LDR
“Cha, aku lolos SNMPTN!
Aku diterima di UGM!!”
Aku cuma bisa menatap
matanya lurus-lurus. Binar matanya memancarkan luapan kebahagiaan yang sekarang
dia rasakan. Arief, sekarang resmi diterima di UGM. Universitas Gadjah Mada, di
Jogja, dan aku di Jakarta. LDR… huh..
Aku diam saja saat
Arief semangat bercerita tentang seluk beluk UGM, kelebihan UGM, semua hal menarik tentang Jogja, dan betapa
beruntungnya dia bisa masuk UGM. Bisa masuk Universitas negeri memang impian
terbesar Arief sejak masih duduk di bangku SMA. Aku dan Arief sama-sama
mendaftar masuk UGM, tapi aku gagal. Arief memang lebih pintar, dan bukan
sebuah kejutan besar kalau dia bisa masuk UGM dan masuk dalam ‘10 besar nilai
tertinggi’
“aku nggak nyangka,
akhirnya aku diterima di UGM! Walaupun impian utama aku buat masuk ITB gak
tercapai, tapi aku bersyukur banget bisa masuk UGM. UGM kan bagus juga. Memang
aku jodohnya di UGM kali, ya? Hahaha..” kata Arief, antusias. Aku mengangguk
pelan dengan senyum yang terlihat dipaksakan. Bulir-bulir air mata yang sejak
tadi kutahan sepertinya akan mulai berhamburan. Dan Arief, sudah bisa melihat
ada yang gak beres dariku.
“kamu sedih? Kenapa?”
“aku nggak keterima di
UGM, Rief..” kataku sambil menumpahkan air mata yang sejak tadi tertahan. “aku
kuliahnya di Jakarta”
Arief tersenyum sambil
menyeka air mataku. “gak papa, sayang. Mungkin bukan rezekinya kamu di UGM.
Lagian kampus di Jakarta juga masih banyak yang bagus, kok. Jangan cengeng gitu
dong, aku gak suka lihatnya”
“bukan soal kuliahnya,
tapi kitanya, Rief!! Jakarta – Jogja itu jauh. Berarti kita bakal LDR-an, dong.
Pasti nanti jarang ketemu, jarang ngobrol, jadi jauh. Terus… terus… bentar lagi
pasti bakal putus. Aku gak mau gitu huhuhu..” jawabku sambil terus menangis.
Aku sering mendengar cerita dari teman-teman dan sepupu-sepupuku yang menjalani
hubungan LDR atau Long Distance Relationship,
dan sebagian besar harus berakhir dengan kata PUTUS. Aku gak mau kalau
hubungan aku dan Arief harus berakhir cuma karena jarak 600 kilometer yang memisahkan
Jakarta dan Jogja.
Arief langsung tertawa
mendengar kata-kataku tadi. Kebiasaan Arief, selalu tertawa saat aku dalam
keadaan mellow seperti ini. Merusak suasana banget. “kita gak bakal kayak gitu,
Acha sayang” Arief menjawil hidungku, membuat senyumku kembali terbit. “terus
apa gunanya Iphone? Buat apa ada telepon, SMS, email, twitter, Skype, kalau
bukan buat kita pake komunikasi? Kita bisa ngobrol dan ‘ketemu’ kapanpun kamu mau”
“tapi kan kamu jarang
nyalain telepon, jarang online juga”
“nanti aku nyalain
telepon terus, online juga diseringin. Aku janji” Arief tersenyum sambil
mengacungkan 2 jarinya. Aku menganguk dan membalas senyumnya, tanda kalau aku
percaya dia.
*
Bandara Soekarno Hatta…
Aku benci saat hari ini
akhirnya harus datang juga. Hari ini, aku bersama keluarganya mengantar
kepergian Arief ke Jogja. Perkuliahan baru dimulai minggu depan, tapi Arief
bilang, sebagai anak kost dia harus banyak persiapan disana. Jadi hari ini dia
harus berangkat. Ya, hari ini. Hari ini hari terakhir aku melihat dia dan
senyumnya secara ‘live’, setidaknya
sampai 6 bulan kedepan. Oh..
