murid di kelas tadi diberikan masing-masing seekor katak untuk jadi bahan percobaan, dan hasilnya dikumpul besok. Aku tahu, sebentar lagi Kenya bakal bilang…
“Bel, gue boleh minta tolong, gak?”
“minta tolong apa?”
“tolong kerjain tugas percobaan Biologi gue, ya? Soalnya gue sibuk banget, nih. Pulang sekolah gue harus ke salon, shopping bentar, terus dinner deh, sama Genta” kata Kenya sambil membawa seekor katak dalam kotak transparan dengan ujung jarinya, mungkin karena merasa jijik sama kataknya.
“Tapi, Ken.. gue juga banyak kerjaan lain. Gue juga harus ngerjain tugas gue sendiri”
“Abeell.. lo kan sahabat gue sejak SD. Masa lo gak mau nolongin sahabat lo yang lagi butuh bantuan ini, sih?” pinta Kenya sekali lagi sambil memelas. Sial, kenapa aku selalu gak tega nolak semua permintaan Kenya?
“iya deh, sini kataknya” aku mengambil kotak berisi katak itu dengan hati-hati. Karena jujur, sebenarnya aku takut banget sama katak.
“makasih ya, Bel! Lo itu memang sahabat gue banget” Kenya mencubit pipiku, lalu berjalan ke arah pintu keluar kelas. tapi tiba-tiba berbalik kebelakang sambil melihatku.
“oh ya, satu lagi, Bel..”
“apa lagi?”
“nanti ajakin Aga jalan lagi, ya? Gue gak mau Aga tahu kalau gue mau ngedate sama Genta, oke?”
“hah? Lagi?”
*
Aku -dan kedua kotak berisi katak yang kubawa dengan kedua tanganku- berjalan di belakang Kenya dan Aga yang lagi bergandengan mesra. Huh.. pasangan yang satu ini gak punya perasaan banget. Serasa dunia kayak rumah mereka sendiri, yang lain ngontrak, dan aku… jadi pembantunya.
Sampai di depan pagar sekolah, Kenya menghentikan langkahnya.
“sayang, aku pulang sendiri aja, ya? Aku masih mau ngerjain tugas di rumah” kata Kenya, manis. Bohong banget, tadi dia bilang pulang sekolah mau langsung nyalon.
“loh, kok sendiri? Aku bisa nganter kamu sampai rumah, kok. Kalau perlu, aku bisa bantuin kamu ngerjain tugas” Aga menawarkan.
“gak papa, aku bisa pulang sendiri kok. Bentar lagi supir aku jemput. Mendingan kamu bantuin Abel ngerjain tugas percobaan belah katak. Kasian tahu,  Abel kan phobia sama katak” jawab Kenya. Udah tahu aku phobia katak, kenapa dia malah nyuruh aku buat ngerjain percobaannya juga?
“mendingan kamu jalan sama dia aja, sekarang”
Apa? Sekarang?
Aku langsung menarik tangan Kenya dan berbisik ke telinganya. “kok sekarang, sih? Bukannya gue jalan sama Aga nanti malem? Pas lo lagi dinner sama Genta”
“gue mau jalan sama Gentanya sekarang, Abel. Genta mau nemenin gue nyalon sama shopping. Gue gak mau ngambil resiko kalau-kalau Aga tiba-tiba jalan ke mall, terus ngeliat gue sama Genta”
“terus, lo mau ngorbanin gue gitu?”
“gak ngorbanin, tapi minta bantuan” sangah Kenya sambil menarik tanganku dan berjalan menghampiri Aga. “ayo, kalian berdua cepetan jalan. Biar tugasnya cepet selesai”
“ya udah, Bel. Kita ke parkiran, yuk?”
*
Di dalam mobil Aga yang tertata rapi dengan aroma jeruk dari pengharum mobil, aku mulai berpikir, apa aku harus jujur sama Aga? Tentang Kenya, tentang ‘cowok-cowoknya’ Kenya selain Aga, dan tentang semua kebohongan Kenya. Tapi kalau aku jujur, Kenya pasti marah besar dan gak pernah mau kenal aku lagi.
Aku menatap Aga yang ada di sampingku sambil menyetir mobil. Wajahnya tenang sambil sesekali bersenandung kecil mengikuti alunan lagu dari audio player dalam mobilnya. Kalau aku diam terus kayak gini, sama artinya aku terus nyakitin Aga juga. Aku bingung…
Aku dan Aga sampai di depan rumahku. Aga benar-benar mau membantuku membelah katak-katak tanpa dosa tapi menyeramkan itu untuk tugas biologiku.. dan Kenya.
Semua proses pembelahan katak seratus persen Aga yang mengerjakan. Aku yang ketakutan Cuma bisa berlindung di belakang Aga sambil menulis apapun yang Aga katakan tentang katak itu. Aku tahu Aga pintar, jadi dia gak mungkin salah menyebutkan nama organ tubuh katak itu.
Aga tertawa melihatku yang ketakutan berhadapan dengan katak dan hanya bisa berlindung di belakang punggungnya. “beneran takut sama katak, nih?” Aga menyodorkan katak sialan itu ke arahku. Spontan, aku lari menghidar.
“kalau bohongan, gue gak mungkin lari kayak gini”
Aga menyimpan katak itu kembali ke kotaknya. “lucu, ya?”
Aku langsung menghampiri Aga. “apanya yang lucu? Kataknya? Apa karena gue ketakutan?”
“bukan, tapi…kita” jawab Aga.
“kita?” aku mengerutkan kening, tanda gak mengerti.
“iya, kita. Gue jadian sama Kenya, tapi lebih sering ‘ngedate’ sama lo. Lo bahkan lebih tahu gue ketimbang Kenya. Saat gue butuh tempat buat cerita, Cuma lo yang selalu ada dan siap buat gue” Aga makin menatap mataku dalam-dalam. “makasih buat semuanya, Bel”
Aku membalas senyuman Aga. Kata-kata Aga tadi  membuatku jadi yakin, kalau aku harus jujur sama Aga, secepatnya.
Tiba-tiba, Aga mengelus rambutku sambil menatap mataku dan tersenyum. Aku membeku. Dari sorot matanya, aku tahu dia bukan lagi Aga yang aku kenal. Ada yang berubah. Dan… jantungku jadi berdebar saat menyadarinya.
*
Malam ini, aku mengajak Aga ke sebuah restoran italia mewah di dekat rumah Genta. Ini restoran favorit Genta, dan malam ini Kenya dan Genta ada disini untuk dinner. Biarlah, Aga harus tahu sekarang.
“apapun yang lo lihat nanti, lo harus ngerti kalau gue lakuin semua ini buat kebaikan lo, dan Kenya juga. Maaf ya…” kataku pelan. Aga kayaknya gak ngerti maksud dari omonganku itu. Sampai, dia akhirnya melihat apa yang harusnya dia lihat dari dulu.
