(bukan) FRIENDZONE
By: Aindirad
“gue mau
rapat OSIS dulu, sebentar. Lo mau tungguin atau mau pulang duluan?”
Huh!
Rapat lagi, rapat lagi!
“gue
tungguin aja, deh” jawabku, sambil memaksakan senyum. Sebenarnya aku sudah
ingin pulang.
“ya
udah, gue ke rapat dulu. Udah ditunggu anak-anak” Audi mengusap rambutku lalu
kembali masuk ke ruang rapat OSIS.
Audi
itu… apa ya? Kalau dibilang teman, kami terlalu dekat untuk kategori berteman.
Tapi kalau pacar, aku ragu. Audi nggak pernah memintaku jadi pacarnya.
Semua
berlangsung begitu saja. Awalnya aku sama sekali nggak punya pikiran untuk
dekat dengannya. Aku dan Audi punya ‘dunia’ yang sangat berbeda. Audi adalah si
ketua OSIS yang maha pintar dan dipuja guru-guru. Sedangkan aku adalah anggota
cheerleader yang senang bergaul dan punya banyak teman. Perbedaan itu membuat
aku dan dia hampir nggak pernah ngobrol walaupun kami berada di kelas yang
sama.
Kebekuan
antara kami mulai mencair saat guru biologi membentuk kelompok eksperimen belah
katak. Aku dan Audi ada dalam satu kelompok. Aku yang sangat takut pada katak
hanya bisa berlindung di balik punggung Audi saat praktikum berlangsung.
Sedangkan Audi hanya bisa tertawa sambil menulis urutan organ tubuh katak yang
harusnya kami kerjakan bersama.
Sejak
saat itu kami mulai sering ngobrol, tentang apapun yang kami suka. Bahkan saat
naik ke kelas 2 dan kami ditempatkan di kelas yang berbeda, Audi masih sering
datang ke kelasku untuk ngobrol. Kalau nggak sempat bertemu di sekolah, sore
harinya dia akan datang ke rumahku untuk sekedar ngobrol di teras sampai langit
berubah gelap. Audi juga sering mengajakku ‘kencan’ dengan dalih mentraktir
makan atau nonton di blitz. ‘Audi naksir lo’ begitu kata Wina, teman sebangkuku
setiap kali aku bercerita tentang Audi. Aku satu pemikiran dengan Wina. Audi
selalu memeperlakukanku dengan manis walaupun dia nggak pernah merayuku dengan
kata-kata romantis seperti di film-film.
Hingga
suatu hari, Audi mengajakku nonton film di blitz seperti biasa. Dia bilang, kali
ini aku boleh memilih film apapun yang akan kami tonton. Tentu saja aku
langsung memilih film bergenre romance kesukaanku, sekaligus genre film yang
paling dibenci Audi.
“nggak
papa nih, nonton romance?” tanyaku, agak nggak enak karena Audi yang membayar
tiketnya.
Audi
tersenyum. “santai aja kali, Ra. Gue kan udah bilang hari ini lo bebas milih
mau nonton film apapun”
Akhirnya
kami jadi nonton film romance. Aku menonton dengan serius, sampai nggak sempat
melihat apakah Audi juga memperhatikan filmnya atau malah tertidur seperti biasanya
saat dia nggak suka pada film yang sedang diputar. Tanpa kusadari, Audi
menyelipkan rambutku ke telinga lalu mendaratkan kecupan di pipiku. Wajahku
langsung memerah. Aku menoleh ke arahnya.
“lo
cantik banget” katanya pelan, hampir tanpa suara sambil menggenggam tanganku
erat. Konsentrasi nonton filmku buyar seketika. Film yang sedang kutonton kalah
romantis dengan Audi!
Setelah
itu, jarak antara kami semakin dekat. Tahu-tahu dia sudah menggenggam tanganku,
mengelus rambutku, memelukku, bahkan beberapa kali menciumku. Aku sih
senang-senang saja. Siapa juga yang nggak senang diperlakukan seperti itu sama
cowok seganteng Audi?
Kukira
semua ini sudah cukup menunjukkan kalau aku dan Audi sudah pacaran. Tapi kata
Wina, cewek tetap harus dapat ‘pengakuan’ dari cowok. Selama belum ada proses
‘nembak’, aku dan Audi masih dalam status berteman.
