Nov 4, 2015

cerpen: bukan (FRIENDZONE)

(bukan) FRIENDZONE

By: Aindirad





“gue mau rapat OSIS dulu, sebentar. Lo mau tungguin atau mau pulang duluan?”

Huh! Rapat lagi, rapat lagi!

“gue tungguin aja, deh” jawabku, sambil memaksakan senyum. Sebenarnya aku sudah ingin pulang.

“ya udah, gue ke rapat dulu. Udah ditunggu anak-anak” Audi mengusap rambutku lalu kembali masuk ke ruang rapat OSIS.

Audi itu… apa ya? Kalau dibilang teman, kami terlalu dekat untuk kategori berteman. Tapi kalau pacar, aku ragu. Audi nggak pernah memintaku jadi pacarnya.

Semua berlangsung begitu saja. Awalnya aku sama sekali nggak punya pikiran untuk dekat dengannya. Aku dan Audi punya ‘dunia’ yang sangat berbeda. Audi adalah si ketua OSIS yang maha pintar dan dipuja guru-guru. Sedangkan aku adalah anggota cheerleader yang senang bergaul dan punya banyak teman. Perbedaan itu membuat aku dan dia hampir nggak pernah ngobrol walaupun kami berada di kelas yang sama.

Kebekuan antara kami mulai mencair saat guru biologi membentuk kelompok eksperimen belah katak. Aku dan Audi ada dalam satu kelompok. Aku yang sangat takut pada katak hanya bisa berlindung di balik punggung Audi saat praktikum berlangsung. Sedangkan Audi hanya bisa tertawa sambil menulis urutan organ tubuh katak yang harusnya kami kerjakan bersama.

Sejak saat itu kami mulai sering ngobrol, tentang apapun yang kami suka. Bahkan saat naik ke kelas 2 dan kami ditempatkan di kelas yang berbeda, Audi masih sering datang ke kelasku untuk ngobrol. Kalau nggak sempat bertemu di sekolah, sore harinya dia akan datang ke rumahku untuk sekedar ngobrol di teras sampai langit berubah gelap. Audi juga sering mengajakku ‘kencan’ dengan dalih mentraktir makan atau nonton di blitz. ‘Audi naksir lo’ begitu kata Wina, teman sebangkuku setiap kali aku bercerita tentang Audi. Aku satu pemikiran dengan Wina. Audi selalu memeperlakukanku dengan manis walaupun dia nggak pernah merayuku dengan kata-kata romantis seperti di film-film.

Hingga suatu hari, Audi mengajakku nonton film di blitz seperti biasa. Dia bilang, kali ini aku boleh memilih film apapun yang akan kami tonton. Tentu saja aku langsung memilih film bergenre romance kesukaanku, sekaligus genre film yang paling dibenci Audi.

“nggak papa nih, nonton romance?” tanyaku, agak nggak enak karena Audi yang membayar tiketnya.

Audi tersenyum. “santai aja kali, Ra. Gue kan udah bilang hari ini lo bebas milih mau nonton film apapun”

Akhirnya kami jadi nonton film romance. Aku menonton dengan serius, sampai nggak sempat melihat apakah Audi juga memperhatikan filmnya atau malah tertidur seperti biasanya saat dia nggak suka pada film yang sedang diputar. Tanpa kusadari, Audi menyelipkan rambutku ke telinga lalu mendaratkan kecupan di pipiku. Wajahku langsung memerah. Aku menoleh ke arahnya.

“lo cantik banget” katanya pelan, hampir tanpa suara sambil menggenggam tanganku erat. Konsentrasi nonton filmku buyar seketika. Film yang sedang kutonton kalah romantis dengan Audi!

Setelah itu, jarak antara kami semakin dekat. Tahu-tahu dia sudah menggenggam tanganku, mengelus rambutku, memelukku, bahkan beberapa kali menciumku. Aku sih senang-senang saja. Siapa juga yang nggak senang diperlakukan seperti itu sama cowok seganteng Audi?

Kukira semua ini sudah cukup menunjukkan kalau aku dan Audi sudah pacaran. Tapi kata Wina, cewek tetap harus dapat ‘pengakuan’ dari cowok. Selama belum ada proses ‘nembak’, aku dan Audi masih dalam status berteman.

