Jan 14, 2014

cerpen: LDR



 LDR


“Cha, aku lolos SNMPTN! Aku diterima di UGM!!”
Aku cuma bisa menatap matanya lurus-lurus. Binar matanya memancarkan luapan kebahagiaan yang sekarang dia rasakan. Arief, sekarang resmi diterima di UGM. Universitas Gadjah Mada, di Jogja, dan aku di Jakarta. LDR… huh..
Aku diam saja saat Arief semangat bercerita tentang seluk beluk UGM, kelebihan UGM,  semua hal menarik tentang Jogja, dan betapa beruntungnya dia bisa masuk UGM. Bisa masuk Universitas negeri memang impian terbesar Arief sejak masih duduk di bangku SMA. Aku dan Arief sama-sama mendaftar masuk UGM, tapi aku gagal. Arief memang lebih pintar, dan bukan sebuah kejutan besar kalau dia bisa masuk UGM dan masuk dalam ‘10 besar nilai tertinggi’
“aku nggak nyangka, akhirnya aku diterima di UGM! Walaupun impian utama aku buat masuk ITB gak tercapai, tapi aku bersyukur banget bisa masuk UGM. UGM kan bagus juga. Memang aku jodohnya di UGM kali, ya? Hahaha..” kata Arief, antusias. Aku mengangguk pelan dengan senyum yang terlihat dipaksakan. Bulir-bulir air mata yang sejak tadi kutahan sepertinya akan mulai berhamburan. Dan Arief, sudah bisa melihat ada yang gak beres dariku.
“kamu sedih? Kenapa?”
“aku nggak keterima di UGM, Rief..” kataku sambil menumpahkan air mata yang sejak tadi tertahan. “aku kuliahnya di Jakarta”
Arief tersenyum sambil menyeka air mataku. “gak papa, sayang. Mungkin bukan rezekinya kamu di UGM. Lagian kampus di Jakarta juga masih banyak yang bagus, kok. Jangan cengeng gitu dong, aku gak suka lihatnya”
“bukan soal kuliahnya, tapi kitanya, Rief!! Jakarta – Jogja itu jauh. Berarti kita bakal LDR-an, dong. Pasti nanti jarang ketemu, jarang ngobrol, jadi jauh. Terus… terus… bentar lagi pasti bakal putus. Aku gak mau gitu huhuhu..” jawabku sambil terus menangis. Aku sering mendengar cerita dari teman-teman dan sepupu-sepupuku yang menjalani hubungan LDR atau Long Distance Relationship, dan sebagian besar harus berakhir dengan kata PUTUS. Aku gak mau kalau hubungan aku dan Arief harus berakhir cuma karena jarak 600 kilometer yang memisahkan Jakarta dan Jogja.
Arief langsung tertawa mendengar kata-kataku tadi. Kebiasaan Arief, selalu tertawa saat aku dalam keadaan mellow seperti ini. Merusak suasana banget. “kita gak bakal kayak gitu, Acha sayang” Arief menjawil hidungku, membuat senyumku kembali terbit. “terus apa gunanya Iphone? Buat apa ada telepon, SMS, email, twitter, Skype, kalau bukan buat kita pake komunikasi? Kita bisa ngobrol dan ‘ketemu’ kapanpun kamu mau”
“tapi kan kamu jarang nyalain telepon, jarang online juga”
“nanti aku nyalain telepon terus, online juga diseringin. Aku janji” Arief tersenyum sambil mengacungkan 2 jarinya. Aku menganguk dan membalas senyumnya, tanda kalau aku percaya dia.
*
Bandara Soekarno Hatta…
Aku benci saat hari ini akhirnya harus datang juga. Hari ini, aku bersama keluarganya mengantar kepergian Arief ke Jogja. Perkuliahan baru dimulai minggu depan, tapi Arief bilang, sebagai anak kost dia harus banyak persiapan disana. Jadi hari ini dia harus berangkat. Ya, hari ini. Hari ini hari terakhir aku melihat dia dan senyumnya secara ‘live’, setidaknya sampai 6 bulan kedepan. Oh..
“kamu baik-baik disana, ya. Jangan males mandi, jangan lupa makan, jangan lupa sholat, jangan selingkuh, jangan deket-deketin cewek-cewek Jogja yang cantik-cantik disana, jangan lupa hubungin aku juga, ya” aku memberikan nasihat kecil sebelum dia pergi.
 “iya, kamu juga baik-baik disini, ya. Jangan cengeng, jangan males belajar, jangan selingkuh, jangan mau dideketin sama cowok-cowok Jakarta yang gak lebih ganteng dari aku. Tungguin aku pulang” Arief membalas memberikan nasihat juga.
Arief melangkahkan kakinya meninggalkanku sambil menyiapkan tiketnya. Tapi, sesaat kemudian dia berbalik arah, dan kembali menghampiriku.
“kenapa balik lagi?”