Aku jadi
bingung.
*
Tadi
siang Wina bercerita panjang lebar soal perayaan hari jadiannya dengan Gian,
pacarnya. Wina dapat hadiah boneka beruang besar dan sebuket bunga mawar warna
biru, terus mereka berdua jalan ke coffee shop tempat pertama kali kencan,
kayaknya seru banget, deh!
Kalau
aku? Gimana bisa rayain hari jadian? Jadian aja nggak!
Aku
nggak bisa berhenti memikirkan cerita Wina. Apa aku harus ngomong ke Audi kalau
aku juga mau punya tanggal jadian yang bisa dirayain tiap bulan? Hmm… kebetulan
Audi sedang duduk di sebelahku sambil berkutat dengan rumus-rumus njelimet di
lks. Aku yang memintanya datang ke rumah untuk membantuku mengerjakan PR kimia.
“Di?”
“kenapa?”
Audi balik bertanya. Pandangannya masih pada soal-soal kimia.
“kita
itu sebenernya pacaran nggak, sih? Kok lo nggak pernah nembak gue”
Audi
menatapku lalu tertawa kecil. “emangnya penting ya, pake acara nembak-nembakan
gitu?”
“penting,
lah! Kalau belum nembak berarti belum pacaran. Kalau belum pacaran, berarti
kita ini apa? Nggak jadian tapi pegangan tangan, pelukan, ciuman”
“yang
penting lo tahu kalau gue suka sama lo” jawab Audi, tenang. Lalu kembali
mengerjakan soal.
“pertanyaannya,
kita ini pacaran atau nggak? Bukannya lo suka sama gue atau nggak? Ngerti
nggak, sih?!” aku mulai emosi.
Audi
berhenti menulis. Dia menatap mataku dalam-dalam, mendekatkan wajahnya padaku
lalu mengecup hidungku dengan lembut. “kalau lagi ngambek, lo kelihatan makin
manis. Bikin gemes” dia tertawa kecil lalu mengecup hidungku lagi.
Kalau
sudah begini, emosiku langsung menguap seketika. Aku nggak bisa benar-benar
marah padanya. “nyebelin, ah” rajukku, manja. Audi kembali mengerjakan soal,
tapi sebelah tangannya menggenggam tanganku.
*
“gue ada
rapat lagi. Mau siapin properti buat pensi. Lo pulang duluan aja, kayaknya
bakal lama banget” kata Audi saat aku baru selesai latihan cheerleader.
“iya,
nanti gue pulang sama Wina aja. Sekalian mau jalan-jalan dulu” aku memang punya
rencana pergi ke toko CD bareng Wina siang ini.
“oke.
Hati-hati di jalan, pulangnya juga jangan terlalu sore. Nanti malem gue
telepon, ya” Audi mencium puncak kepalaku lalu berjalan meninggalkanku ke ruang
rapat OSIS. Setelah Audi sudah jauh dari pandangan, Wina menghampiriku lalu
duduk di salah satu kursi dekat tempatku duduk.
“Ra,
serius, sebenernya lo sama Audi udah jadian atau belum, sih?” todong Wina.
Aku
menggeleng. “belum”
“udah
cium-cium kayak gitu, si Audi masih belum nembak juga?!” mata Wina membulat.
“tapi
dia bilang, dia suka sama gue”
“ngomong
suka aja nggak cukup, Aura” Wina tediam sejenak. “uhm, sorry ya, Ra. Tapi kayaknya lo lagi dimainin sama Audi, deh”
“maksudnya?”
aku menegerutkan kening.
“ya, dia
nggak mau nembak lo supaya statusnya masih free.
Jadi dia bisa deket-deket sama lo, tapi juga bisa deketin cewek lain”
“kayaknya
dia nggak gitu, deh”
“aduh, lo
jangan terlalu polos gitu, deh!” Wina terlihat khawatir. “Lo tahu Lulu, kan?” Jelas
aku tahu. Lulu itu bendahara OSIS yang selalu nempel sama Audi. Galak, norak,
sok pintar, dan tergila-gila banget sama Audi. “Lulu bisa leluasa nempel sama
Audi karena status Audi masih single.