Aku jadi bingung.

*

Tadi siang Wina bercerita panjang lebar soal perayaan hari jadiannya dengan Gian, pacarnya. Wina dapat hadiah boneka beruang besar dan sebuket bunga mawar warna biru, terus mereka berdua jalan ke coffee shop tempat pertama kali kencan, kayaknya seru banget, deh!

Kalau aku? Gimana bisa rayain hari jadian? Jadian aja nggak!

Aku nggak bisa berhenti memikirkan cerita Wina. Apa aku harus ngomong ke Audi kalau aku juga mau punya tanggal jadian yang bisa dirayain tiap bulan? Hmm… kebetulan Audi sedang duduk di sebelahku sambil berkutat dengan rumus-rumus njelimet di lks. Aku yang memintanya datang ke rumah untuk membantuku mengerjakan PR kimia.

“Di?”

“kenapa?” Audi balik bertanya. Pandangannya masih pada soal-soal kimia.

“kita itu sebenernya pacaran nggak, sih? Kok lo nggak pernah nembak gue”

Audi menatapku lalu tertawa kecil. “emangnya penting ya, pake acara nembak-nembakan gitu?”

“penting, lah! Kalau belum nembak berarti belum pacaran. Kalau belum pacaran, berarti kita ini apa? Nggak jadian tapi pegangan tangan, pelukan, ciuman”

“yang penting lo tahu kalau gue suka sama lo” jawab Audi, tenang. Lalu kembali mengerjakan soal.

“pertanyaannya, kita ini pacaran atau nggak? Bukannya lo suka sama gue atau nggak? Ngerti nggak, sih?!” aku mulai emosi.

Audi berhenti menulis. Dia menatap mataku dalam-dalam, mendekatkan wajahnya padaku lalu mengecup hidungku dengan lembut. “kalau lagi ngambek, lo kelihatan makin manis. Bikin gemes” dia tertawa kecil lalu mengecup hidungku lagi.

Kalau sudah begini, emosiku langsung menguap seketika. Aku nggak bisa benar-benar marah padanya. “nyebelin, ah” rajukku, manja. Audi kembali mengerjakan soal, tapi sebelah tangannya menggenggam tanganku.

*

“gue ada rapat lagi. Mau siapin properti buat pensi. Lo pulang duluan aja, kayaknya bakal lama banget” kata Audi saat aku baru selesai latihan cheerleader.

“iya, nanti gue pulang sama Wina aja. Sekalian mau jalan-jalan dulu” aku memang punya rencana pergi ke toko CD bareng Wina siang ini.

“oke. Hati-hati di jalan, pulangnya juga jangan terlalu sore. Nanti malem gue telepon, ya” Audi mencium puncak kepalaku lalu berjalan meninggalkanku ke ruang rapat OSIS. Setelah Audi sudah jauh dari pandangan, Wina menghampiriku lalu duduk di salah satu kursi dekat tempatku duduk.

“Ra, serius, sebenernya lo sama Audi udah jadian atau belum, sih?” todong Wina.

Aku menggeleng. “belum”

“udah cium-cium kayak gitu, si Audi masih belum nembak juga?!” mata Wina membulat.

“tapi dia bilang, dia suka sama gue”

“ngomong suka aja nggak cukup, Aura” Wina tediam sejenak. “uhm, sorry ya, Ra. Tapi kayaknya lo lagi dimainin sama Audi, deh”

“maksudnya?” aku menegerutkan kening.

“ya, dia nggak mau nembak lo supaya statusnya masih free. Jadi dia bisa deket-deket sama lo, tapi juga bisa deketin cewek lain”

“kayaknya dia nggak gitu, deh”

“aduh, lo jangan terlalu polos gitu, deh!” Wina terlihat khawatir. “Lo tahu Lulu, kan?” Jelas aku tahu. Lulu itu bendahara OSIS yang selalu nempel sama Audi. Galak, norak, sok pintar, dan tergila-gila banget sama Audi. “Lulu bisa leluasa nempel sama Audi karena status Audi masih single. Apa lo nggak cemburu?”