“kamu baik-baik disana,
ya. Jangan males mandi, jangan lupa makan, jangan lupa sholat, jangan
selingkuh, jangan deket-deketin cewek-cewek Jogja yang cantik-cantik disana,
jangan lupa hubungin aku juga, ya” aku memberikan nasihat kecil sebelum dia
pergi.
“iya, kamu juga baik-baik disini, ya. Jangan
cengeng, jangan males belajar, jangan selingkuh, jangan mau dideketin sama
cowok-cowok Jakarta yang gak lebih ganteng dari aku. Tungguin aku pulang” Arief
membalas memberikan nasihat juga.
Arief melangkahkan
kakinya meninggalkanku sambil menyiapkan tiketnya. Tapi, sesaat kemudian dia
berbalik arah, dan kembali menghampiriku.
“kenapa balik lagi?”
Arief tersenyum
kepadaku. “lupa, hari ini belum bilang ‘aku sayang kamu’” oh, Arief selalu tahu
cara membuatku ‘meleleh’. Dia selalu ingat perjanjian 3 tahun lalu, sejak hari
pertama kami jadian. Perjanjian yang berisi kalau setiap hari Arief wajib
mengucapkan kata ‘aku sayang kamu’, minimal 1 kali dalam sehari. Perjanjian
yang lucu dan aneh, tapi Arief selalu mengingat itu setiap hari.
Bulir-bulir air mataku
mulai berjatuhan lagi. “aku juga sayang kamu” jawabku sambil memeluknya.
Arief ikut memelukku
sambil mengelus rambut panjangku. “tuh, baru dibilangin jangan cengeng,
sekarang udah nangis lagi”
“biarin” kataku, manja
sambil terus memeluknya.
*
Jakarta – Jogja, bulan
ke-1
Aku kenal Arief sejak
aku dan dia duduk di bangku SMP yang sama. Masuk SMA, kita diterima di SMA
negeri yang sama. Sejak masuk SMA, Arief mulai rajin mendekatiku, salah satunya
dengan cara membantu mengerjakan tugas-tugasku sebagai pengurus mading. Lalu
mulai berani mengajakku ‘ngedate’, dan
akhirnya di tanggal 8 agustus, Arief mengungkapkan semua perasaannya kepadaku,
atau bisa dibilang ‘nembak’. Dan sejak hari itu, aku resmi jadi pacarnya.
Aku suka Arief,
walaupun sebenarnya gak banyak yang istimewa dari Arief. Arief bukan termasuk
golongan populer di sekolah. Arief yang kukenal adalah seorang cowok yang
ramah, jahil, lucu, selalu membuatku bisa tertawa, sederhana, dan sejak kecil
bercita-cita jadi arsitek. Dia suka menggambar, terutama menggambar desain
rumah. Dan sekarang, mimpinya sudah di depan mata. Teknik arsitektur sudah
menunggu dia di Jogja sana. Aku harus mengalah sebentar, membiarkan dia
mengejar mimpinya dulu disana, dan aku disini.
Oh iya, ini sudah 1
minggu aku dan Arief jadi ‘anggota’ LDR. 1 minggu gak bertemu dia rasanya aneh
juga, soalnya dulu saat masih sekolah kami hampir setiap hari bertemu. Jadi aku
dan Arief sudah janjian lewat SMS, kalau nanti malam kita akan ber-skype-an.
Aku jadi gak sabar menunggu malam hihi…
Malam tiba, aku sudah
duduk manis di depan laptopku. Menunggu Arief menyalakan account skypenya. Dan
gak lama, icon account skype Arief mulai menyala. Aku langsung memasang
senyuman paling manis di wajahku.
“hai, cantik…” sapanya
saat wajahnya mulai muncul di layar laptopku. Dia menggunakan polo shirt warna
hitam yang biasa kulihat. Mungkin dia baru pulang kuliah.