Arief tersenyum kepadaku. “lupa, hari ini belum bilang ‘aku sayang kamu’” oh, Arief selalu tahu cara membuatku ‘meleleh’. Dia selalu ingat perjanjian 3 tahun lalu, sejak hari pertama kami jadian. Perjanjian yang berisi kalau setiap hari Arief wajib mengucapkan kata ‘aku sayang kamu’, minimal 1 kali dalam sehari. Perjanjian yang lucu dan aneh, tapi Arief selalu mengingat itu setiap hari.
Bulir-bulir air mataku mulai berjatuhan lagi. “aku juga sayang kamu” jawabku sambil memeluknya.
Arief ikut memelukku sambil mengelus rambut panjangku. “tuh, baru dibilangin jangan cengeng, sekarang udah nangis lagi”
“biarin” kataku, manja sambil terus memeluknya.
*
Jakarta – Jogja, bulan ke-1
Aku kenal Arief sejak aku dan dia duduk di bangku SMP yang sama. Masuk SMA, kita diterima di SMA negeri yang sama. Sejak masuk SMA, Arief mulai rajin mendekatiku, salah satunya dengan cara membantu mengerjakan tugas-tugasku sebagai pengurus mading. Lalu mulai berani  mengajakku ‘ngedate’, dan akhirnya di tanggal 8 agustus, Arief mengungkapkan semua perasaannya kepadaku, atau bisa dibilang ‘nembak’. Dan sejak hari itu, aku resmi jadi pacarnya.
Aku suka Arief, walaupun sebenarnya gak banyak yang istimewa dari Arief. Arief bukan termasuk golongan populer di sekolah. Arief yang kukenal adalah seorang cowok yang ramah, jahil, lucu, selalu membuatku bisa tertawa, sederhana, dan sejak kecil bercita-cita jadi arsitek. Dia suka menggambar, terutama menggambar desain rumah. Dan sekarang, mimpinya sudah di depan mata. Teknik arsitektur sudah menunggu dia di Jogja sana. Aku harus mengalah sebentar, membiarkan dia mengejar mimpinya dulu disana, dan aku disini.
Oh iya, ini sudah 1 minggu aku dan Arief jadi ‘anggota’ LDR. 1 minggu gak bertemu dia rasanya aneh juga, soalnya dulu saat masih sekolah kami hampir setiap hari bertemu. Jadi aku dan Arief sudah janjian lewat SMS, kalau nanti malam kita akan ber-skype-an. Aku jadi gak sabar menunggu malam hihi…
Malam tiba, aku sudah duduk manis di depan laptopku. Menunggu Arief menyalakan account skypenya. Dan gak lama, icon account skype Arief mulai menyala. Aku langsung memasang senyuman paling manis di wajahku.
“hai, cantik…” sapanya saat wajahnya mulai muncul di layar laptopku. Dia menggunakan polo shirt warna hitam yang biasa kulihat. Mungkin dia baru pulang kuliah.
“hai, baru pulang kuliah, ya? Gimana rasanya kuliah disana?”
“iya, baru pulang. Rasanya capek banget sih, tapi seru. Aku suka kuliah disini. Kalau kamu gimana? Seru gak, jadi anak ekonomi?”
“ya, gitu deh. Kan baru mulai, jadi masih seru-seru aja. Tapi rasanya aneh banget, sekarang gak ada kamu yang nemenin belajar lagi. Jadi males, deh…”
“ah, itu sih bukan masalah males belajarnya. Bilang aja kamu kangen, pengen deket-deket aku lagi. Iya, kan? Hahaha…” Arief malah menggodaku.
“ih, apaan sih? Siapa juga yang kangen?!” aku langsung cemberut.
Di seberang sana, reaksi Arief cuma diam sambil menatapku. Tanpa sepatah kata pun.
“kamu kok diem?”
“kamu bener tadi. Gak ada kamu rasanya jadi beda, aneh banget”
Loh? Kok dia tiba-tiba jadi serius gini, ya?
“kamu nggak kangen aku, ya? Padahal aku kangen kamu banget. Gak tahu kenapa, aku jadi sedih kamu ngomong kayak tadi” raut wajahnya kelihatan sedih. Aduh, apa aku salah ngomong? Apa dia beneran kangen?
“aku tadi bercanda, sayang. Jangan sedih gitu. Aku juga sebenernya kangen banget sama kamu. Makanya aku minta skype-an” kataku, merasa bersalah.
Tapi Arief tiba-tiba tertawa. Padahal suasana lagi serius kayak gini. “tuh, kan? Kamu beneran kangen. Aku udah duga, kamu pasti kangen banget sama aku yang ganteng ini. Pake gak ngaku segala lagi”
“hih.. jadi kamu tadi cuma ngerjain aku aja, gitu? gak lucu!!” aku jadi kesal sendiri. Arief memang jahil banget,.
“ciee ngambek. Senyum dong, jangan bête gitu”
“…”
“ya udah, gak papa. Kamu cemberut juga masih keliatan cantik” lalu Arief menatapku lagi. “Aku sayang kamu, Cha”
*
Jakarta – Jogja, bulan ke-3…