“dia bilang Lulu Cuma temen” jawabku, pelan. Sebenarnya aku juga sering cemburu pada Lulu.

“lo nggak pernah tahu yang sebenernya kan, Ra? Lo sama Audi juga ‘temenan’ kan? Mungkin Audi perlakuin Lulu sama kayak dia perlakuin lo. Kayak pegangan tangan atau cium”

Aku menggeleng. “nggak mungkin kayak gitu, ah”

“kalau nggak kayak gitu, Audi pasti udah ngajak lo jadian”

Dalam hati, aku membenarkan kata-kata Wina.

*

Hujan turun dengan derasnya sejak satu jam yang lalu. Wina sudah pulang duluan sebelum hujan karena Gian menjemputnya menggunakan motor. Jadilah aku menunggu sendirian di depan toko CD ini.

Hujan sepertinya masih lama, angkutan umum juga nggak ada yang lewat. Aku memutuskan untuk menelepon Audi, semoga dia bisa menjemput.

“Di, udah pulang? Jemput gue, ya”

“uhm, sorry. Nggak bisa, Ra. Gue masih harus siapin beberapa properti buat pensi”

“yah, masih lama?”

“kayaknya sih gitu”

“terus giman…”

“udah dulu ya, Ra. Nanti gue telepon lagi”

Tet. Sambungan terputus. Menyebalkan!

Aku mengedarkan pandanganku ke jalanan yang sepi karena hujan terlalu deras. Belum ada satupun angkutan umum yang lewat. Sampai kapan aku menunggu disini?

Di seberang jalan, aku melihat sepasang cewek dan cowok yang menggunakan seragam putih abu-abu sepertiku baru keluar dari toko buku. Si cowok memegang payung, sedangkan si cewek mengamit lengan cowok itu erat. Manisnya. Kalau aja aku dan…

Tunggu, kayaknya aku kenal mereka berdua. Itu kan Audi dan Lulu!

Aku nggak mungkin salah lihat. Aku mengenali wajah mereka walaupun nggak begitu jelas, payung bergambar mickey mouse yang dipegang cowok itu juga sama persis dengan payung yang sengaja kusimpan di mobil Audi supaya dia nggak kehujanan saat turun dari mobil. dan yang makin membuatku yakin, mereka berdua masuk ke mobil CRV yang sangat aku kenali. Mobil Audi.

Audi dan Lulu, jalan berdua, dengan tangan Lulu mengamit lengan Audi. Dasar! Katanya Cuma teman, tapi dipegang gitu mau-mau aja!

Tiba-tiba semua kata-kata Wina tentang Audi menari-nari di pikiranku. Apa Wina benar? Jangan-jangan Audi memang mendekati Lulu sama seperti dia mendekatiku? Mataku jadi terasa panas, air mataku langsung mengalir tanpa bisa kutahan lagi. Kenapa aku nggak sadar kalau dari dulu Audi Cuma main-main? Kenapa aku begitu polos mengira Audi sudah menganggapku pacarnya dan satu-satunya cewek yang dekat dengannya? Bodoh!

Aku berjalan menerobos hujan. Nggak peduli dinginnya, yang penting aku bisa cepat pulang dan menangis sepuasnya.

*

Hari ini, aku demam tinggi. Pasti gara-gara kemarin aku pulang sambil hujan-hujanan. Aku juga menangis semalaman sampai membuat mataku bengkak. Jadi kuputuskan untuk nggak pergi ke sekolah. Mama sudah menelepon wali kelasku dan Wina, jadi sekarang aku tinggal beristirahat seharian di rumah.

Oh, iya. Audi sudah meneleponku belasan kali, tapi nggak kuangkat. Notifikasi sms dan chatnya pun memenuhi handphoneku, tapi semuanya juga kuabaikan. Aku nggak mau berhubungan sama dia lagi. Aku benci Audi!

Aku mendengar pintu kamarku diketuk dari luar.

“masuk aja” jawabku, dengan suara yang serak.

“Ra?” itu suara Audi! Aku berbalik, Audi sudah duduk disamping tempat tidurku.