Apa lo nggak cemburu?”
“dia
bilang Lulu Cuma temen” jawabku, pelan. Sebenarnya aku juga sering cemburu pada
Lulu.
“lo nggak
pernah tahu yang sebenernya kan, Ra? Lo sama Audi juga ‘temenan’ kan? Mungkin
Audi perlakuin Lulu sama kayak dia perlakuin lo. Kayak pegangan tangan atau
cium”
Aku
menggeleng. “nggak mungkin kayak gitu, ah”
“kalau
nggak kayak gitu, Audi pasti udah ngajak lo jadian”
Dalam
hati, aku membenarkan kata-kata Wina.
*
Hujan
turun dengan derasnya sejak satu jam yang lalu. Wina sudah pulang duluan
sebelum hujan karena Gian menjemputnya menggunakan motor. Jadilah aku menunggu
sendirian di depan toko CD ini.
Hujan sepertinya
masih lama, angkutan umum juga nggak ada yang lewat. Aku memutuskan untuk
menelepon Audi, semoga dia bisa menjemput.
“Di,
udah pulang? Jemput gue, ya”
“uhm, sorry. Nggak bisa, Ra. Gue masih harus
siapin beberapa properti buat pensi”
“yah,
masih lama?”
“kayaknya
sih gitu”
“terus
giman…”
“udah
dulu ya, Ra. Nanti gue telepon lagi”
Tet.
Sambungan terputus. Menyebalkan!
Aku
mengedarkan pandanganku ke jalanan yang sepi karena hujan terlalu deras. Belum
ada satupun angkutan umum yang lewat. Sampai kapan aku menunggu disini?
Di
seberang jalan, aku melihat sepasang cewek dan cowok yang menggunakan seragam
putih abu-abu sepertiku baru keluar dari toko buku. Si cowok memegang payung,
sedangkan si cewek mengamit lengan cowok itu erat. Manisnya. Kalau aja aku dan…
Tunggu,
kayaknya aku kenal mereka berdua. Itu kan Audi dan Lulu!
Aku
nggak mungkin salah lihat. Aku mengenali wajah mereka walaupun nggak begitu
jelas, payung bergambar mickey mouse yang dipegang cowok itu juga sama persis
dengan payung yang sengaja kusimpan di mobil Audi supaya dia nggak kehujanan
saat turun dari mobil. dan yang makin membuatku yakin, mereka berdua masuk ke
mobil CRV yang sangat aku kenali. Mobil Audi.
Audi dan
Lulu, jalan berdua, dengan tangan Lulu mengamit lengan Audi. Dasar! Katanya
Cuma teman, tapi dipegang gitu mau-mau aja!
Tiba-tiba
semua kata-kata Wina tentang Audi menari-nari di pikiranku. Apa Wina benar?
Jangan-jangan Audi memang mendekati Lulu sama seperti dia mendekatiku? Mataku
jadi terasa panas, air mataku langsung mengalir tanpa bisa kutahan lagi. Kenapa
aku nggak sadar kalau dari dulu Audi Cuma main-main? Kenapa aku begitu polos
mengira Audi sudah menganggapku pacarnya dan satu-satunya cewek yang dekat
dengannya? Bodoh!
Aku
berjalan menerobos hujan. Nggak peduli dinginnya, yang penting aku bisa cepat
pulang dan menangis sepuasnya.
*
Hari
ini, aku demam tinggi. Pasti gara-gara kemarin aku pulang sambil hujan-hujanan.
Aku juga menangis semalaman sampai membuat mataku bengkak. Jadi kuputuskan
untuk nggak pergi ke sekolah. Mama sudah menelepon wali kelasku dan Wina, jadi
sekarang aku tinggal beristirahat seharian di rumah.
Oh, iya.
Audi sudah meneleponku belasan kali, tapi nggak kuangkat. Notifikasi sms dan
chatnya pun memenuhi handphoneku, tapi semuanya juga kuabaikan. Aku nggak mau
berhubungan sama dia lagi. Aku benci Audi!
Aku
mendengar pintu kamarku diketuk dari luar.
“masuk
aja” jawabku, dengan suara yang serak.
“Ra?”
itu suara Audi! Aku berbalik, Audi sudah duduk disamping tempat tidurku.