“itu Kenya?” kata Aga, lirih. Di ujung sana terlihat Kenya dan Genta duduk berhadapan sambil saling memberikan suapan. Wajah mereka kelihatan bahagia banget. berbanding terbalik dengan ekspresi di wajah Aga. “itu.. itu Genta, kan?”
“iya, itu Genta. Genta gue” jawabku. Disini, bukan cuma Aga yang sakit, aku juga..
Aga langsung menarikku berjalan ke luar restoran dan langsung mengajakku pulang. Hampir setengah perjalanan dia habiskan dengan diam. Sampai aku yang memulai bicara.
“Ga, maaf ya kalau gue udah bikin lo jadi sakit hati gini. Tapi gue harus bilang, kalau selama ini gue ngajak lo jalan, nemenin lo, atau bantuin lo, itu semua karena Kenya yang minta. Supaya gue bisa ngalihin perhatian lo, dan Kenya bisa jalan sama.. sama cowoknya yang lain. Maaf ya, Ga” aku mulai menceritakan semua tentang pacar-pacar Kenya selain Aga.
“gue nggak ngerti apa yang ada di pikirannya Kenya. Selama ini dia duain, tigain, empatin gue!! Padahal gue selalu ada buat dia” keluh Aga. “dan sekarang dia sama Genta. Padahal dia sering cerita kalau lo suka banget sama Genta. Iya, kan?”
Aku menarik napas panjang. “iya, gue suka banget sama Genta, Ga.. tapi gue juga tahu diri. Gue gak mungkin bisa nyaingin Kenya yang perfect itu. Gue gak punya kelebihan”
“gak gitu, Bel. Gue tahu kalau selama ini lo selalu bantuin Kenya dalam hal apapun. Ngerjain semua tugas dan PRnya, bantuin dia bawain barang pas shopping, sampai bantuin dia supaya bisa jalan sama cowok-cowoknya yang lain tanpa gue tahu. Lo itu baik banget, gue tahu lo lakuin semua ini karena Kenya sahabat lo. Bilang sama Kenya, kalau dia gak bisa nyuruh lo seenaknya”
Aku Cuma bisa diam. Sepenuhnya apa yang Aga katakan itu bener banget.
“kalau dia beneran sayang sama gue, dia gak bakal nyakitin gue kayak gini. Sama. Kalau dia juga sahabat lo, dia gak mungkin nyakitin lo kayak gini”
“besok gue putusin dia”
*
“maksud lo apaan, sih? Ngapain ngajak Aga tempat dinner gue sama Genta? Biar Aga tahu kalau gue ngedate sama Genta? Jawab!!” bentak Kenya kepadaku, di depan semua anak di kelas. Aku yakin, tadi pagi Aga udah cerita semuanya ke Kenya.
“gue Cuma ngelakuin apa yang menurut gue bener aja, kok”
“yang bener? Iya, sekarang gue diputusin Aga!! Puas, lo!! Ini kan yang lo mau, ngehancurin reputasi gue? Dasar penghianat!!” kemarahan Kenya makin menjadi-jadi.
Aku udah habis kesabaran. Aga bener, aku gak bisa diam terus. Harus bilang. “cukup ya, Ken. Gue udah capek sama lo! Selama kita kenal, lo gak pernah nganggap gue sahabat kan? Lo Cuma manfaatin gue saat lo butuh. Ngerjain PRlah, bikin tugas lah, bawain barang lah, semuanya harus gue yang bantu. Lo gak pernah ngerti perasaan gue, gak pernah peduli sama gue. Lo tetep ngasih tugas lo ke gue tanpa peduli gue phobia kodok dan yang terparah, lo tetep jadian sama Genta tanpa peduli kalau gue sayang banget sama Genta. Lo jahat, Ken!”
“gue bukan sahabat lo, gue cuma asisten lo! Karena kalau lo sahabat gue, lo nggak mungkin nyakitin gue kayak gini..”
“gue pergi, Ken..” aku berjalan keluar kelas, meninggalkan Kenya berdiri mematung tanpa berkata apapun.
*
 2 minggu setelah pertengkaran hebatku dengan Kenya, kami masih saling diam. Duduk di bangku yang berjauhan walaupun kami ada dalam satu kelas. Menjauh dari Kenya yang level kepopulerannya lebih dariku memang akan lebih baik. Oh ya, satu lagi. Sejak putus dari Kenya, Aga malah lebih sering ngajak aku jalan, oh, mungkin kali ini aku bisa bilang ‘ngedate’
“gimana rasanya ngedate ‘beneran’ sama gue? Seru, kan?” tanya Aga saat kita berdua duduk di sebuah cafĂ© dekat sekolah.
“hhmm.. lumayan lah. Tapi lebih seru waktu acara belah katak, sih. Lebih ekstrim” aku menjawab sambil tertawa.
“sadis juga ya, lo hahaha..” Aga tertawa kecil, tapi tawanya perlahan hilang dan ekspresi wajahnya jadi serius. “lo sadar gak, sih? Selama ini kita temenan, deket, ngobrol, ketawa-ketawa, cerita-cerita kayak gini. Nyambung banget, ada chemistrynya”
“iya sih, terus?”
“gak ada niat buat lebih jauh?”
“maksudnya?”
“upgrade status. Dari ‘temenan’ jadi.. ‘pacaran’. Mau?”
“kalau lo mau… gue mau”
“jadi resmi ya, kita jadian sekarang” Aga tersenyum lebar. Aku menjawabnya dengan anggukan sambil tersenyum.
*
Hari ini Aga janji bakal datang ke rumahku setelah selesai latihan band. Kita berdua mau ngedate, tapi di rumah aja sambil nonton DVD.
Bel rumahku berbunyi, pasti itu Aga. Aku semangat membukakan pintu. Dan ternyata yang datang bukan Aga, tapi… Kenya!!
“Kenya?”
Tanpa basa-basi, Kenya langsung memelukku erat. “Abel, maafin gue, ya? Gue sadar selama ini gue salah banyak sama lo. Cuma manfaatin lo, gak pernah peduliin perasaan lo, gue egois banget, gue jahat Bel!!” tangis Kenya mulai pecah. “gue juga udah putus sama Genta, karena kalau sama Genta, gue inget sama lo terus”
“Kenya, sebenernya gue udah maafin lo dari dulu. Gue menghindar karena gue agak minder sama temen-temen baru lo yang populer itu. Dan kalau lo mau, lo bisa pacaran sama Genta, gue gak papa. Gue kan udah punya Aga”
“Bel, lo gak perlu minder sama temen-temen baru gue. Lo tetep sahabat terbaik gue, kok. Dan mulai detik ini gue janji kalau gue akan memperlakukan lo sebagai sahabat, beneran sahabat, my bestie” Kenya tersenyum. Aku dan Kenya berpelukan sambil tertawa.
“oke, kita udah baikkan. Terus, acara kita selanjutnya apa nih?”
“hhmm.. nonton DVD!! Yuk, masuk ke dalem. Kita nonton DVD sepuasnya!!” aku menggandeng tangan Kenya ke dalam rumah.