“ngapain lo kesini?!” tanyaku, ketus.

“mau jenguk. Kata anak-anak, lo sakit” jawab Audi. “Gue bawain martabak keju, nih” Audi tahu aku sangat suka martabak keju. Setiap aku sakit atau nggak enak makan, dia pasti selalu membawakan martabak keju untukku.

“nggak usah sok perhatian, deh! Basi!”

“jutek banget. Lagi PMS ya?”

“kalau lihat lo rasanya kayak PMS tiap hari! Ngeselin!”

“udah ya, Ra. Jangan marah-marah mulu, lo kan lagi sakit. Kalau ada yang lo nggak suka, bilang sama gue” Audi lalu mengelus lenganku.

“nggak usah pegang-pegang gue lagi!” aku menjauhkan lenganku darinya. “gue udah tahu semua!”

Audi mengerutkan kening. “tahu apa?”

“lo juga lagi deket sama Lulu, kan?”

“deket gimana?”

“deket. Kayak gue sama lo. Lo sengaja kan nggak mau jadian sama gue supaya status lo tetep jomblo, terus bisa deketin cewek lain, termasuk Lulu. Iya, kan?” suaraku semakin serak. Aku hampir menangis.

“lo ngomong apaan sih?” Audi terlihat bingung.

“kemarin gue lihat lo jalan sama Lulu. Lulu gandeng tangan lo” aku mulai menangis.

“Ra, lo salah sangka. Gue nggak lagi jalan sama Lulu. Gue…”

“gue nggak mau denger!” aku memalingkan wajah.

“Tapi…”

“udah, lo pulang sana! Gue nggak mau denger apa-apa lagi!” aku menangis makin keras. Aku tahu Audi tak pernah tahan melihatku menangis. Akhirnya dia pergi, membiarkanku menangis sendirian.

*

Aku sudah menceritakan semua yang terjadi padaku dan Audi sambil menangis sepuasnya pada Wina. Wina bilang, obat patah hati cuma ada satu. Cari gebetan baru. Sekalian buat buktiin ke Audi kalau aku juga bisa dekat dengan cowok lain, aku juga bisa tetap senang walaupun tanpa dia.

Jadi aku mulai menghubungi Andra, kapten tim basket sekolah yang sudah mendekatiku sejak pertama kali aku masuk tim cheerleader. Dalam beberapa hari kami langsung dekat. Andra menembakku dan kami akhirnya jadian.

Hari ini, kami juga janjian untuk datang ke pensi sekolah.

Andra tak lepas menggandengku sejak awal masuk gerbang sekolah. Tapi di tengah pertunjukan musik, perhatianku justru hanya tertuju pada Audi yang sedang sibuk kesana kemari mengawasi jalannya pensi.

Sampai, Audi lewat di depanku dan melihatku bergandengan tangan dengan Andra. Audi menghentikan langkahnya, lalu berjalan mendekatiku.

“Ra? Lo kok…” Audi kelihatan kaget sampai kehilangan kata-kata. Dia nggak pernah begitu sebelumnya.

“kenapa memangnya?” tanyaku, angkuh.

“lo jadian sama Andra?!”

“kalau iya, kenapa?”

“kenapa?! Lo masih bisa tanya kenapa?! Lo anggap gue ini apaan? Bisa-bisanya lo jadian sama dia!” Audi mulai emosi. Matanya menatapku tajam. tangannya mencengkram tanganku kuat-kuat.

“kita kan nggak pernah jadian. Gue sama lo Cuma ‘temen’ doang. Kalau lo bisa deket sama cewek lain, gue juga bisa” aku balik menatapnya dengan tatapan menantang.

“udah, lepasin! Jangan kelamaaan pegang-pegang cewek gue!” Andra melepas dengan paksa cengkraman tangan Audi dariku.

“sialan lo!” Audi hampir aja menghajar Andra kalau saja Rengga, salah satu panitia pensi nggak datang untuk melerai.

“sabar, Di! Jaga sikap! lo ketua, penanggung jawab pensi ini. jangan sampai lo yang bikin kacau” Rengga menarik lengan Audi.