“hai, baru pulang
kuliah, ya? Gimana rasanya kuliah disana?”
“iya, baru pulang.
Rasanya capek banget sih, tapi seru. Aku suka kuliah disini. Kalau kamu gimana?
Seru gak, jadi anak ekonomi?”
“ya, gitu deh. Kan baru
mulai, jadi masih seru-seru aja. Tapi rasanya aneh banget, sekarang gak ada
kamu yang nemenin belajar lagi. Jadi males, deh…”
“ah, itu sih bukan
masalah males belajarnya. Bilang aja kamu kangen, pengen deket-deket aku lagi.
Iya, kan? Hahaha…” Arief malah menggodaku.
“ih, apaan sih? Siapa
juga yang kangen?!” aku langsung cemberut.
Di seberang sana,
reaksi Arief cuma diam sambil menatapku. Tanpa sepatah kata pun.
“kamu kok diem?”
“kamu bener tadi. Gak
ada kamu rasanya jadi beda, aneh banget”
Loh? Kok dia tiba-tiba
jadi serius gini, ya?
“kamu nggak kangen aku,
ya? Padahal aku kangen kamu banget. Gak tahu kenapa, aku jadi sedih kamu
ngomong kayak tadi” raut wajahnya kelihatan sedih. Aduh, apa aku salah ngomong?
Apa dia beneran kangen?
“aku tadi bercanda,
sayang. Jangan sedih gitu. Aku juga sebenernya kangen banget sama kamu. Makanya
aku minta skype-an” kataku, merasa bersalah.
Tapi Arief tiba-tiba
tertawa. Padahal suasana lagi serius kayak gini. “tuh, kan? Kamu beneran
kangen. Aku udah duga, kamu pasti kangen banget sama aku yang ganteng ini. Pake
gak ngaku segala lagi”
“hih.. jadi kamu tadi
cuma ngerjain aku aja, gitu? gak lucu!!” aku jadi kesal sendiri. Arief memang
jahil banget,.
“ciee ngambek. Senyum
dong, jangan bête gitu”
“…”
“ya udah, gak papa.
Kamu cemberut juga masih keliatan cantik” lalu Arief menatapku lagi. “Aku
sayang kamu, Cha”
*
Jakarta – Jogja, bulan
ke-3…
Satu bulan pertama,
hubungan LDR aku dan Arief masih manis, rasanya gak ada jarak yang memisahkan
kita. Tapi di bulan-bulan berikutnya Arief mulai terasa jauh. Jangankan nelpon
dan SMS, nyalain telepon aja jarang. Online lewat Twitter atau Skype juga
jarang. Somehow, aku mulai merasa kehilangan dia…
Dan setelah seminggu
menghilang tanpa kabar, Arief akhirnya muncul juga.
“halo” sapanya dari
ujung telepon sana.
“halo!!” jawabku ketus.
“kenapa, sih? lagi
bête, ya? Galak banget jawabnya”
“kamu yang kenapa?!! Kemana
aja? Kenapa baru nelpon sekarang? Kenapa gak pernah online? Kenapa ngilang gitu
aja? Aku bingung gimana nyariin kamu. Aku kira kamu kenapa-kenapa” kataku cepat,
langsung meluapkan semua kekesalan dan kecemasan yang tertahan sejak seminggu
yang lalu.
“udah marahnya?” tanya
Arief, tenang. Aku diam, gak menjawab. “kalau gitu sekarang cerita sekali lagi,
pelan-pelan, kamu kenapa?”
“aku... aku…” mataku
mulai berkaca-kaca. “aku kangen... pengen kamu pulang”
“sama, aku juga kangen.
Kamu sa…”
“aku kangen, Rief!! Aku
ini cewek, lebih pake perasaan. Kamu kan cowok, nggak bakalan ngerti. Aku
kepikiran kamu terus huhuhu..” tangisku mulai pecah.