“ngapain
lo kesini?!” tanyaku, ketus.
“mau
jenguk. Kata anak-anak, lo sakit” jawab Audi. “Gue bawain martabak keju, nih”
Audi tahu aku sangat suka martabak keju. Setiap aku sakit atau nggak enak
makan, dia pasti selalu membawakan martabak keju untukku.
“nggak
usah sok perhatian, deh! Basi!”
“jutek
banget. Lagi PMS ya?”
“kalau
lihat lo rasanya kayak PMS tiap hari! Ngeselin!”
“udah
ya, Ra. Jangan marah-marah mulu, lo kan lagi sakit. Kalau ada yang lo nggak suka,
bilang sama gue” Audi lalu mengelus lenganku.
“nggak
usah pegang-pegang gue lagi!” aku menjauhkan lenganku darinya. “gue udah tahu
semua!”
Audi
mengerutkan kening. “tahu apa?”
“lo juga
lagi deket sama Lulu, kan?”
“deket
gimana?”
“deket.
Kayak gue sama lo. Lo sengaja kan nggak mau jadian sama gue supaya status lo
tetep jomblo, terus bisa deketin cewek lain, termasuk Lulu. Iya, kan?” suaraku
semakin serak. Aku hampir menangis.
“lo
ngomong apaan sih?” Audi terlihat bingung.
“kemarin
gue lihat lo jalan sama Lulu. Lulu gandeng tangan lo” aku mulai menangis.
“Ra, lo
salah sangka. Gue nggak lagi jalan sama Lulu. Gue…”
“gue
nggak mau denger!” aku memalingkan wajah.
“Tapi…”
“udah,
lo pulang sana! Gue nggak mau denger apa-apa lagi!” aku menangis makin keras.
Aku tahu Audi tak pernah tahan melihatku menangis. Akhirnya dia pergi,
membiarkanku menangis sendirian.
*
Aku
sudah menceritakan semua yang terjadi padaku dan Audi sambil menangis sepuasnya
pada Wina. Wina bilang, obat patah hati cuma ada satu. Cari gebetan baru.
Sekalian buat buktiin ke Audi kalau aku juga bisa dekat dengan cowok lain, aku
juga bisa tetap senang walaupun tanpa dia.
Jadi aku
mulai menghubungi Andra, kapten tim basket sekolah yang sudah mendekatiku sejak
pertama kali aku masuk tim cheerleader. Dalam beberapa hari kami langsung
dekat. Andra menembakku dan kami akhirnya jadian.
Hari
ini, kami juga janjian untuk datang ke pensi sekolah.
Andra
tak lepas menggandengku sejak awal masuk gerbang sekolah. Tapi di tengah pertunjukan
musik, perhatianku justru hanya tertuju pada Audi yang sedang sibuk kesana
kemari mengawasi jalannya pensi.
Sampai,
Audi lewat di depanku dan melihatku bergandengan tangan dengan Andra. Audi
menghentikan langkahnya, lalu berjalan mendekatiku.
“Ra? Lo
kok…” Audi kelihatan kaget sampai kehilangan kata-kata. Dia nggak pernah begitu
sebelumnya.
“kenapa
memangnya?” tanyaku, angkuh.
“lo
jadian sama Andra?!”
“kalau
iya, kenapa?”
“kenapa?!
Lo masih bisa tanya kenapa?! Lo anggap gue ini apaan? Bisa-bisanya lo jadian
sama dia!” Audi mulai emosi. Matanya menatapku tajam. tangannya mencengkram
tanganku kuat-kuat.
“kita
kan nggak pernah jadian. Gue sama lo Cuma ‘temen’ doang. Kalau lo bisa deket
sama cewek lain, gue juga bisa” aku balik menatapnya dengan tatapan menantang.
“udah,
lepasin! Jangan kelamaaan pegang-pegang cewek gue!” Andra melepas dengan paksa
cengkraman tangan Audi dariku.
“sialan
lo!” Audi hampir aja menghajar Andra kalau saja Rengga, salah satu panitia
pensi nggak datang untuk melerai.
“sabar,
Di! Jaga sikap! lo ketua, penanggung jawab pensi ini. jangan sampai lo yang
bikin kacau” Rengga menarik lengan Audi.