“gue kecewa sama lo, Ra” kata Audi, sebelum dia berjalan pergi mengikuti Rengga.

Entah kenapa, hatiku rasanya remuk mendengar Audi mengatakannya.



*

Setelah seminggu jadian, aku dan Andra putus. Aku nggak tahan lagi. Selama bersama Andra, yang ada di pikiranku tetap Audi. Mengingat tatapan kecewanya saat pensi membuatku makin nggak bisa berhenti memikirkannya. Jadi kubilang pada Andra kalau kami harus putus, aku nggak bisa terus dengannya sementara hatiku masih untuk orang lain. Untungnya Andra menghargai keputusanku. Dia bilang, memang lebih baik kalau aku jujur dari sekarang.

Selama beberapa hari ini, aku juga nggak melihat Audi di sekolah. Di seperti ‘menghilang’. Bahkan ketika aku sengaja lewat ke kelasnya, dia juga nggak ada. Nggak biasanya dia bolos sekolah selama ini. Awalnya aku malu untuk bertanya pada teman sekelasnya atau datang ke rumahnya untuk menanyakan kemana dia pergi. Tapi hari ini, aku memberanikan diri untuk bertanya pada Joshua, teman sebangku Audi.

“dia kan lagi izin. Lo nggak dikasih tahu? Lo kan ceweknya?” Joshua bingung.

“dia nggak bilang apa-apa” aku menggeleng. Aku dan Audi terkahir bertemu saat pensi. Itu pun dengan cara ‘nggak baik-baik’

“di suratnya ditulis mau ada acara keluarga, tapi sebenernya dia mendaki. Gila juga itu anak! Lagi hari sekolah gini dia malah ke gunung. Sendirian lagi”

“sendirian?!” mataku membulat.

Joshua mengangguk. “iya, mentang-mentang udah sering mendaki, dia nekat pergi sendirian” Audi memang sangat suka mendaki gunung. Dia bahkan pernah jadi ketua ekskul pecinta alam di sekolah.

“efek patah hati kali, ya”

“patah hati?”

“kayaknya sih gitu. Waktu abis pensi dia keliatan galau banget. Diem, nggak semangat, lihatin handphone terus. Pas gue tanya, dia nggak jawab apa-apa. Kalian lagi berantem ya? Atau lo putusin dia?”

Aku tak bisa menjawab pertanyaan Joshua. Aku hanya berusaha menahan diri agar nggak menangis didepannya.

*

Pulang sekolah, aku datang ke rumah Audi. Kata Joshua, kalau sesuai perkiraan, Audi sudah pulang dari mendaki hari ini.

Ternyata benar, mamanya Audi bilang kalau anak tunggalnya itu sudah pulang mendaki dari kemarin. beliau dengan ramah mempersilahkanku masuk ke kamar Audi. Dengan ragu, aku mengetuk pintu lalu masuk ke kamarnya.

Akhirnya aku bisa melihatnya lagi. Seperti biasa, dia mengenakan jersey Liverpool favoritnya, duduk diatas karpet sambil menonton TV. Tapi kali ini, aku tahu pandangan matanya kosong. “Audi?”

Audi mendongak. “Aura? Lo ngapain kesini?”

Aku duduk di sampingnya. “pengen ketemu lo aja. Kangen”

“udah lah, lo cepetan pulang. Nanti cowok lo marah” jawab Audi, cuek. Tapi aku bisa merasakan cemburu dari nada bicaranya.

“gue nggak punya cowok. Udah putus”

“bagus lah” Audi mengambil remote TV lalu memindahan channelnya ke channel khusus olahraga. Dia memusatkan perhatiannya pada TV, berusaha nggak mempedulikanku.

“tangan lo kenapa?” tanyaku, melihat lengan kanannya dibalut perban.

“jatuh waktu mendaki”

“makanya hati-hati. Kalau lagi mendaki harus fokus” aku mengelus lengannya.

“arhh! Sakit, Ra” Audi mengerang kesakitan. “gimana gue bisa fokus, kalau di kepala gue isinya lo doang?”