Selesai.

Jun 15, 2014

Happy father's day!!

Bapak...
Bersamaan dengan surat ini aku ingin mengucapkan terima kasih karena telah memeluk dan menciumku tadi malam. Rasanya aku "menemukan" lagi bapak yang dulu. Bapak yang selalu ada untukku, nememaniku di siang dan malamku
Waktu berjalan begitu cepat ya, Pak. Aku tumbuh dewasa dan mulai memikirkan duniaku sendiri. Begitu juga bapak yang harus bekerja makin giat untuk membiayai kehidupan ibu, aku, kakak, dan adik-adik yang semakin beranjak dewasa. Menurutku, bapak terlalu sibuk bekerja. 24 jam mencari tanpa henti mencari rezeki. Kalau ada waktu luang, bapak menyempatkan diri untuk mengajakku dan adik-adik untuk pergi jalan-jalan. Bapak hampir tak punya waktu untuk diri sendiri, untuk membahagiakan diri sendiri. Jadi aku harap, nanti bapak bisa meluangkan sedikit saja waktu bapak untuk menikmati hidup, menikmati apa yang bapak sukai.
Aku ingin melihat bapak senang, itu saja harapanku. Aku ingin mewujudkan apa saja yang bapak mau. Mungkin menjadi mahasiswi ITB seperti harapan bapak masih berat untuk aku realisasikan. Aku juga tak tahu apakah mimpi bapak melihatku lulus dan jadi sarjana lulusan ITB bisa aku wujudkan atau tidak. Tapi aku selalu mencoba, Pak. Cuma itu yang aku bisa. Berusaha mewujudkan apa yang bapak mau. Semoga di ulang tahun bapak yang kesekian nanti, aku bisa menghadiahkan gelar sarjana yang kubawa dari ITB
Pak, sampai disini saja suratku ya. Aku memang bukan seorang penulis handal, kata-kata dalam suratku ini mungkin tak sebagus tulisan di buku-buku yang biasa bapak baca. Tapi semoga bapak suka ya. Aku menulisnya karena aku sayang bapak, kemarin, sekarang, dan sampai kapanpun.
Dan, selamat hari ayah!!

Salam manis,

puteri kedua bapak

May 18, 2014

Kehilangan

Kehilangan itu... Sesuatu yang sangat aku hindari, yang sangat aku harapkan takkan terjadi padaku. Kehilangan kamu itu... Entahlah, aku sulit menjabarkannya. kehilangan kamu sudah membuat otakku berhenti berpikir. Pertanyaanku hanya ada satu. KENAPA? Kenapa kamu pergi saat aku benar-benar mengharapkan kamu? Ah, aku tahu. Harusnya aku tak sepanik ini saat kehilangan kamu. Aku bukan siapa-siapa. Dan mungkin suatu hari nanti kamu juga akan lupa siapa aku. perubahan adalah hal yang pasti terjadi dan selalu ada hikmah atas semua perubahan yang menyakitkan. Mungkin ini cara tuhan agar aku tak jatuh hati kepada kamu, karena kamu... Memang bukan untukku

Mar 17, 2014

MEANDIKEN : a novel project written by Ayu Indira Dewayani

lagi pengen beli buku, tapi masih bingung buku apa yang enak buat dibaca?
kalau gitu, kamu harus nyoba baca sebuah novel berjudul MEANDIKEN ini

kenapa harus novel ini? oke, karena yang pertama ini novel karangan saya sendiri (iya, saya  memang narsis) yang kedua, karena novel ini punya cerita yang ringan khas anak remaja, cocok untuk kamu-kamu yang berjiwa muda (jadi itu artinya kalau kamu nggak suka cerita di buku ini, berarti kamu berjiwa tua). ini dia sinopsisnya:

ini cerita tentang tentang 4 sahabat. Mel, si tomboy yang menjabat sebagai ketua majalah dinding. Bian, si cewek feminim yang jadi model di salah satu majalah remaja.ada Dina,si cewek manis anggota OSIS yang ramah tapi klemer-klemer. dan Niken, cewek jenius berkacamata tapi agak-agak lemot kalau diajak ngobrol.
Semuanya tampak indah.  Curhat-curhatan, ketawa-ketawa, jalan- jalan ke mall, pulang sekolah bareng, sampai main ke rumah salah satu dari mereka. Tapi memang hidup ini gak dirancang buat sekedar “have fun” doang. satu persatu masalah akhirnya mulai mengambil peran dalam hidup mereka. Cinta segitiga yang menyeret nama Mel dan Niken, tentang kerja part time-nya Dina, musuh “cabe rawit” nya Bian, sampai tentang Jani, si murid baru songong yang terobsesi banget sama pacarnya Dina. Dan saat itulah  mulai ada kata “saling membohongi” dalam persahabatan mereka yang nyaris tanpa cela sejak pertama kali dimulai. Bisa nggak ya, mereka lewatin itu semua? 

nah, gimana? tertarik? kalau gitu yang sekarang harus kamu lakuin cuma mengarahkan mouse kamu ke arah link ini -> http://nulisbuku.com/books/view_book/5050/meandiken klik link-nya. lalu cepat beli si MEANDIKEN ini untuk menambah koleksi buku-buku di rumah kamu.

 selamat membeli :)