“gue
kecewa sama lo, Ra” kata Audi, sebelum dia berjalan pergi mengikuti Rengga.
Entah
kenapa, hatiku rasanya remuk mendengar Audi mengatakannya.
*
Setelah
seminggu jadian, aku dan Andra putus. Aku nggak tahan lagi. Selama bersama
Andra, yang ada di pikiranku tetap Audi. Mengingat tatapan kecewanya saat pensi
membuatku makin nggak bisa berhenti memikirkannya. Jadi kubilang pada Andra
kalau kami harus putus, aku nggak bisa terus dengannya sementara hatiku masih
untuk orang lain. Untungnya Andra menghargai keputusanku. Dia bilang, memang
lebih baik kalau aku jujur dari sekarang.
Selama
beberapa hari ini, aku juga nggak melihat Audi di sekolah. Di seperti
‘menghilang’. Bahkan ketika aku sengaja lewat ke kelasnya, dia juga nggak ada.
Nggak biasanya dia bolos sekolah selama ini. Awalnya aku malu untuk bertanya
pada teman sekelasnya atau datang ke rumahnya untuk menanyakan kemana dia
pergi. Tapi hari ini, aku memberanikan diri untuk bertanya pada Joshua, teman
sebangku Audi.
“dia kan
lagi izin. Lo nggak dikasih tahu? Lo kan ceweknya?” Joshua bingung.
“dia
nggak bilang apa-apa” aku menggeleng. Aku dan Audi terkahir bertemu saat pensi.
Itu pun dengan cara ‘nggak baik-baik’
“di
suratnya ditulis mau ada acara keluarga, tapi sebenernya dia mendaki. Gila juga
itu anak! Lagi hari sekolah gini dia malah ke gunung. Sendirian lagi”
“sendirian?!”
mataku membulat.
Joshua
mengangguk. “iya, mentang-mentang udah sering mendaki, dia nekat pergi
sendirian” Audi memang sangat suka mendaki gunung. Dia bahkan pernah jadi ketua
ekskul pecinta alam di sekolah.
“efek
patah hati kali, ya”
“patah
hati?”
“kayaknya
sih gitu. Waktu abis pensi dia keliatan galau banget. Diem, nggak semangat,
lihatin handphone terus. Pas gue tanya, dia nggak jawab apa-apa. Kalian lagi
berantem ya? Atau lo putusin dia?”
Aku tak
bisa menjawab pertanyaan Joshua. Aku hanya berusaha menahan diri agar nggak
menangis didepannya.
*
Pulang
sekolah, aku datang ke rumah Audi. Kata Joshua, kalau sesuai perkiraan, Audi
sudah pulang dari mendaki hari ini.
Ternyata
benar, mamanya Audi bilang kalau anak tunggalnya itu sudah pulang mendaki dari
kemarin. beliau dengan ramah mempersilahkanku masuk ke kamar Audi. Dengan ragu,
aku mengetuk pintu lalu masuk ke kamarnya.
Akhirnya
aku bisa melihatnya lagi. Seperti biasa, dia mengenakan jersey Liverpool
favoritnya, duduk diatas karpet sambil menonton TV. Tapi kali ini, aku tahu
pandangan matanya kosong. “Audi?”
Audi
mendongak. “Aura? Lo ngapain kesini?”
Aku
duduk di sampingnya. “pengen ketemu lo aja. Kangen”
“udah
lah, lo cepetan pulang. Nanti cowok lo marah” jawab Audi, cuek. Tapi aku bisa
merasakan cemburu dari nada bicaranya.
“gue
nggak punya cowok. Udah putus”
“bagus lah”
Audi mengambil remote TV lalu memindahan channelnya ke channel khusus olahraga.
Dia memusatkan perhatiannya pada TV, berusaha nggak mempedulikanku.
“tangan
lo kenapa?” tanyaku, melihat lengan kanannya dibalut perban.
“jatuh
waktu mendaki”
“makanya
hati-hati. Kalau lagi mendaki harus fokus” aku mengelus lengannya.
“arhh!
Sakit, Ra” Audi mengerang kesakitan. “gimana gue bisa fokus, kalau di kepala
gue isinya lo doang?”