Cukup lama Arief diam,
beberapa menit kemudian baru mulai bicara lagi. “kamu coba keluar sekarang,
lihat bintang malam ini”
“ngapain lihat bintang?
Kayak di sinetron aja. Bintang kan tiap hari juga ada”
“gimana sih? Diajakin
romantis dikit malah gak mau” Arief melengos. “keluar dulu sebentar, nanti aku
jelasin. Aku juga lagi diluar, lagi lihatin bintang”
Aku akhirnya beranjak
ke balkon kamar untuk melihat bintang di langit malam ini. Biasa aja. “udah
diluar nih, udah lihat bintang juga. Terus ngapain lagi?”
“kamu tahu, gak? Hampir
setiap malam aku lihatin bintang kayak gini..”
“kenapa?”
“karena, menurut aku,
bintang itu kamu. Tanpa kamu, langit aku gak ada bintangnya” ini terdengar
persis seperti dialog-dialog di sinetron. Tapi aku yakin kali ini Arief
mengatakannya pakai hati. Aku tetap diam, sambil mendengarkan.
“udah 3 bulan kita gak
ketemu, ya. Aku kangen disisirin rambut sama kamu lagi, kangen dipakein hand
sanitizer sama kamu setiap selesai ngegambar, kangen dimarahin kamu tiap aku
lupa makan, kangen lihat kamu ngambek tiap aku lupa ngecharge handphone, dan
yang pasti aku kangen lihat senyum kamu. Aku setiap hari kangen semua itu,
karena aku sayang kamu, selalu”
Air mataku masih
berlinang. Arief bahkan kangen sama hal-hal kecil yang mulai aku lupakan.
Sekarang aku sadar kalau kadar ‘kangen’
aku dan Arief ternyata sama besarnya.
“maaf ya, seminggu ini
aku nggak bisa ngabarin kamu. Tugas kuliah sekarang lagi banyak-banyaknya.
Handphone gak aktif karena lupa di charge, kan sekarang gak ada kamu lagi yang ngingetin. Nanti kalau tugasnya udah
selesai semua, kita skype-an lagi”
“iya, nanti skype-an
lagi, ya” aku mulai tersenyum. Tenang rasanya setelah dengar semua penjelasan
dari Arief tadi.
“bintangnya lagi
banyak, pasti kamu sekarang lagi cantik-cantiknya, ya? Yah, sayang banget
sekarang lagi ngak skype-an. Gak bisa lihat kamu cantiknya gimana”
“gombal ih, kamu!” aku
tersipu malu dengan gombalan sederhananya itu.
*
Akhir-akhir ini aku
lagi banyak masalah di kampus. Tugas lagi banyak-banyaknya, belum lagi aku
belum bisa beradaptasi sama pergaulan teman-teman di kampus yang beda jauh sama
teman-teman di SMA dulu. Kalau sudah begini, aku jadi kangen teman-teman SMA,
termasuk sama Arief juga.
Rasanya pengin banget
cerita banyak sama Arief tentang masalah kampus. Walaupun aku sudah sering
curhat ke teman-teman lain, tapi rasanya belum tenang kalau belum cerita ke
Arief. Tapi disaat aku lagi butuh-butuhnya banget, Arief malah menghilang
lagi. Telepon dariku selalu gagal
tersambung. Semua pesan-pesanku lewat social media juga gak pernah dia balas. Karena
itu akhir-akhir ini aku jadi sering menangis semalaman. Selain masalah kampus
masalah Arief yang gak pernah ada kabar juga menambah beban pikiranku..
Aku mulai berpikir,
percuma juga punya pacar tapi gak pernah saling ketemu. Apa gunanya punya pacar
kalau saat dibutuhin dia malah gak ada? Ya aku tahu, disana Arief sibuk kuliah,
tapi kalau kita putus bukannya bakal lebih baik? Arief bisa serius kuliah tanpa
aku ganggu, dan aku gak perlu khawatir atau nangis semalaman karena memikirkan
Arief terus. Tapi, bilang kata PUTUS masih terlalu berat untukku.