yang nulis MEANDIKEN

Feb 14, 2014

curhat: kuliah

Kali ini gue akan sedikit bercerita tentang hal sensitive yang selalu menjadi pusat kegalauan gue setiap saat. Bukan, bukan soal cinta-cintaan. Tapi soal KULIAH. Ya,menurut gue  kuliah merupakan salah satu titik terpenting dalam hidup. Gue gak mau melewatkannya dengan percuma atau kurang efektif. Gue bercita-cita kuliah di universitas negeri yang, gak perlu beken, tapi kualitasnya bagus.
Sejak duduk di bangku SD, gue bahkan sudah menentukan universitas mana yang gue impikan untuk menggantungkan cita-cita disana. Ada banyak pilihan universitas, mostly ada di kota Bandung. Gue sebutin yang jadi top 2
Pertama, gue memilih Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan jurusan teknik sipil atau teknik arsitektur. Cita-cita gue sejak kecil adalah menjadi arsitek, dengan masuk ITB tentunya cita-cita itu akan semakin dekat. Tapi, mimpi itu terputus sejak orangtua gue bilang kalau arsitek adalah pekerjaan yang tidak menjanjikan di zaman modern seperti ini dan sangat tidak cocok dengan manusia seperti gue yang bertipe pasif (gue gak ngerti apa yang mereka maksud dengan tipe “pasif” dan gue juga gak ngerti apa hubungannya dengan arsitek) jadilah, mimpi itu perlahan gue tinggalkan. Selain karena arsitektur udah gak memungkinkan, ITB juga dihuni oleh manusia-manusia jenius dengan kemampuan otak yang pasti diatas gue. Dan sebenernya, sampai sekarang orang tua gue gak pernah tahu kalau gue sebenernya memang bener-bener pengen masuk ITB, bukan cuma bercanda.
Kedua, gue akhirnya menjatuhkan pilihan pada Universitas Padjajaran (UNPAD) dengan pilihan jurusan hukum atau ekonomi. Ini bisa dibilang banting setir banget. dari arsitektur dan sipil yang berkiblat ke ilmu pasti, gue menggantinya dengan hukum dan ekonomi yang lebih berkiblat ke ilmu sosial. Gue suka IPA, tapi belakangan gue menyadari kalau IPS ternyata seru juga untuk dipelajari. Gue memilih hukum atau ekonomi, karena kedua bidang itu lapangan kerjanya luas. Karena tujuan gue, dan bahkan setiap orang untuk kuliah itu adalah untuk mendapat pekerjaan. Semakin banyak lapangan kerja, semakin terbuka lebar kesempatan gue untuk bisa kerja. Awalnya orangtua gue mendukung niatan gue masuk UNPAD. Dan setelah gue sangat mantap mau masuk UNPAD, orang tua gue tiba-tiba melarang dengan alasan biaya kuliah dan biaya hidupnya yang mahal. Kampret memang, kenapa gak bilang dari awal kalau gak bisa? Tapi, gue akhirnya mengerti maksud mereka. mereka orang tua gue, gue sayang mereka sampai mati dan tujuan utama gue dapet tempat kuliah yang bagus adalah pengen mereka bisa bangga.
Dan ditengah keputus asaan gagal kuliah di UNPAD, bokap gue membuat sebuah tantangan. Kalau gue bisa lulus SNMPTN dan bisa melawan phobia lebay gue terhadap hewan bernama anjing, bokap menjanjikan gue kuliah di UNPAD. Soal biaya, biar beliau yang memikirkan gimana caranya. Waw, semangat gue langsung terbit lagi. Gue percaya bokap gue gak akan ingkar janji. Gue menyanggupi tantangannya.
Sejak saat itu, hari-hari gue dipenuhi dengan perjuangan masuk UNPAD dan sampai hari ini masih berjalan. Tapi kalau boleh jujur, dari lubuk hati yang terdalam, gue masih mengharapkan cita-cita kecil gue untuk dapet gelar sarjana dari arsitektur ITB dan bekerja sebagai arsitek (ya, gue memang labil) ya, bahasa jayusnya sih: hati kecilku masih mengharapkanmu, tapi orangtuaku tak setuju.
Dan, berhubung ini udah mau maghrib dan gue harus ngerjain peer. Jadi  gue harus menyudahi curhatan ini. Terimakasih sudah mau mendengar cerita gue tentang kuliah. Dan semoga di tahun 2015 nanti gue bisa lulus UN dan SNMPTN. Aminn!!

Salam SNMPTN 2015
Dira (calon peserta SNMPTN)


cerpen: orang ke 3 (part.2)