Aku
terkesiap. “Di… lo…”
“lo
pikir gue nggak patah hati waktu lihat lo jalan sama Andra? Gue sampai nggak
pengen ke sekolah karena gue nggak tahan lihat lo sama Andra. Gue sampai harus
mendaki supaya bisa lupa sama lo. Tapi tetep aja, yang ada di pikiran gue lo
lagi, lo lagi”
Dia lalu
menatap mataku dalam-dalam. “lo nggak akan ngerti, Ra. Gue sayang sama lo. Sumpah,
gue sayang banget sama lo! Cuma lo yang gue butuhin. Gue nggak nembak lo, bukan
karena gue mau main-main sama lo atau cewek-cewek lain, tapi karena gue nggak
bisa ngungkapinnya. Tiap lihat mata lo, gue suka bingung gimana caranya minta
lo jadi cewek gue. Makanya gue cuma ngungkapinnya lewat tindakan, gue pikir lo
bakal ngerti”
“terus…
soal Lulu?”
“waktu
itu gue pergi buat beli perlengkapan properti pensi sama Lulu. Dia yang maksa
gandeng gue, gue sebenernya nggak suka digituin. Gue cuma suka kalau lo yang
gandeng tangan gue. kalau lo pikir gue perlakuin Lulu sama kayak gue perlakuin
lo, itu salah banget. Cuma lo yang gue peluk, yang gue cium, yang gue ajak ke
rumah, yang gue kenalin ke nyokap, yang gue telepon tiap malem, yang selalu gue
bawain martabak keju kalau lagi sakit, yang selalu mau gue lihat dan perhatiin
tiap hari. Cuma lo, nggak ada yang lain”
Aku tersentuh
dan baru menyadari semua. Tanpa mengatakannya, Audi sudah menunjukkan betapa
sayangnya dia padaku setiap hari. “maaf ya, Di. Gue udah bikin lo patah hati.
Gue sebenernya sayang banget sama lo. Gue jadian sama Andra cuma buat
manas-manasin lo doang” aku memeluk Audi. Rasanya tenang sekali.
Audi
tersenyum, lalu melingkarkan lengannya di pinggangku. Mendekapku erat. “Gila!
Gue kangen banget sama lo!”
Setelah
itu, dia mengecup bibirku dengan lembut. Tapi saat akan mengecupku untuk kedua
kalinya, aku menghindar lalu melepaskan pelukanku.
“kenapa?”
tanya Audi, bingung.
“tembak
gue dulu, baru boleh cium lagi” aku tertawa kecil.
Audi
menggenggam tanganku dengan erat. “jadi pacar gue ya, mau?”
“kurang
romantis!” aku menggeleng.
“gue
nggak bisa romantis”
Aku
pura-pura ngambek. “kalau nggak romantis, gue nggak mau!”
Audi
akhirnya mengambil gitarnya lalu menyanyikan need you now-nya lady
antebellum, lagu favoritku. Audi memang punya suara yang merdu, tapi selalu
malas kalau disuruh bernyanyi.
It’s a quarter after one, I’m
all alone and I need you now.
Said I wouldn’t call but I’ve
lost control and I need you now.
And I don’t how I can do
without.
I just need you now.
“Aura
Andania Praditha, gue sayang banget sama lo. Gue boleh jadi pacar lo?”
Aku
langsung mengangguk sambil mengelus pipinya. “I love you, Audi Reza Randitio”
“I love
you too” Audi tersenyum. “boleh cium lagi?”
“nggak
boleh” aku meleletkan lidah.
“kan
udah jadian?”
“maunya
dipeluk aja” kataku, manja.
Audi
langsung memelukku erat. Detik ini juga, aku semakin sadar kalau aku sangat
membutuhkannya, aku nggak mau jauh-jauh lagi darinya.
THE END.
Friendzone... kenapa harus friendzone. Wkwk tapi ini ada kata 'bukan'nya.
ReplyDeleteDimana-mana jadi cewek susah ya. Butuh kepastian. Hm :| #kokjadicurhat
Iya ya, susah jadi cewek wkwk..
DeleteYampunn , sosweet ini mah�� mangats mbar , selalu suka sm cerpennya����
ReplyDeleteMakasih banget, mbar {} baca terus cerpen aku ya hihi :)
ReplyDelete