Sep 11, 2013

catatan teman sekelas



Hai.. apa kabar, kamu? 3 tahun berlalu, sudah banyak yang berubah.  Hidup kamu, hidup aku, dunia kamu, dunia aku, jarak antara kita, dan masih banyak lagi. Satu hal yang masih belum berubah, aku tetap menjadi bagian yang terlupakan di hidup kamu…

Walau hanya menjadi  “pengagum jarak jauh”-mu, aku tahu banyak semua tentang kamu. Sampai detik ini, aku masih bisa merasakan betapa hangatnya senyum yang kamu pancarkan setiap pagi saat memasuki gerbang sekolah. Aku masih bisa mengingat secara rinci bagimana kamu bisa membuat orang-orang di sekitar kamu tertawa dengan lelucon yang kamu lontarkan. Aku masih bisa merasakan semua, meskipun sampai 3 tahun penantianku ini kamu masih menganggap aku tak ada.

Aku tahu orang-orang di sekitarku menganggap aku ini bodoh karena masih menggilai seseorang yang -bahkan- mungkin tak mengingat namaku. Mereka menyarankanku untuk meninggalkan semua pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang berhubungan denganmu, karena itu tak akan pernah berguna. Tapi untuk “move on” seperti yang mereka katakan itu nyatanya tak pernah mudah. Kamu terlalu sempurna untuk jadi yang dilupakan. Kamu terlalu banyak memiliki semua kriteria yang aku inginkan. Pribadi yang menyenangkan, satu iman denganku, datang dari keluarga baik-baik, mudah membuat orang lain tertawa, senyum  yang sehangat matahari pagi, cerdas, pandai berolah raga. Semuanya sudah kamu miliki. Aku tak punya alasan lain untuk tak menyukaimu.

Aku pernah mencoba menghubungimu, lewat social media. Aku pikir walaupun kita takkan bisa “bersama”, kita tetap bisa jadi sahabat baik. Menjadi teman untuk sekedar berbagi cerita denganmu saja pasti akan membuatku bahagia. Tapi sayangnya, kamu menutup semua peluang untuk kebahagiaanku itu. Tak ada pesanku yang kamu jawab. Semuanya kamu abaikan. Sedikit patah hati aku menerima kenyataannya. Tapi di setiap malamku, aku masih selalu berharap “semoga kelak kamu bisa berubah dan bisa memandangku dengan baik”

Lalu apa yang sekarang bisa ku perbuat? Mencoba melupakanmu? Sudah kukatakan itu takkan bisa terjadi. Tapi menunggu Tuhan mempertemukan kita lagi dalam satu tempat yang sama seperti dulu sama saja seperti menunggu turunnya salju di musim kemarau. Harus menunggu keajaiban untuk mewujudkannya.

Pada akhirnya, aku mencoba menahan rasa sakitku.  Aku beranikan diri membuka akun social media-mu lagi. Melihat  setiap “kicauan”-mu dan foto bahagiamu bersama “seseorang” yang terukir di profile akunmu, nampaknya kamu sudah menemukan kebahagiaanmu bersamanya. Melihat senyum bahagiamu itu,  mungkin kali ini aku harus lebih realistis dalam berdoa.  Aku hanya berdoa “semoga kamu bisa bahagia, dengan siapapun yang kamu pilih”



Dengan penuh rasa,

Dari teman sekelasmu di masa SMP

No comments:

Post a Comment