Satu bulan pertama, hubungan LDR aku dan Arief masih manis, rasanya gak ada jarak yang memisahkan kita. Tapi di bulan-bulan berikutnya Arief mulai terasa jauh. Jangankan nelpon dan SMS, nyalain telepon aja jarang. Online lewat Twitter atau Skype juga jarang. Somehow, aku mulai merasa kehilangan dia…
Dan setelah seminggu menghilang tanpa kabar, Arief akhirnya muncul juga.
“halo” sapanya dari ujung telepon sana.
“halo!!” jawabku ketus.
“kenapa, sih? lagi bête, ya? Galak banget jawabnya”
“kamu yang kenapa?!! Kemana aja? Kenapa baru nelpon sekarang? Kenapa gak pernah online? Kenapa ngilang gitu aja? Aku bingung gimana nyariin kamu. Aku kira kamu kenapa-kenapa” kataku cepat, langsung meluapkan semua kekesalan dan kecemasan yang tertahan sejak seminggu yang lalu.
“udah marahnya?” tanya Arief, tenang. Aku diam, gak menjawab. “kalau gitu sekarang cerita sekali lagi, pelan-pelan, kamu kenapa?”
“aku... aku…” mataku mulai berkaca-kaca. “aku kangen... pengen kamu pulang”
“sama, aku juga kangen. Kamu sa…”
“aku kangen, Rief!! Aku ini cewek, lebih pake perasaan. Kamu kan cowok, nggak bakalan ngerti. Aku kepikiran kamu terus huhuhu..” tangisku mulai pecah.
Cukup lama Arief diam, beberapa menit kemudian baru mulai bicara lagi. “kamu coba keluar sekarang, lihat bintang malam ini”
“ngapain lihat bintang? Kayak di sinetron aja. Bintang kan tiap hari juga ada”
“gimana sih? Diajakin romantis dikit malah gak mau” Arief melengos. “keluar dulu sebentar, nanti aku jelasin. Aku juga lagi diluar, lagi lihatin bintang”
Aku akhirnya beranjak ke balkon kamar untuk melihat bintang di langit malam ini. Biasa aja. “udah diluar nih, udah lihat bintang juga. Terus ngapain lagi?”
“kamu tahu, gak? Hampir setiap malam aku lihatin bintang kayak gini..”
“kenapa?”
“karena, menurut aku, bintang itu kamu. Tanpa kamu, langit aku gak ada bintangnya” ini terdengar persis seperti dialog-dialog di sinetron. Tapi aku yakin kali ini Arief mengatakannya pakai hati. Aku tetap diam, sambil mendengarkan.
“udah 3 bulan kita gak ketemu, ya. Aku kangen disisirin rambut sama kamu lagi, kangen dipakein hand sanitizer sama kamu setiap selesai ngegambar, kangen dimarahin kamu tiap aku lupa makan, kangen lihat kamu ngambek tiap aku lupa ngecharge handphone, dan yang pasti aku kangen lihat senyum kamu. Aku setiap hari kangen semua itu, karena aku sayang kamu, selalu”
Air mataku masih berlinang. Arief bahkan kangen sama hal-hal kecil yang mulai aku lupakan. Sekarang aku sadar kalau  kadar ‘kangen’ aku dan Arief ternyata sama besarnya.
“maaf ya, seminggu ini aku nggak bisa ngabarin kamu. Tugas kuliah sekarang lagi banyak-banyaknya. Handphone gak aktif karena lupa di charge, kan sekarang gak ada kamu lagi  yang ngingetin. Nanti kalau tugasnya udah selesai semua, kita skype-an lagi”
“iya, nanti skype-an lagi, ya” aku mulai tersenyum. Tenang rasanya setelah dengar semua penjelasan dari Arief tadi.
“bintangnya lagi banyak, pasti kamu sekarang lagi cantik-cantiknya, ya? Yah, sayang banget sekarang lagi ngak skype-an. Gak bisa lihat kamu cantiknya gimana”
“gombal ih, kamu!” aku tersipu malu dengan gombalan sederhananya itu.
*
Akhir-akhir ini aku lagi banyak masalah di kampus. Tugas lagi banyak-banyaknya, belum lagi aku belum bisa beradaptasi sama pergaulan teman-teman di kampus yang beda jauh sama teman-teman di SMA dulu. Kalau sudah begini, aku jadi kangen teman-teman SMA, termasuk sama Arief juga.
Rasanya pengin banget cerita banyak sama Arief tentang masalah kampus. Walaupun aku sudah sering curhat ke teman-teman lain, tapi rasanya belum tenang kalau belum cerita ke Arief. Tapi disaat aku lagi butuh-butuhnya banget, Arief malah menghilang lagi.  Telepon dariku selalu gagal tersambung. Semua pesan-pesanku lewat social media juga gak pernah dia balas. Karena itu akhir-akhir ini aku jadi sering menangis semalaman. Selain masalah kampus masalah Arief yang gak pernah ada kabar juga menambah beban pikiranku..
