Hai.. apa kabar, kamu? 3 tahun berlalu, sudah banyak
yang berubah. Hidup kamu, hidup aku,
dunia kamu, dunia aku, jarak antara kita, dan masih banyak lagi. Satu hal yang
masih belum berubah, aku tetap menjadi bagian yang terlupakan di hidup kamu…
Walau hanya menjadi
“pengagum jarak jauh”-mu, aku tahu banyak semua tentang kamu. Sampai
detik ini, aku masih bisa merasakan betapa hangatnya senyum yang kamu pancarkan
setiap pagi saat memasuki gerbang sekolah. Aku masih bisa mengingat secara
rinci bagimana kamu bisa membuat orang-orang di sekitar kamu tertawa dengan
lelucon yang kamu lontarkan. Aku masih bisa merasakan semua, meskipun sampai 3
tahun penantianku ini kamu masih menganggap aku tak ada.
Aku tahu orang-orang di sekitarku menganggap aku ini
bodoh karena masih menggilai seseorang yang -bahkan- mungkin tak mengingat
namaku. Mereka menyarankanku untuk meninggalkan semua pikiran-pikiran dan
perasaan-perasaan yang berhubungan denganmu, karena itu tak akan pernah
berguna. Tapi untuk “move on” seperti yang mereka katakan itu nyatanya tak pernah
mudah. Kamu terlalu sempurna untuk jadi yang dilupakan. Kamu terlalu banyak
memiliki semua kriteria yang aku inginkan. Pribadi yang menyenangkan, satu iman denganku, datang
dari keluarga baik-baik, mudah membuat orang lain tertawa, senyum yang sehangat matahari pagi, cerdas, pandai
berolah raga. Semuanya sudah kamu miliki. Aku tak punya alasan lain untuk tak
menyukaimu.
Aku pernah mencoba menghubungimu, lewat social
media. Aku pikir walaupun kita takkan bisa “bersama”, kita tetap bisa jadi sahabat
baik. Menjadi teman untuk sekedar berbagi cerita denganmu saja pasti akan
membuatku bahagia. Tapi sayangnya, kamu menutup semua peluang untuk
kebahagiaanku itu. Tak ada pesanku yang kamu jawab. Semuanya kamu abaikan.
Sedikit patah hati aku menerima kenyataannya. Tapi di setiap malamku, aku masih
selalu berharap “semoga kelak kamu bisa berubah dan bisa memandangku dengan
baik”
Lalu apa yang sekarang bisa ku perbuat? Mencoba
melupakanmu? Sudah kukatakan itu takkan bisa terjadi. Tapi menunggu Tuhan mempertemukan
kita lagi dalam satu tempat yang sama seperti dulu sama saja
seperti menunggu turunnya salju di musim kemarau. Harus menunggu keajaiban untuk
mewujudkannya.
Pada akhirnya, aku mencoba menahan rasa
sakitku. Aku beranikan diri membuka akun
social media-mu lagi. Melihat setiap
“kicauan”-mu dan foto bahagiamu bersama “seseorang” yang terukir di profile
akunmu, nampaknya kamu sudah menemukan kebahagiaanmu bersamanya. Melihat senyum
bahagiamu itu, mungkin kali ini aku
harus lebih realistis dalam berdoa. Aku
hanya berdoa “semoga kamu bisa bahagia, dengan siapapun yang kamu pilih”
Dengan penuh
rasa,
Dari teman
sekelasmu di masa SMP
No comments:
Post a Comment