Aku masih bergelut
dengan tugas kuliahku yang setumpuk, saat handphone yang kusimpan dia atas meja
berdering. Tertulis nama Arief di layarnya. Aku mengangkatnya malas-malasan.
“halo”
“halo, sayang. Lagi
ngapain?”
“lagi sibuk. Tumben
kamu nelpon, aku kira udah lupa sama aku!!” jawabku ketus.
“kamu kenapa lagi, sih?
Lagi PMS, ya?”
“kalau tiap ngomong
sama kamu rasanya kayak PMS terus, tahu gak?! Bikin emosi, jadi pengen
marah-marah terus!!!”
“nyalain skype
sekarang, ya. Kita ngomong langsung, biar jelas ceritanya” aku langsung
menyalakan account skype-ku, dan gak lama wajah tampan Arief sudah mucul di
layar laptop. Sedangkan wajahku masih cemberut.
“jadi ada masalah apa
sama kampus? Kenapa juga pengen putus?” tanya Arief.
“kamu tahu dari mana?”
“dari tweet-tweet kamu.
Kamu kan sekarang rajin banget ngetweet galau gitu”
“tumben banget online
twitter. Katanya lagi sibuk ngerjain tugas?”
“ya udah, itu gak
penting. Sekarang ceritain semuanya, aku siap denger”
“aku lagi pusing
banget, temen-temen di kampus beda banget sama temen-temen di SMA. Mereka
kayaknya gak suka sama aku, kayaknya ngerendahin aku banget. Aku gak suka sifat
mereka yang sombong-sombong itu. Belum lagi tugas kuliah lagi banyak-banyaknya.
Gak ada kamu yang bantuin aku. Kamu malah ngilang, aku hubungin gak bisa. Aku
kan butuh kamu”
“jadi karena itu pengen
putus?” tanya Arief lagi, aku mengangguk pelan. “kamu harus belajar buat
ngadapin semua masalah kamu secara dewasa, jangan kayak anak kecil terus. Kamu
harus lebih kuat, kamu terlalu lemah jadi cewek!”
Aku rasa kata-kata
Arief kali ini agak kasar, walaupun ada benarnya juga. Tapi.. yang aku butuh
sekarang cuma dia, ada disini. “iya, aku lemah banget.. makanya aku butuh
kamu..” kataku pelan. Suaraku melemah, dan aku mulai menangis, lagi. Tapi
tangisan kali ini lebih panjang.
Saat aku menangis,
Arief cuma diam sambil menatapku dari Jogja sana. Sampai akhirnya dia mulai
bicara. “aku selalu takut nyakitin hati kamu dan aku sebenernya gak pernah tega
lihat kamu nangis. Tapi semenjak LDRan, aku jadi sering nyakitin hati kamu dan bikin
kamu nangis. Tolong, jangan bikin aku merasa bersalah terus kayak gini”
“kita berjuang
sama-sama, ya? Kamu berjuang nyelsain kuliah disana, aku juga berjuang nyelsain
kuliah disini. 3 bulan lagi aku pulang, selama itu kamu pasti kuat ngadapin
masalah kamu sendiri. Semangat ya, aku sayang kamu”
“aku juga sayang
kamu..” kataku sambil mengelap air mata.
*
Jakarta, bulan ke-6…
Akhirnya hari ini
datang juga. Setelah melewati berbagai macam berantem-baikkan 6 bulan LDR-an,
Arief akhirnya pulang juga ke Jakarta. Pesawat Arief baru akan landing di
bandara tengah malam nanti. Arief melarang aku ikut menjemput, karena waktunya
terlalu malam dan besoknya aku masih harus ke kampus.
Jadi, Arief sudah
berjanji untuk menjemputku dari kampus siang ini. Ini pertemuan pertama kita setelah 6 bulan
cuma bekomunikasi lewat telepon atau skype.