Gue punya 2 cewek sekarang. Raisa dan Maurin. Gue bener-bener nikmatin saat-saat gue bareng Maurin. Maurin sama sekali gak ngebosenin, gue nyaman ada di deket dia. Di waktu yang bersamaan, gue mulai jauh dari Raisa. Di sekolah, gue selalu menghindar dari dia. Semua SMS atau BBM nya gak ada yang gue bales. Semua teleponnya berakhir dengan tombol reject. dan gak tahu untuk keberapa kalinya nyokap gue bilang kalau Raisa datang ke rumah, disaat gue lagi gak ada. Ya, karena setiap Raisa dateng ke rumah, gue lagi jalan sama Maurin.
Dan kedekatan gue dan Maurin mulai bisa terbaca sama Ryan, sahabat gue.
“bro, lo mau sampai kapan kayak gini terus?” tanya Ryan, saat gue dan dia baru aja selesai latihan basket.
“kayak gini gimana?” gue mengerutkan kening.
“gak usah pura-pura gak ngerti gitu lo. Gue tahu kalau antara lo sama Maurin, anak Harapan 2 yang pernah kita wawancarain itu ada sesuatu yang ‘lebih’. Kasih tahu gue, udah sejauh apa hubungan kalian” kata Ryan tegas. Ini anak tahu aja kalau gue punya rahasia. Punya bakat jadi mind reader kayaknya.
“lo tahu dari mana?”
“lo jawab dulu pertanyaan gue!”
“gue udah jadian sama Maurin”
Ryan menggosok-gosokkan telapak tangannya ke wajah seperti orang frustasi. “ceritnya sekarang lo udah jadi playboy? Suka mainin cewek? terus Raisa mau lo kemanain?”
“Raisa..” gue terdiam. “ gue udah gak bisa sama dia. Gue jenuh sama Raisa, Yan. Udah 3 tahun gue ngejalanin yang gitu-gitu aja sama dia”
“lo itu muka doang yang bagus, tapi hati lo nggak. Gue bisa ngerti kalau lo udah bosen sama Raisa. Yang gak gue ngerti itu kenapa lo malah jadian sama cewek lain? Kalau lo udah gak suka sama dia, lo putusin, bukan duain”
“gue gak tega mutusin Raisa”
“sok-sokan gak tega mutusin, tapi lo selingkuh dibelakangannya. Sekarang lo malah nyakitin dia lebih sakit daripada lo mutusin dia” kata Ryan, serius. Gue mengakui kalau apa yang Ryan bilang sepenuhnya bener. “gue kenal banget Raisa, dia cewek yang baiknya kebangetan, gak pernah nyakitin orang lain. sekarang lo malah tega nyakitin dia”
“cepat atau lambat dia pasti bakal tahu juga yang sebenernya. Kalau lo masih punya hati, lo harus secepatnya ngomong jujur sama dia.”
*
Gue sekarang berada dalam posisi yang kejepit. Gue masih belum bisa bilang putus ke Raisa, sedangkan Maurin sekarang mulai menunjukkan sisi menyebalkannya. Setiap menit selalu SMS, dan kalau sekali aja gak dibales dia pasti bakal ngambek. Kemana-mana selalu harus gue yang nganter, kalau gue gak bisa dia pasti ngambek. Dikit dikit minta putus. Maurin ternyata manja, egois, dan nyebelin. Gue baru kenal karakter aslinya sekarang.
“sayang, anterin aku jalan-jalan ya. aku bĂŞte di rumah sendirian” kata Maurin, manja.
“gak bisa, aku banyak tugas buat besok”
“kamu kok gitu, sih? Gak pernah ada waktu buat aku!!” nah, dia mulai ngambek lagi.
“kemarin-kemarin aku selalu ada waktu buat kamu, kamu mau kemanapun aku anterin. Tapi kalau sekarang aku beneran gak bisa, aku harus ngerjain tugas. Maaf, ya”
“kamu memang selalu gitu, gak pernah ngerti aku. Kamu nyebelin!! Aku mau putus!!
Arrgghh.. gue capek ngadepin si drama queen ini.
*
Sebelum pulang ke rumah, gue mampir ke toko buku dulu. Ada buku fisika yang harus gue beli, sekalian juga buat refreshing setelah acara berantem sama Maurin tadi yang bikin kepala gue pusing.
Di kasir, mata gue tertuju ke seseorang yang berjalan ke luar toko buku. Seorang cewek dengan dress pendek bunga-bunga yang sedang kerepotan membawa setumpukan barang. Gue perhatiin lebih deket, cewek itu ternyata Raisa. Gue langsung menghampirinya.
“Raisa?”
“eh, Bima. Kok bisa ada disini?” jawab Raisa sambil mencoba memperbaiki posisi barang-barang yang hampir jatuh dari genggamannya.
“sini aku yang bawa” gue memindahkan beberapa barang dari tangan Raisa ke tangan gue sehingga sekarang bebannya terbagi dua. “ini semua buat apa?” gue melihat isi plastik yang berisi kertas lipat, lem, dan hiasan warna-warni.
“buat anak-anak panti. Jadi hari minggu nanti aku sama temen-temen yang lain mau bikin acara bakti sosial gitu ke panti. Biar acaranya lebih seru, aku mau bikin mainan-mainan gitu buat mereka” Raisa memang seneng banget ikutan kegiatan-kegiatan sosial kayak gini. Gue gak tahu terbuat dari apa hatinya sampai dia bisa jadi sebaik ini.
“kenapa kamu gak bilang sama aku? Biasanya kalau ada acara kayak gini kamu selalu minta aku bantuin”
Raisa menunduk sebentar. “aku kira kamu sekarang kamu lagi sibuk-sibuknya, lagi gak ada waktu buat urusan yang kayak gini. Aku gak mau ganggu kamu, gak mau bikin kamu repot”
“kalau buat kamu, aku selalu ada waktu. Aku bantuin, ya?” gue dan Raisa berjalan ke parkiran.
*
Gue gak jadi pulang ke rumah buat ngerjain tugas. Gue lebih milih ke rumah Raisa buat bantuin dia bikin mainan-mainan origami buat anak-anak panti. Ini buat membayar semua waktu yang Raisa lewatin sendiri tanpa gue. Sekarang gue pengen di deket dia, nemenin dia, dan lakuin apa yang gue bisa buat bantuin dia.
“si Meli udah kangen sama kamu, loh. Kamu sekarang jarang kesini sih” Raisa tersenyum sambil mengelus bulu kucing Persia abu-abu yang tidur di sebelahnya itu.
“si Meli atau kamunya yang kangen?” gue melirik jahil.