Aku mulai berpikir, percuma juga punya pacar tapi gak pernah saling ketemu. Apa gunanya punya pacar kalau saat dibutuhin dia malah gak ada? Ya aku tahu, disana Arief sibuk kuliah, tapi kalau kita putus bukannya bakal lebih baik? Arief bisa serius kuliah tanpa aku ganggu, dan aku gak perlu khawatir atau nangis semalaman karena memikirkan Arief terus. Tapi, bilang kata PUTUS masih terlalu berat untukku.
Aku masih bergelut dengan tugas kuliahku yang setumpuk, saat handphone yang kusimpan dia atas meja berdering. Tertulis nama Arief di layarnya. Aku mengangkatnya malas-malasan.
“halo”
“halo, sayang. Lagi ngapain?”
“lagi sibuk. Tumben kamu nelpon, aku kira udah lupa sama aku!!” jawabku ketus.
“kamu kenapa lagi, sih? Lagi PMS, ya?”
“kalau tiap ngomong sama kamu rasanya kayak PMS terus, tahu gak?! Bikin emosi, jadi pengen marah-marah terus!!!”
“nyalain skype sekarang, ya. Kita ngomong langsung, biar jelas ceritanya” aku langsung menyalakan account skype-ku, dan gak lama wajah tampan Arief sudah mucul di layar laptop. Sedangkan wajahku masih cemberut.
“jadi ada masalah apa sama kampus? Kenapa juga pengen putus?” tanya Arief.
“kamu tahu dari mana?”
“dari tweet-tweet kamu. Kamu kan sekarang rajin banget ngetweet galau gitu”
“tumben banget online twitter. Katanya lagi sibuk ngerjain tugas?”
“ya udah, itu gak penting. Sekarang ceritain semuanya, aku siap denger”
“aku lagi pusing banget, temen-temen di kampus beda banget sama temen-temen di SMA. Mereka kayaknya gak suka sama aku, kayaknya ngerendahin aku banget. Aku gak suka sifat mereka yang sombong-sombong itu. Belum lagi tugas kuliah lagi banyak-banyaknya. Gak ada kamu yang bantuin aku. Kamu malah ngilang, aku hubungin gak bisa. Aku kan butuh kamu” 
“jadi karena itu pengen putus?” tanya Arief lagi, aku mengangguk pelan. “kamu harus belajar buat ngadapin semua masalah kamu secara dewasa, jangan kayak anak kecil terus. Kamu harus lebih kuat, kamu terlalu lemah jadi cewek!”
Aku rasa kata-kata Arief kali ini agak kasar, walaupun ada benarnya juga. Tapi.. yang aku butuh sekarang cuma dia, ada disini. “iya, aku lemah banget.. makanya aku butuh kamu..” kataku pelan. Suaraku melemah, dan aku mulai menangis, lagi. Tapi tangisan kali ini lebih panjang.
Saat aku menangis, Arief cuma diam sambil menatapku dari Jogja sana. Sampai akhirnya dia mulai bicara. “aku selalu takut nyakitin hati kamu dan aku sebenernya gak pernah tega lihat kamu nangis. Tapi semenjak LDRan,  aku jadi sering nyakitin hati kamu dan bikin kamu nangis. Tolong, jangan bikin aku merasa bersalah terus kayak gini”
“kita berjuang sama-sama, ya? Kamu berjuang nyelsain kuliah disana, aku juga berjuang nyelsain kuliah disini. 3 bulan lagi aku pulang, selama itu kamu pasti kuat ngadapin masalah kamu sendiri. Semangat ya, aku sayang kamu”
“aku juga sayang kamu..” kataku sambil mengelap air mata.
*
Jakarta, bulan ke-6…
Akhirnya hari ini datang juga. Setelah melewati berbagai macam berantem-baikkan 6 bulan LDR-an, Arief akhirnya pulang juga ke Jakarta. Pesawat Arief baru akan landing di bandara tengah malam nanti. Arief melarang aku ikut menjemput, karena waktunya terlalu malam dan besoknya aku masih harus ke kampus.
Jadi, Arief sudah berjanji untuk menjemputku dari kampus siang ini.  Ini pertemuan pertama kita setelah 6 bulan cuma bekomunikasi lewat telepon atau skype.
Ini sudah lewat dari 30 menit dari waktu yang sudah kita sepakati, tapi belum ada tanda-tanda dia sudah tiba di kampus. Apa dia lupa? Aghh.. Arief ini…
“halo, kamu dimana? Ini udah telat 30 menit!! Kamu lupa mau jemput aku, ya?” kataku lewat sambungan telepon.
“nggak lupa, sayang. Tadi ada urusan penting sebentar, ini lagi mau jalan. Tutup dulu teleponnya, ya. Kalau kamu nelpon terus aku gak bisa nyetir”
“ya udah, aku tunggu 30 menit lagi. Kalau kamu masih belum dateng juga, aku pulang sendiri aja!”
Telepon terputus.
*
Telat 30 menit kedua sudah terlewati. Ini berarti sudah 1 jam Arief ngaret. Aku putuskan untuk pulang sendiri naik kendaraan umum. Ini berarti, hari pertama kita bertemu lagi akan dihabiskan dengan berantem, lagi.