Ini sudah lewat dari 30
menit dari waktu yang sudah kita sepakati, tapi belum ada tanda-tanda dia sudah
tiba di kampus. Apa dia lupa? Aghh.. Arief ini…
“halo, kamu dimana? Ini
udah telat 30 menit!! Kamu lupa mau jemput aku, ya?” kataku lewat sambungan
telepon.
“nggak lupa, sayang.
Tadi ada urusan penting sebentar, ini lagi mau jalan. Tutup dulu teleponnya,
ya. Kalau kamu nelpon terus aku gak bisa nyetir”
“ya udah, aku tunggu 30
menit lagi. Kalau kamu masih belum dateng juga, aku pulang sendiri aja!”
Telepon terputus.
*
Telat 30 menit kedua
sudah terlewati. Ini berarti sudah 1 jam Arief ngaret. Aku putuskan untuk
pulang sendiri naik kendaraan umum. Ini berarti, hari pertama kita bertemu lagi
akan dihabiskan dengan berantem, lagi.
Di dalam angkutan umum,
aku mencoba menelpon Arief lagi untuk bilang kalau rencana ngedate kita resmi
batal. Lama gak ada jawaban, sampai akhirnya telepon diangkat juga.
“halo” terdengar suara
perempuan di seberang sana. Loh? Kok suara cewek?
“halo, ini siapa ya?”
tanyaku ragu-ragu.
“ini tante, maminya
Arief. Acha, kan?” Apa? maminya Arief
nelpon? Aku makin bingung.
“iya, ini Acha, tante.
Ariefnya ada?”
“iya itu, Cha. Arief
tadi baru aja kecelakaan, tabrakan. Tante sekarang lagi ada di rumah sakit.
Nunggu hasil pemeriksaannya Arief”
Astaga, Arief
kecelakaan!! Rasanya seluruh tubuhku langsung lemas. Aku bahkan hampir
menjatuhkan handphone yang kupegang. “Ar..Arief kecelakaan, tante? Sekarang ada
di rumah sakit mana?” tanyaku, panik.
“di RS. Medica. Kalau
bisa Acha cepet kesini, temenin tante. Soalnya tante sendirian disini. Papi
sama Arina belum bisa kesini”
“iya, tante. Aku kesana
sekarang. Makasih”
Tanpa pikir panjang
lagi, aku langsung menuju rumah sakit.
*
Sepanjang perjalanan
ke rumah sakit, aku isi dengan berdoa.
Rasanya semua marah dan kesalku pada Arief sudah lenyap entah kemana. Aku tahu,
ini pasti salahku yang menyuruhnya untuk buru-buru. Tuhan, yang kumau sekarang
cuma Arief, keselamatan Arief
Aku sudah sampai di
tempat dimana Arief dirawat. Dia baru saja dipindahkan ke ruang inap. Disana sudah ada maminya
Arief, dan Arina, adik Arief satu-satunya.
Maminya bilang, kecelakaannya lumayan parah dan Arief mengalami patah
tulang di bagian lengan kanan akibat kecelakaan tadi. Aku benar-benar merasa
bersalah.
Aku masuk ke dalam
ruang inap, disana ada Arief yang berbaring dengan tangan kanan dibalut gips.
Menyapaku dengan senyum ramah khasnya.
“hai..”
Tanpa menjawab
sapaannya, aku langsung duduk di bangku samping tempat tidurnya dan mengelus lembut
wajahnya yang dihiasi memar di bagian kening. “kamu kenapa, Rief? Kok jadi kayak gini?” tanyaku, panik sambil
menangis.
“aku gak papa. Cuma
kecelakaan kecil aja tadi. Gak hati-hati, sih” Arief menjawab sambil tetap
tersenyum. Gak terlihat kalau tadi dia baru saja terlibat kecelakaan yang
hampir merengut nyawanya.
“kecelakaan kecil?! gak
papa gimana?! Tangan kamu patah, masih bisa bilang gak papa? Ini jelas ada
apa-apa, Arief!!” tangisku tambah keras.