“dua-duanya, sih” Raisa tersipu malu. “aku sering nyariin kamu, tapi kamu gak pernah ada. Tiap aku dateng ke rumah kamu, pasti kamu lagi gak ada. Jadinya tiap kesana aku curhat-curhatan sama mama kamu, deh” Raisa deket banget sama nyokap gue. Mungkin karena selama ini nyokap gak punya anak cewek, dia sering bilang kalau dia pengen banget punya anak cewek kayak Raisa.
“maafin aku, ya. aku sibuk sendiri”
“gak papa. Aku ngerti kok, kalau sekarang kamu lagi banyak kegiatan lain. kita kan pacaran, harus saling pengertian” jawab Raisa. “oh, iya. Muka kamu tadi stress banget keliatannya. Lagi banyak pikiran, ya? kalau ada masalah kamu cerita aja sama aku”
Gue menatap Raisa yang lagi membuat kelinci dari kertas lipat. Ryan bener. Gue memang gak punya hati. Kenapa gue bisa tega bohongin Raisa? Kenapa gue malah lebih milih Maurin? Saat gue dalam posisi sulit kayak gini, cuma Raisa yang ada buat gue.
“Bim.. Bima.. kamu kenapa? Kok ngeliatin aku kayak gitu?” suara Raisa membuyarkan lamunan gue.
Gue gak menjawab pertanyaannya dan langsung mencium keningnya. Raisa keliatannya sedikit heran dengan sama sikap gue ini.
“serius, kamu kenapa sih? Gak kayak biasanya”
“nggak. Lagi kangen aja sama kamu, sayang” gue membelai rambutnya yang halus. Rasanya semua rasa jenuh dan bosen gue sama Raisa udah lenyap gak tahu kemana. Satu yang gue tahu, gue sayang banget sama dia.
“aku juga kangen” Raisa melingkarkan tangannya ke bahu gue. Gue menarik nafas dalam-dalam. Mungkin gak lama lagi, Raisa gak akan pernah mau peluk gue kayak sekarang. Setelah Raisa tahu ada Maurin diantara hubungan kita, semuanya pasti bakal berubah. Dan gue, belum siap untuk itu.
“aku takut kehilangan kamu” sekarang gue yang melingkarkan tangan ke pinggangnya.
 “kehilangan aku? Memangnya aku mau kemana? Aku disini aja, gak kemana-mana” Raisa malah tertawa kecil. “I love you, Bima”
“I love you more, Raisa”
“eh, handphone kamu bunyi, tuh” Raisa melepaskan pelukannya dan menunjuk handphone gue di atas meja.
Gue mangambil handphone. Ada SMS, dari Maurin. Isinya masih tentang keluhannya tentang gue dan diakhiri dengan kata-kata khasnya, ‘aku mau putus!’
Gue langsung membalas SMS itu dengan cepat.
mau putus? Oke, sekarang kita putus, ya.’
*
Maurin dan gue udah resmi putus. Bukan, bukan lewat SMS itu. Rasanya gak gentle banget mutusin cewek lewat SMS. Jadi gue ketemuan sama Maurin dan jelasin semuanya, termasuk jelasin kalau sebenernya sebelum jadian sama dia, gue udah punya cewek. Maurin keliiatannya marah dan patah hati banget. Tapi kali ini gue mau berusaha buat jujur, walaupun resikonya gue bakal dibenci Maurin.
Sekarang tugas gue Cuma satu.  Jangan sampai Raisa tahu kalau gue pernah punya pacar selain dia, disaat gue masih jadi pacarnya dia. Kok jadi ribet gini, ya?
Raisa memperhatikan gue yang lagi sibuk menyusun artikel tentang liputan lomba paduan suara di SMA Harapan 2. Gue sedikit bingung karena ada beberapa data yang kurang lengkap. “kenapa? Mukanya kok bingung banget?”
“iya, ini datanya ada yang kurang lengkap. Gimana ya?”
“gini aja, aku telepon temen aku yang ada di harapan 2. Dia kebetulan salah satu panitia buat lomba itu. Kamu bisa tanya-tanya lagi soal lomba”
“temen kamu di  Harapan 2? Siapa?” perasaan gue mulai gak enak.
“namanya Maurin, dia jadi sering jadi panitia gitu buat acara-acara di Harapan 2”
Gue langsung shock. “Ma..Mau.. Maurin?di.. dia temen kamu?”
“iya, dia sahabat aku dari kecil. Kamu kenal juga sama dia?”
Kenapa Maurin bisa jadi temennya Raisa? Kenapa diantara ribuan murid SMA Harapan 2, Raisa harus milih Maurin? Mati gue.
“aku.. aku gak kenal sama dia, sayang. Cuma pernah denger namanya aja. Kamu juga gak usah telepon dia.  Aku nanti nanya.. nanya Ryan aja, iya Ryan. Dia kan yang kemarin liputan, dia yang harusnya tanggung jawab” gue salah tingkah.
“oh, ya udah deh”
*
Malam ini gue dateng ke rumahnya Raisa. Gue mau ngomong apa yang seharusnya gue omongin dari dulu. Setelah gue pikir lagi, walaupun gue udah putus sama Maurin, Raisa tetep perlu tahu soal ini. Gue tahu kalau ini namanya cari mati banget. Toh, gue dan Maurin udah putus juga, Raisa gak tahu pun gak akan ada masalah. Tapi rasanya gak fair banget kalau Raisa gak tahu soal ini. Gak adil rasanya kalau Raisa selalu menganggap gue pangerannya yang jujur dan setia, padahal di kenyataan gue gak sebaik itu.
Gue siap kalau Raisa minta putus.
Gue memencet bel rumahnya, dan gak lama Raisa membukakan pintu dengan.. dengan mata yang sembap dan linangan airmata yang masih terlihat jelas. Ini pasti ada yang gak beres. “Bima, ayo masuk”
“sayang, kamu kenapa?” tanya gue khawatir. Tapi Raisa tetap diam tanpa kata. “Raisa sayang, kamu kenapa? Bilang sama aku. Aku gak bisa liat kamu nangis kayak gitu terus”
Raisa menarik nafas panjang, seperti mengumpulkan kekuatan untuk bicara. “aku udah tahu semuanya, Bim. Semuanya tentang kamu aku udah tahu”
“tentang apa?”
Raisa mulai menangis lagi. “tentang kamu sama Maurin, sahabat aku. Aku udah tahu ada apa diantara kalian. Kamu sekarang jawab yang jujur ya, jangan bohongin aku lagi. Kamu beneran selingkuh sama Maurin, kan?”
Shit! kenapa Raisa harus tahu duluan sebelum gue kasih tahu? Dia pasti tahu dari Maurin. “iya, iya aku sama Maurin memang pernah.. pacaran”