Di dalam angkutan umum, aku mencoba menelpon Arief lagi untuk bilang kalau rencana ngedate kita resmi batal. Lama gak ada jawaban, sampai akhirnya telepon diangkat juga.
“halo” terdengar suara perempuan di seberang sana. Loh? Kok suara cewek?
“halo, ini siapa ya?” tanyaku ragu-ragu.
“ini tante, maminya Arief. Acha, kan?”  Apa? maminya Arief nelpon? Aku makin bingung.
“iya, ini Acha, tante. Ariefnya ada?”
“iya itu, Cha. Arief tadi baru aja kecelakaan, tabrakan. Tante sekarang lagi ada di rumah sakit. Nunggu hasil pemeriksaannya Arief”
Astaga, Arief kecelakaan!! Rasanya seluruh tubuhku langsung lemas. Aku bahkan hampir menjatuhkan handphone yang kupegang. “Ar..Arief kecelakaan, tante? Sekarang ada di rumah sakit mana?” tanyaku, panik.
“di RS. Medica. Kalau bisa Acha cepet kesini, temenin tante. Soalnya tante sendirian disini. Papi sama Arina belum bisa kesini”
“iya, tante. Aku kesana sekarang. Makasih”
Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung menuju rumah sakit.
*
Sepanjang perjalanan ke  rumah sakit, aku isi dengan berdoa. Rasanya semua marah dan kesalku pada Arief sudah lenyap entah kemana. Aku tahu, ini pasti salahku yang menyuruhnya untuk buru-buru. Tuhan, yang kumau sekarang cuma Arief, keselamatan Arief
Aku sudah sampai di tempat dimana Arief dirawat. Dia baru saja dipindahkan  ke ruang inap. Disana sudah ada maminya Arief, dan Arina, adik Arief satu-satunya.  Maminya bilang, kecelakaannya lumayan parah dan Arief mengalami patah tulang di bagian lengan kanan akibat kecelakaan tadi. Aku benar-benar merasa bersalah.
Aku masuk ke dalam ruang inap, disana ada Arief yang berbaring dengan tangan kanan dibalut gips. Menyapaku dengan senyum ramah khasnya.
“hai..”
Tanpa menjawab sapaannya, aku langsung duduk di bangku samping tempat tidurnya dan mengelus lembut wajahnya yang dihiasi memar di bagian kening. “kamu kenapa, Rief?  Kok jadi kayak gini?” tanyaku, panik sambil menangis.
“aku gak papa. Cuma kecelakaan kecil aja tadi. Gak hati-hati, sih” Arief menjawab sambil tetap tersenyum. Gak terlihat kalau tadi dia baru saja terlibat kecelakaan yang hampir merengut nyawanya.
“kecelakaan kecil?! gak papa gimana?! Tangan kamu patah, masih bisa bilang gak papa? Ini jelas ada apa-apa, Arief!!” tangisku tambah keras.
“aku yang sakit, kok kamu yang nangis?” arief malah tertawa.
“kan, aku yang salah. Aku yang nyuruh kamu buru-buru tadi”
“Yang nyetir itu aku, bukan kamu. Jadi yang salah ya, aku. Lagian aku beneran gak papa, kok. Cuma patah tulang dikit. Aku masih hidup, masih bisa ngobrol sama kamu, gini. Apanya yang apa-apa?”
“tapi, kamu juga salah sih” Arief tiba-tiba jadi serius.
“aku minta maaf, ya?” kataku, pelan.
“aku maafin, tapi kamu harus…” Arief tersenyum penuh kemenangan. “cium aku dulu”
Wajahku langsung merah padam. “ih, apaan sih!! Bercanda terus!!”
“siapa yang bercanda? Kamu memang beneran salah. Jengukin pacar yang lagi sakit, bukannya disayang-sayang malah ditangisin”
“iya deh, aku minta maaf ya, sayang” kataku sambil membelai pelan rambutnya.
“eh, ngomong-ngomong kamu kok cantikan sekarang? Lagi punya gebetan baru di kampus, ya?”
“ih, kok nanyanya kayak gitu, sih? Nggak lah!!”
“ya udah, gak usah marah gitu. Bercanda, kok hahaha..” Arief lalu menatap mataku dalam-dalam. “kalau kita berdua udah lulus kuliah, nikah yuk?”
“kita kan masih 18 tahun, jangan ngomongin nikah-nikahan dulu, ah. Belajar dulu yang bener, baru nikah” kataku sambil tersenyum manis.
“tapi tungguin, ya? 3,5 tahun lagi aku baru bisa balik ke Jakarta”
Aku mengangguk pasti. “iya, aku tungguin”
“ngomong-ngomong, gak mau peluk, nih? Gak kangen?”Arief merentangkan tangan kirinya.
“gak ah, lagi gak kangen” candaku.
“aduh, badan aku sakit semua, nih” Arief tiba-tiba mengerang kesakitan. Aku langsung panik. “kayaknya harus kamu peluk, biar gak sakit”
Hhh.. bercanda lagi. Tapi kali ini aku gak mau marah, aku langsung memeluknya. Arief lalu membelai rambutku dengan tangan kirinya, lalu mencium keningku. “aku sayang kamu, Cha”