“aku yang sakit, kok
kamu yang nangis?” arief malah tertawa.
“kan, aku yang salah.
Aku yang nyuruh kamu buru-buru tadi”
“Yang nyetir itu aku,
bukan kamu. Jadi yang salah ya, aku. Lagian aku beneran gak papa, kok. Cuma
patah tulang dikit. Aku masih hidup, masih bisa ngobrol sama kamu, gini. Apanya
yang apa-apa?”
“tapi, kamu juga salah
sih” Arief tiba-tiba jadi serius.
“aku minta maaf, ya?”
kataku, pelan.
“aku maafin, tapi kamu
harus…” Arief tersenyum penuh kemenangan. “cium aku dulu”
Wajahku langsung merah
padam. “ih, apaan sih!! Bercanda terus!!”
“siapa yang bercanda?
Kamu memang beneran salah. Jengukin pacar yang lagi sakit, bukannya
disayang-sayang malah ditangisin”
“iya deh, aku minta
maaf ya, sayang” kataku sambil membelai pelan rambutnya.
“eh, ngomong-ngomong kamu
kok cantikan sekarang? Lagi punya gebetan baru di kampus, ya?”
“ih, kok nanyanya kayak
gitu, sih? Nggak lah!!”
“ya udah, gak usah
marah gitu. Bercanda, kok hahaha..” Arief lalu menatap mataku dalam-dalam.
“kalau kita berdua udah lulus kuliah, nikah yuk?”
“kita kan masih 18
tahun, jangan ngomongin nikah-nikahan dulu, ah. Belajar dulu yang bener, baru
nikah” kataku sambil tersenyum manis.
“tapi tungguin, ya? 3,5
tahun lagi aku baru bisa balik ke Jakarta”
Aku mengangguk pasti.
“iya, aku tungguin”
“ngomong-ngomong, gak
mau peluk, nih? Gak kangen?”Arief merentangkan tangan kirinya.
“gak ah, lagi gak
kangen” candaku.
“aduh, badan aku sakit
semua, nih” Arief tiba-tiba mengerang kesakitan. Aku langsung panik. “kayaknya
harus kamu peluk, biar gak sakit”
Hhh.. bercanda lagi.
Tapi kali ini aku gak mau marah, aku langsung memeluknya. Arief lalu membelai
rambutku dengan tangan kirinya, lalu mencium keningku. “aku sayang kamu, Cha”
Selesai.
(y) Sebuah cerpen yang bagus (y)
ReplyDeleteTerimakasih :)
Deleteterima kasih :)
ReplyDeleteBaru bacaa nih,publish lama padahal :3 ini buat sndirikah? baguuus,andaikan aja ada cowok kayk gitu -_- hngg,bahagiaa banget.Tapi susah juga ya ldr an tanpa ada komunikasi.Eh tapi ini sweet loh (y) likelike it! :3
ReplyDeleteHihi makasih makasih :3 yap, ini aku sendiri yg buat ^_^
DeleteApakah benar cerpen ini anda yang buat sendiri ? Saya tidak terlalu percaya , karena di LINE terdapat cerpen yang memiliki judul dan isi yang sama dengan cerpen yang anda buat sendiri ini , maka dari itu , saya tidak percaya kalau anda sendiri yang membuat cerpen ini .
ReplyDeleteSaya bisa jamin kalau semua cerpen dan artikel yang ada di blog ini 100% original, buatan saya sendiri. Lagian cerpen ini udah lama saya post, kalau di line sampai ada cerita yang serupa, berarti dia yang menjiplak karya saya.
ReplyDeletebenar itu kak.. mereka hanya mengcopy paste, tanpa memberikan darimana asal sumber nya, seakan mereka sendiri yag membuat cerpen ini...hanya orang yang ingin coll dia tuh kak..
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteterharu saya kak baca nya,ne pengalaman kakak ya?
Delete