“dari awal aku memang udah curiga kalau pacarnya Maurin itu kamu. Tadi siang aku ketemu dia, tadinya aku mau nolongin kamu dengan nanya-nanya tentang perlombaan paduan suara ke dia. Tapi jadinya Maurin malah curhat sama aku. Dia bilang kalau dia patah hati berat karena baru putus sama pacarnya yang namanya Bima, dari Harapan 1. Yang aku tahu, Bima di harapan 1, ya cuma kamu. Dan setelah lihat foto yang Maurin tunjukin, itu bener foto kamu” terang Raisa sambil sesekali menyeka air matanya.
“aku tahu aku salah. Aku bener-bener minta maaf”
“aku tahu kalau kamu lagi bosen sama aku, aku bisa rasain. Tapi aku masih bisa terima, aku bisa terima kalau kamu mau menjauh dari aku, aku terima kalau kamu selalu gak ada waktu buat aku, aku terima kalau kamu cuek. Tapi kalau ini..” Raisa gak sanggup berkata-kata lagi. Air matanya mulai mengalir deras.
Gue menghampiri Raisa yang duduk di samping gue, lalu berlutut di hadapannya. Menggenggam tangannya dan melihat betapa banyak air mata yang dia jatuhkan malam ini.
“aku sakit, Bima” kata Raisa, lirih.
“aku bener-bener ngerasa bersalah, Sa. Aku minta maaf. Tapi aku gak serius sama Maurin, itu cuma karena aku bosen sama kamu. Percaya, aku sayang banget sama kamu”
“kalau kamu sayang sama aku, kamu gak bakal nyakitin aku kayak gini” kata Raisa, pelan. “dan Maurin itu sahabat aku. Gimana aku bisa terus sama kamu, sedangkan disana dia lagi nangis-nangis karena kehilangan kamu” gue gak pernah liat Raisa sesedih ini, dan dalam keadaan sesedih ini Raisa masih bisa mikirin perasaan orang lain.
“tolong, Sa. Aku takut kehilangan kamu”
Raisa menggeleng. “kamu gak takut kehilangan aku. Karena kamu bisa ngelakuin hal besar yang bisa bikin aku ninggalin kamu. Selingkuh.”
“tapi, sayang..”
“tolong jangan panggil aku sayang lagi, Bim. Itu bikin aku tambah sakit”
Malam ini, gue pastikan hubungan gue dan Raisa bakal berakhir.
*
Ini udah sebulan gue dan Raisa putus.  Kehilangan Raisa bener-bener bikin hidup gue berubah. Gak ada lagi acara nganter dia beli buku dongeng ke toko buku, nganterin dia ke dokter hewan, bantuin bikin origami, gak lagi yang nemenin gue bikin artikel, gak ada yang gue tungguin latihan cheers setiap pualng sekolah, dan gak ada yang ngisi hati gue lagi.
Hari ini tepat tanggal 25 april. Gue dan Raisa harusnya ngerayain 3rd anniversary. Sayangnya sekarang udah gak ada kata ‘kita’ lagi, yang ada cuma gue dan dia. Terpisah.
Biasanya setiap anniv, gue dan Raisa selalu datang ke SMP kita dulu. Setelah semua anak SMP udah pulang, gue dan Raisa duduk didepan ruang kelas 2-1, meniup lilin diatas cupcake dan bikin wish buat hubungan kita kedepannya.
Tahun ini gue bakal melakukan hal yang sama, sendirian. Pulang dari latihan basket nanti gue bakal dateng ke SMP gue dulu. Sebuket mawar warna putih, sebuah red velvet cupcake, dan lilin angka 3 udah gue siapin. Peduli amat disana gue dikatain gila karena tiup lilin sendirian. Gue lakuin ini karena gue kangen sama Raisa.
Suasana SMP udah sangat sepi, cuma tinggal penjaga sekolah yang tadi gue mintai izin yang masih bertahan di sekolah. Gue duduk di depan ruang kelas 2-1, menancapkan lilin di atas cupcake, dan mulai melakukan ritual make a wish, kali ini ditambah sedikit pengakuan dosa.
“Raisa sayang, happy 3rd anniversary ya. Walaupun kamu sekarang gak ada disini, aku yakin kamu bisa ngerasain apa yang aku rasain sekarang. Aku kangen banget sama kamu, sama kita yang dulu. Di tanggal 25 april ini, aku janji kalau aku gak akan pernah selingkuh lagi. Aku gak mau kehilangan orang yang aku sayang buat kedua kalinya. Aku harap kamu mau kita kayak dulu lagi” gue tahu kalau kata-kata gue ini udah sangat lebay buat ukuran seorang cowok. Tapi bodo amat, lah. gak ada yang denger juga.
Tiba-tiba terdengar suara perempuan dari belakang. “Bima kalau udah janji harus ditepatin, ya. jangan bohong lagi”
“Raisa?” gue terkejut saat melihat Raisa dengan seragam cheers dan jeket warna birunya udah berdiri di belakang gue. Tersenyum, lalu duduk disamping gue.
“kamu kok bisa disini?”
“aku belum pikun, Bim. Aku masih inget kalau kita selalu ngerayain anniv kita disini. sekarang kan tanggal 25 april, tepat kita anniv yang ke 3”
“maksud aku kamu dateng kesini buat..”
Raisa langsung memotong kata-kata gue. “buat makan red velvetnya sama mau pastiin kamu gak salah beli bunga lagi kayak tahun-tahun sebelumnya”
“tenang aja. Kali ini pasti bener. Bunganya mawar, bukan sedap malam, bukan kenanga, atau apapun itu” dari jawaban gue itu gue bisa melihat Raisa senang mendengarnya. Dia menciumi wangi bunga mawar itu dengan caranya yang manis. Gue cuma menatapnya sambil tersenyum.
“kamu udah ngasih aku bunga, ngasih cake. Sekarang kamu mau minta hadiah apa dari aku?”
“aku, cuma mau minta kepercayaan kamu. Aku mau kamu percaya lagi sama aku, percaya kalau aku bisa jadi Bima yang dulu. Bima pacar kamu yang selalu sayang sama kamu dan gak akan pernah nyakitin kamu”
“I love you, Sa”
“I love you too, Bim”  Raisa tersenyum sambil melingkarkan tangannya ke bahu gue. “aku udah maafin kamu, kok. Tapi kamu jangan gitu lagi, ya”
Gue melingkarkan tangan gue ke pinggangnya. “makasih, ya. aku sayang kamu”
“jadi sekarang, Raisa jadi punyanya Bima lagi?” tanya Raisa sambil tersipu malu.
“that’s right, my Raisa” gue mencium keningnya.
Selesai.