Aku terkesiap. “Di… lo…”

“lo pikir gue nggak patah hati waktu lihat lo jalan sama Andra? Gue sampai nggak pengen ke sekolah karena gue nggak tahan lihat lo sama Andra. Gue sampai harus mendaki supaya bisa lupa sama lo. Tapi tetep aja, yang ada di pikiran gue lo lagi, lo lagi” 

Dia lalu menatap mataku dalam-dalam. “lo nggak akan ngerti, Ra. Gue sayang sama lo. Sumpah, gue sayang banget sama lo! Cuma lo yang gue butuhin. Gue nggak nembak lo, bukan karena gue mau main-main sama lo atau cewek-cewek lain, tapi karena gue nggak bisa ngungkapinnya. Tiap lihat mata lo, gue suka bingung gimana caranya minta lo jadi cewek gue. Makanya gue cuma ngungkapinnya lewat tindakan, gue pikir lo bakal ngerti”

“terus… soal Lulu?”

“waktu itu gue pergi buat beli perlengkapan properti pensi sama Lulu. Dia yang maksa gandeng gue, gue sebenernya nggak suka digituin. Gue cuma suka kalau lo yang gandeng tangan gue. kalau lo pikir gue perlakuin Lulu sama kayak gue perlakuin lo, itu salah banget. Cuma lo yang gue peluk, yang gue cium, yang gue ajak ke rumah, yang gue kenalin ke nyokap, yang gue telepon tiap malem, yang selalu gue bawain martabak keju kalau lagi sakit, yang selalu mau gue lihat dan perhatiin tiap hari. Cuma lo, nggak ada yang lain”

Aku tersentuh dan baru menyadari semua. Tanpa mengatakannya, Audi sudah menunjukkan betapa sayangnya dia padaku setiap hari. “maaf ya, Di. Gue udah bikin lo patah hati. Gue sebenernya sayang banget sama lo. Gue jadian sama Andra cuma buat manas-manasin lo doang” aku memeluk Audi. Rasanya tenang sekali.

Audi tersenyum, lalu melingkarkan lengannya di pinggangku. Mendekapku erat. “Gila! Gue kangen banget sama lo!”

Setelah itu, dia mengecup bibirku dengan lembut. Tapi saat akan mengecupku untuk kedua kalinya, aku menghindar lalu melepaskan pelukanku.

“kenapa?” tanya Audi, bingung.

“tembak gue dulu, baru boleh cium lagi” aku tertawa kecil.

Audi menggenggam tanganku dengan erat. “jadi pacar gue ya, mau?”

“kurang romantis!” aku menggeleng.

“gue nggak bisa romantis”

Aku pura-pura ngambek. “kalau nggak romantis, gue nggak mau!”

Audi akhirnya mengambil gitarnya lalu menyanyikan need you now-nya lady antebellum, lagu favoritku. Audi memang punya suara yang merdu, tapi selalu malas kalau disuruh bernyanyi.



It’s a quarter after one, I’m all alone and I need you now.

Said I wouldn’t call but I’ve lost control and I need you now.

And I don’t how I can do without.

I just need you now.



“Aura Andania Praditha, gue sayang banget sama lo. Gue boleh jadi pacar lo?”

Aku langsung mengangguk sambil mengelus pipinya. “I love you, Audi Reza Randitio”

“I love you too” Audi tersenyum. “boleh cium lagi?”

“nggak boleh” aku meleletkan lidah.

“kan udah jadian?”

“maunya dipeluk aja” kataku, manja.

Audi langsung memelukku erat. Detik ini juga, aku semakin sadar kalau aku sangat membutuhkannya, aku nggak mau jauh-jauh lagi darinya.

THE END.

4 comments:

  1. Friendzone... kenapa harus friendzone. Wkwk tapi ini ada kata 'bukan'nya.
    Dimana-mana jadi cewek susah ya. Butuh kepastian. Hm :| #kokjadicurhat

    ReplyDelete
  2. Yampunn , sosweet ini mah�� mangats mbar , selalu suka sm cerpennya����

    ReplyDelete
  3. Makasih banget, mbar {} baca terus cerpen aku ya hihi :)

    ReplyDelete