Selesai.






11 comments:

  1. (y) Sebuah cerpen yang bagus (y)

    ReplyDelete
  2. Baru bacaa nih,publish lama padahal :3 ini buat sndirikah? baguuus,andaikan aja ada cowok kayk gitu -_- hngg,bahagiaa banget.Tapi susah juga ya ldr an tanpa ada komunikasi.Eh tapi ini sweet loh (y) likelike it! :3

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihi makasih makasih :3 yap, ini aku sendiri yg buat ^_^

      Delete
  3. Apakah benar cerpen ini anda yang buat sendiri ? Saya tidak terlalu percaya , karena di LINE terdapat cerpen yang memiliki judul dan isi yang sama dengan cerpen yang anda buat sendiri ini , maka dari itu , saya tidak percaya kalau anda sendiri yang membuat cerpen ini .

    ReplyDelete
  4. Saya bisa jamin kalau semua cerpen dan artikel yang ada di blog ini 100% original, buatan saya sendiri. Lagian cerpen ini udah lama saya post, kalau di line sampai ada cerita yang serupa, berarti dia yang menjiplak karya saya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. benar itu kak.. mereka hanya mengcopy paste, tanpa memberikan darimana asal sumber nya, seakan mereka sendiri yag membuat cerpen ini...hanya orang yang ingin coll dia tuh kak..

      Delete
  5. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  6. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. terharu saya kak baca nya,ne pengalaman kakak ya?

      Delete