cerpen: orang ke 3 (part.1)

orang ke 3


“sayang, si Meli kayaknya lagi sakit, deh. Dari kemarin dia diem terus”
“oh..”
“kata bang Rizal aku harus cepet-cepet bawa dia ke dokter hewan. Kayaknya besok aku mau kesana, kamu yang nganter, ya?”
“oh..”
“kok, oh sih? Mau nganter gak?”
“oh, iya maksudnya. Mau”
Raisa melanjutkan ceritanya tentang si Meli, kucing Persia peliharaannya dengan antusias. Gue cuma  mendengarkannya dengan malas sambil mengagguk-angguk seperlunya. Ngedate yang sangat sangat membosankan.
Gue sendiri gak ngerti, apa yang membuat Raisa jadi sangat membosankan di mata gue akhir-akhir ini. Disaat semua murid cowok di sekolah mendamba-dambakan posisi gue saat ini, duduk di hadapan Raisa sambil memandangi wajah cantiknya dan mendengar suara merdunya bercerita, gue justru merasa pengen cepet-cepet pulang dan mengakhiri ngedate gue sama Raisa.
Raisa cewek gue. Gue dan dia udah satu sekolah sejak SD sampai SMA. Raisa cantik, pintar, kreatif, ramah sama semua orang, menyenangkan, lucu, dan.. gue jatuh cinta sama dia.
Di dalam ruang kelas 2-1 di SMP kita dulu, gue, dengan nyali anak SMP memberanikan diri untuk nembak Raisa. Diluar dugaan, Raisa nerima gue jadi cowoknya, dan hal ini sekaligus mematahkan hati temen-temen gue yang naksir Raisa juga. Hubungan sejak kelas 2 SMP itu berlangsung sampai sekarang. Kalau dihitung-hitung, udah hampir 3 tahun kita pacaran. Wajar, gak, kalau gue mulai bosen?
*
Hari ini gue dan Ryan dapet tugas dari majalah sekolah buat ngeliput acara pensi yang diadain SMA Harapan 2. Sebagai wartawan sekolah, gue dan Ryan yang bertugas buat dateng langsung ke lapangan buat ngeliput setiap acara.
Dengan tugas dari majalah sekolah ini, otomatis gue harus batalin janji gue sama Raisa buat nganter dia dan si Meli ke dokter hewan. Sebelum gue berangkat buat liputan, gue menyempatkan diri buat ketemu Raisa yang lagi latihan cheers di lapangan.
Gue memanggil namanya dari pinggir lapangan. Dan begitu menyadarinya, dia langsung menghentikan latihannya dan menghampiri gue dengan senyum manis khasnya. Senyum yang dulu selalu membuat gue tergila-gila sama dia. Dulu.
“kenapa? Udah mau pulang, ya?”
“nggak, bukan mau pulang. Hari ini aku sama Ryan ada tugas liputan ke Harapan 2, disana lagi ada pensi. Jadi aku gak bisa pulang bareng kamu, nganter si Meli juga gak bisa. Maaf, ya”
 “gak papa. Aku bisa pulang sendiri, kok. Nanti ke dokter hewannya dianterin bang Rizal atau bang Rengga aja. Liputan itu penting loh, kamu harus cepet-cepet kesana” jawab Raisa sambil tersenyum walau terlihat sedikit kecewa. Dia memang selalu kayak gini. Perhatian dan gak egois.
“makasih, ya. Aku berangkat sekarang. Kamu hati-hati pulangnya, kalau udah nyampe rumah langsung kabarin aku” kata gue sambil mengelus rambutnya.
“iya, kamu juga hati-hati di jalan”
Raisa ngelanjutin latihan cheers, gue dan Ryan langsung berangkat ke SMA Harapan 2.
*
SMA Harapan 2 masih satu grup sama sekolah gue, SMA Harapan 1. Sekolah gue dan SMA Harapan 2 selalu menjaga keakraban dan kekompakan semua muridnya dengan cara mewajibkan sekolah gue untuk meliput berbagai acara di SMA Harapan 2, begitu juga sebaliknya. Dengan begitu, komunikasi antar murid masih bisa terjaga.
Gue dan Ryan baru aja nyampe di SMA Harapan 2. Masih siang, tapi acara pensi udah mulai rame. Beberapa band udah mulai mengisi panggung.
“gue paling seneng kalau dapet tugas liputan ke Harapan 2. Murid ceweknya cakep-cakep. Apalagi sekarang lagi ada event kayak gini, yang bening-bening pasti makin banyak. Gue harus ajakin kenalan” kata Ryan, sahabat gue sambil mengedarkan pandangan ke arah kerumunan cewek-cewek. Dasar jomblo abadi, liat cewek bening dikit langsung cari kesempatan.
“Yan, cewek mulu lo urusin! Kita sekarang harus ketemu sama ketua panitianya, nih. Gue pengen cepet-cepet liputan. Biar cepet selesai, bisa langsung pulang”
“alah, Bim. Lo palingan juga pengen cepet pulang supaya bisa ketemu sama Raisa. Sama aje!” sanggah Ryan, gak terima banget gue bilangin.
Setelah ngambil beberapa gambar lewat kamera, gue dan Ryan langsung nyari ketua panitia buat nanya-nanya tentang acara ini. Ketua panitia pensi ini namanya Maurin. Gue sendiri belum ketemu orangnya, tapi kemarin gue udah buat janji lewat telepon sama ‘Maurin’ ini buat wawancara.
Gua dan Ryan mencoba bertanya ke salah satu panitia yang lagi nganggur.
“sorry, gue Bima dari Harapan 1” gue menunjukan name tag wartawan sekolah yang menggantung di leher gue. “gue udah janjian sama yang namanya Maurin, ketua panitia pensi ini buat wawancara. Orangnya yang mana, ya?”
“oh, Maurin. Sebentar ya, gue panggilin” panitia itu lalu memanggil Maurin dengan sedikit berteriak. “Maurin..!! ada yang nyariin lo”
Gue terkesima saat melihat siapa yang menoleh. Seorang cewek cantik. Oh, bukan cantik, tapi cantik banget! senyumnya lembut, rambutnya hitam panjang, kulitnya putih mulus. Gue Cuma bisa terdiam memandangi pemandangan indah ini, dan begitu juga Ryan.
“buset!! Ini sih namanya bidadari. Gue gak nyangka  murid di Harapan 2 ada yang seindah ini. Asli, cantik banget” kata Ryan, hiperbola.
Maurin, yang cantik banget itu menghampiri gue dan Ryan sambil tersenyum. Oh, jantung gue langsung berdetak hiperaktif. “dari Harapan 1, ya? Kenalin, gue Maurin, ketua panitia pensi ini” Maurin mengulurkan tangan.
“Ryandi, panggil aja Ryan” Ryan langsung berjabat tangan dengan semangat’45
“Bima..” gue gantian mengenalkan diri. “bisa mulai wawancaranya sekarang?”
“bisa, kok. Kita duduk di tenda panitia aja, ya. Biar lebih enak wawancaranya”
Proses wawancara berlangsung lancar. Maurin menjawab semua pertanyaan gue dan Ryan seputar pensi dengan jelas dan lengkap. Dari jawaban-jawabannya, gue yakin kalau Maurin  ini murid yang pinter. Udah cantik, pinter juga lagi.
Setelah wawancara selesai, gue dan Ryan langsung pamit pulang ke Maurin dan beberapa panitia yang ada disana. Ryan yang pengen ke toilet langsung ngacir duluan ke toilet, ninggalin gue yang masih jalan dibelakangnya.
“Bima, tunggu!” panggil seseorang dari belakang. Gue langsung menoleh, dan ternyata Maurin yang manggil gue.
“ada apa lagi, Rin?”
“ehm.. ini gue mau ngasih nomor handphone gue” Maurin memberikan secarik kertas warna pink yang bertuliskan deretan angka.
“ini buat..?” gue mengerutkan kening.
“ya ini, ini buat.. buat.. kalau aja ada yang kurang informasinya, terus lo mau nanya gue lagi, lo bisa hubungin gue” Maurin keliatan salah tingkah.
“ehm.. oke. Makasih buat nomornya, nanti gue.. gue SMSin nomor gue hehe..” gue jadi ikutan salah tingkah.
*
Dari acara pensi itu, hubungan gue dan dan Maurin berlanjut. Sejak pertama gue SMSin nomor gue ke dia, kita hampir tiap hari teleponan dan SMSan untuk sekedar nanya ‘udah makan belum?’ atau ngobrolin hal-hal kecil yang gak penting. Gue bener-bener nyaman sama Maurin. Dia cewek yang manis, pinter, tapi seru. Tapi karena Maurin, gue mulai ngelupain satu hal. Raisa.
“Bim, kamu nanti bisa nganter aku toko buku, gak?” tanya Raisa.
“maaf ya, Sa. Aku gak bisa. Nanti aku ada latihan basket, sekalian mau ngelatih anak-anak kelas sepuluh juga” jawab gue, acuh.
Gue bohong. Gue gak ada latihan basket hari ini. Tapi hari ini gue ada janji jalan sama Maurin. Ya, sama Maurin.
Gue nganterin Maurin ke toko buku langganannya. Gue sedikit kaget, selera baca Maurin ternyata sama persis sama Raisa.
“lo suka buku dongeng princess-princessan kayak gini?” tanya gue sambil memperhatikan buku-buku yang Maurin beli.
“iya, emangnya kenapa? Kayak anak kecil banget, ya?” Maurin balik bertanya.
Gue membalasnya dengan senyum. “gak papa. Lucu aja” mendengar kata-kata gue, Maurin langsung tersipu malu.
*
Gue mengantar Maurin sampai ke depan rumahnya. Maurin langsung turun dari motor dan mengembalikan helm yang dia pinjam.
“makasih ya, buat hari ini. Lo udah mau nganterin gue”
“sama-sama, seneng bisa jalan sama lo”
“gue masuk ke dalem dulu, ya” Maurin berbalik, membuka selot pintu pagar.
“gue suka sama lo, Rin” kata-kata itu secara reflek terucap dari mulut gue. Entah apa yang bakal terjadi setelah ini.
Maurin dengan pipi yang memerah berbalik ke arah gue. “gue juga suka sama lo, Bim”
“jadi?”
“kita jadian??”

“iya.. kita jadian”

to be continue..